Berjanji dengan Hati

Semalam aku menyempatkan menonton sebuah acara yang disiarkan oleh sebuah televisi swsta di negeri ini. Aku menyukai acara yang berdurasi selama lebih kurang satu jam itu. Ada sebuah kalimat yang aku sukai setelah menonton acara tersebut. Dari sang presenter. Tontonlah acara ini dengan hati, begitu pesan sang presenter menanggapi pro dan kontra terhadap penayangan beberapa episode yang dianggap kontraversial dari acara tersebut. Kalimat sang presenter mengingatkanku pada sebuah pesan yang disampaikan oleh seorang Andrew Cherng, pemilik sebuah jaringan fast food terkenal di negeri tirai bambu. Profilnya aku baca pada sebuah majalah bulanan berbahasa Inggris edisi bulan November 2007 ini. There’s a lot of training about how to work with your head but thre’s not so much about how to work with your heart, itulah kata-kata sang pengusaha.

Lakukanlah sesuatu dengan hati, apapun itu. Itulah kesimpulan pribadiku terhadap kata-kata bijak sang presenter dan sang pengusaha. Juga termasuk dengan masalah berjanji. Aku jadi teringat dengan kejadian kemarin sore. Seusai jam kantor, aku mempunyai janji dengan beberapa orang teman-teman. Sebenarnya sore itu bukanlah adalah jadwal pertemuan rutin mingguan kami, hanya pengganti dari jadwal rutinan kami yang sebenarnya. Setiap minggu kami memang menyempatkan untuk bertemu dalam sebuah kelompok, hanya bertiga orang dengan satu orang yang membimbing kami, sekedar untuk menata dan mencharge kembali keimanan kami dan kemudian bangkit dengan optimisme bahwa masih banyak yang harus dilakukan untuk dienullah ini. Bagiku kegiatan setiap minggu ini mampu menjadi oase di tengah seminggu kepadatan dan kejenuhan pada aktivitas rutinitas.

Walaupun sore itu adalah jadwal pengganti tapi kami sudah menyepakatinya untuk mengganti jadwal rutinan kami dengan sore itu. Aku sudah meninggalkan kantor sekitar seperempat jam sebelum waktu yang kami janjikan. Alhamdulillah, jalanan di Kota Kembang tidak terlalu macet, tapi cukup membuat aku terlambat beberapa lama untuk tiba tepat waktu pada jam yang telah kami tentukan. Lebih kurang setengah jam melebihi dari waktu yang kami janjikan, aku tiba di tempat yang biasa kami bertemu setiap minggu. Aku sudah menduga kalau pertemuannya sudah dimulai dan aku terlambat. Tapi, ternyata, tempat itu kosong. Pintunya masih terkunci. Aku memang sudah diberitahu kalau seseorang yang biasa membimbing kami akan digantikan oleh pembimbing yang lain. Tapi aku tidak seseorang yang akan menggantikan kami sore itu. Dua temanku yang lain juga tidak terlihat. Hmm, apakah pertemuan sore ini juga di batalkan, batinku. Tapi, sepertinya tidak ada pemberitahuan pembatalan, kata hatiku berlanjut. Lalu, kuambil handphoneku. Kupencet tombol call pada sebuah nomor.

“Teh, fety sudah di rumah. Tapi kok, rumahnya terkunci?”, aku bertanya dengan seseorang di seberang.

“Iya, sebentar lagi, yang menggantikan teteh akan datang. Mungkin sedang di perjalanan. Teteh A dan teteh B ternyata tidak bisa datang. Teteh baru saja terima smsnya. ”, jawab begitulah kira-kira jawaban beliau, di seberang sana.

Aku diam sejenak. Rasa kesal di hati menyeruak. Cepat kutekan. Seribu pertanyaan mengapa menghampiri hatiku. Tapi, yah, sudahlah, Allah sudah menakdirkanku bertemu dengan kejadian seperti itu sore itu

“Yah udah teh, kalau gitu, aku pulang aja yah. ”, aku berpamit, akhirnya. Sepertinya, pertemuan itu tidak akan efektif kalau aku harus menunggu beberapa lama lagi. Magrib sudah mau menjelang. Langit malam sudah di ambang mata.

“Gak pa pa”, tanya beliau lagi, khawatir.

“Iya gak pa pa, teh”, jawabku memastikan. Dan akupun melangkah pulang, menuju kosku.

Sering aku berhadapan dengan situasi di atas. Bahkan sejak aku masih kuliah. Mungkin bukan hanya aku. Ada banyak orang yang juga terjebak pada kondisi di atas. Menunggu beberapa lama. Atau kadang, bahkan, janjinya dibatalkan setelah tiba di tempat yang dijanjikan. Dulu, saat-saat berhadapan dengan situasi di atas, ada perasaan menggerutu, kecewa dan marah di hatiku. Tentu saja. Namun, akhirnya, aku mempunyai cara tersendiri untuk mengatasi rasa-rasa itu. Menyiapkan sebuah buku di dalam tasku. Minimal aku tidak bengong ketika harus menunggu beberapa lama. Minimal aku melakukan sesuatu yang bermakna ketika setelah masa penungguanku, ternyata, janjinya dibatalkan. Dan juga, aku tidak perlu menyakiti diriku sendiri dengan kehadiran rasa-rasa negatif itu. Apakah usahaku sudah efektif dan membuahkan hasil? Jawabannya adalah belum. Namun, minimal aku tengah mencoba, walaupun terkadang rasa-rasa negatif itu tetap saja hadir.

Aku juga belum termasuk orang yang seratus persen bisa datang tepat waktu, sesuai dengan waktu yang dijanjikan. Aku tengah belajar, untuk berjanji dengan hati. Minimal, aku membuat aturan bagi diriku sendiri tentang sebuah janji. Mengatakan ‘ya’ ketika aku merasa mampu memenuhi janji itu. Mengatakan ‘tidak’ saat aku merasa tidak mampu menunaikannya. Mengsms bila datang terlambat. Lalu, cepat memberitahu jika aku tidak bisa memenuhi janjiku. Itu aturanku. Untuk diriku sendiri.

Aku jadi terkenang dengan diskusiku dengan salah seorang seniorku di suatu hari. Saat kami sama-sama di lapangan, untuk sebuah keperluan kantor.

“Islam itu indah. Islam itu berisi dengan ajaran-ajaran penuh makna. Melalui sholat kita diajari untuk tepat waktu melakukan sesuatu. Apapun itu. Setiap sholat mempunyai waktu-waktu tersendiri untuk dikerjakan. Tidak bisa di sembarangan waktu kita mengerjakan shalat Subuh, shalat Dzuhur, shalat Ashar, shalat Magrib atau shalat Isya. ”, begitulah kira-kira beliau berkata waktu itu.

Terngiang kembali saat ini di benakku tentang materi diskusi dengan beliau saat itu. Yah, benar. Islam berisi dengan ajaran-ajaran yang bermakna, untuk urusan apapun. Juga untuk masalah berjanji. Pelajaran kecil kusimpan untuk diriku hari ini. Mulai untuk belajar berjanji dengan hati. Walaupun butuh perjuangan untuk itu.

Bandung, November 2007 Tulisan ini untuk mengingatkan diriku sendiri untuk terus belajar berjanji dengan hati