Belajar Mencari Makna di Korea

Semua berjalan seperti biasa. Kebanyakan orang-orang di Korea ini, hanya tahu bahwa ini adalah bulan September. Di sepanjang jalan jarang ditemukan spanduk-spanduk bertuliskan “Marhaban Ya Ramadhan”, atau mungkin tak ada sama sekali. Ketika menyalakan televisi pun, tak ada acara-acara spesial seperti sinetron Ramadhan, di mana para artis tiba-tiba menjadi alim berjilbab. Ya, euforia Ramadhan yang biasanya ditemui di tanah air setiap setahun sekali, di sini hanya senyap.

Indonesia yang mayoritas penduduknya muslim, mungkin memang memiliki ciri khas tersendiri dalam menyambut dan menjalankan Ramadhan. Bisa jadi, Indonesia pada masa Ramadhan adalah objek yang sangat menarik untuk diteliti para sosiolog. Bagaimana tidak, banyak sekali ketiba-tibaan yang terjadi dalam kurun waktu tersebut. Dan bagi mereka yang jeli melihat peluang bisnis, Ramadhan adalah waktu yang tepat untuk menggugah sifat konsumtif manusia. Berbagai department store memasang besar-besar spanduk “SALE RAMADHAN” atau “SALE LEBARAN”. Berbondong-bondong pembeli datang untuk berbelanja, bahkan mungkin menghabiskan sebagian besar waktunya di mal-mal. Padahal di rumah mereka, Alquran tergeletak begitu saja menanti untuk dibaca oleh pemiliknya. Apakah Ramadhan telah mengalami pergeseran makna?

Sore itu, di tengah segala suasana yang serba “biasa”, saya berjalan di sekitar Yuseong, Daejeon. Kertas “post-it” kuning bertuliskan petunjuk menuju Daejeon Islamic Center terus saya perhatikan. Turun di halte bus yang salah membuat awalnya saya agak kebingungan arah, namun sesaat kemudian saya menemukan jalan menuju ke tempat tersebut. Jangan dikira tempatnya megah atau indah dihiasi kubah-kubah masjid seperti di Indonesia. Di sepanjang jalan itu, berderet bangunan ruko, dari restoran sampai toko kaca mata. Jika tidak diperhatikan baik-baik, mungkin saya hanya akan berlalu dan tak dapat menemukan tempat bernama Daejeon Islamic Center, yang dari namanya bisa diartikan bahwa tempat tersebut adalah pusat studi, kajian, dan berkumpulnya orang-orang Islam di Daejeon. Tempat itu berada di salah satu kawasan ruko yang cukup padat, berada di ruko lantai dua, dan tepat di bawahnya adalah sebuah bar. Sungguh sebuah ironi yang entah mesti dibilang menyedihkan atau membanggakan.

Lingkaran pengajian itu dihadiri tak lebih dari sepuluh orang wanita, bersyukur sekali saya berkesempatan menjadi satu di antaranya. Satu per satu, kami membaca surat Al-Qadr yang berarti “Kemuliaan”.

(1) Sesungguhnya Kami telah menurunkannya (Alquran) pada malam kemuliaan. (2) Dan tahukah kamu apakah malam kemuliaan itu? (3) Malam kemuliaan itu lebih baik daripada seribu bulan. (4) Pada malam itu turun malaikat-malaikat dan Malaikat Jibril dengan izin Tuhannya untuk mengatur segala urusan. (5) Malam itu (penuh) kesejahteraan sampai terbit fajar. (Q. S. Al-Qadr: 1-5)

Seorang wanita asal Mesir, yang oleh orang-orang lainnya dipanggil dengan sebutan “mu’allimah”, memandu pertemuan hari itu. Entah mengapa, setiap kali ia membicarakan keagungan dan membacakan hadits-hadits mengenai Ramadhan, hati ini terasa bergetar. Padahal sebagian dari yang ia bicarakan, sudah pernah saya ketahui sebelumnya. Konon menurut sebagian ahli tafsir Alquran, mengapa dalam surat Al-Qadr disebutkan bahwa malam Lailatul Qadr lebih baik dari seribu bulan ialah karena seribu bulan setara dengan 83 tahun. Dan 83 tahun adalah perkiraan batas usia manusia. Jadi malam Lailatul Qadr nilainya lebih baik dari pada seumur hidup kita. Subhanallah…

Maka do’a yang diajarkan Rasulullah adalah, “Ya Allah, sampaikanlah kami pada bulan Ramadhan…”

Ada sebuah kisah tentang betapa agungnya Ramadhan. Pada suatu hari, seorang sahabat datang kepada Rasulullah SAW untuk menceritakan mimpinya. “Ya Rasul, aku memimpikan dua orang sahabat, mereka berdua selalu bersama dalam melakukan amal kebaikan. Salah seorang di antara mereka syahid dalam suatu perang. Dan seorang lainnya meninggal di tahun berikutnya ketika ia sedang tidur. Namun anehnya, sahabat yang meninggal saat tidur itu berada di surga yang lebih tinggi daripada sahabat yang syahid di medan perang. ”

Dan Rasulullah menjawab, “Tahukah engkau, hal itu dikarenakan sahabat yang meninggal setahun setelahnya memiliki kesempatan untuk sampai pada bulan Ramadhan selanjutnya. Dan pada bulan itu ia beribadah dengan sungguh-sungguh. ”

Maka tak salah jika do’a yang diajarkan Rasulullah adalah, “Ya Allah, sampaikanlah kami pada bulan Ramadhan…”

Di negeri ginseng ini semua berjalan seperti biasa. Tak ada atmosfer kemeriahan Ramadhan seperti di tanah air. Ah, tapi bukankah atmosfer itu harus kita ciptakan sendiri? Bukan hanya atmosfer yang terasa dari acara-acara televisi atau diskon-diskon dadakan yang diadakan oleh berbagai department store? Atmosfer itu ada di sini, di dalam hati kita. Kita tanamkan pada diri kita untuk beribadah sebaik yang kita mampu dan jadikan Ramadhan ini penuh makna. Kita tak pernah tahu, akankah kita sampai pada Ramadhan berikutnya…?

Daejeon, 9 September 2007