Bila Hati Terluka

Malam kemarin, saya mengalami kejadian yang tidak biasa. Kejadian yang sungguh-sungguh diluar dugaan saya sebelumnya. Hati saya tersayat oleh sebuah kata-kata yang diucapkan oleh seorang anak kecil yang tidak saya kenal. Syukurnya, kejadian itu saya alami ketika saya hendak pergi menuju masjid menunaikan sholat Isya. Jadi ibarat terjadi kebakaran, maka saya langsung menemukan sumber api untuk pemadamannya. Ibarat terluka, maka saya langsung menemukan betadine atau minyak zaitun untuk menetralisirnya. Dan memang setelah saya menunaikan sholat, luka sayatan hati bisa langsung saya pulihkan, sehingga sayatan itu tidak menimbulkan duka yang berkepanjangan.

***

Saat saya berjalan menuju masjid itu, saya berjalan disebelah kiri. Di depan saya, terlihat seorang anak perempuan kecil (usia sekitar 9 tahunan) berjalanan dengan mata menghadap ke sebelah kanan (karena melihat-lihat sesuatu) sambil memakan es mambo. Karena saking asyiknya melihat-lihat, ditambah ada rasa nikmat dari es mambo di mulutnya itu, dia tidak mengira ada orang di depannya, yaitu diri saya. Saya sengaja berjalan normal dan tidak membelokkan arah jalan saya, sehingga begitu jarak semakin dekat, ia mengalihkan pandangan ke depan dan kaget. Langsung ia menjerit dan mengeluarkan kata sumpah serapah,

“Dasar ngga tahu jalan, dasar buta!”

Kata-kata umpatan itu keluar fasih dari seorang anak yang —menurut saya— tidak pantas diucapkan oleh seorang anak yang masih belum baligh yang sejatinya masih polos itu. Saya tidak tahu kenapa bisa begitu. Rasa kaget menyulut spontanitas emosinya yang khas anak-anak, ego tinggi dan selalu merasa dirinya benar. Bukankah dia yang seharusnya sopan di dalam berjalan? Meski diucapkan oleh anak kecil yang belum berdosa, hati saya merasa tersayat dengan kata-kata yang meluncur spontan dari mulutnya itu.

Astaghfirullah. Baru kali ini ada seorang anak yang bisa memaki-maki saya. Saya jadi ingin tahu siapa anak perempuan itu sebenarnya. Sangat mungkin, ia tinggal jauh dari rumah saya dan kebetulan ia sedang berpapasan. Tidaklah mungkin ia adalah anak dari jamaah pengajian bapak-bapak di lingkungan saya karena saya tahu persis siapa anak-anaknya. Tidaklah mungkin pula ia anak dari ibu-ibu anggota majelis taklim yang dibina oleh isteri saya, karena saya juga mengenal anak-anaknya. Tidaklah mungkin pula ia murid dari TPA Nur Hasanah yang baru saja kami bentuk. Ya, pastilah ia adalah seorang anak perempuan yang belum terjamaah oleh sentuhan dakwah.

Saya jadi teringat ketika pernah menjadi “rektor” TPA ketika masih menjadi mahasiswa, semua anak-anak rasa-rasanya mencintai saya. Ucapan salam tidak pernah sepi terlontar dari mulut-mulut manis santriwan-santriwati TPA ketika berpapasan di jalan. Yang membuat hati berbunga-bunga mereka juga tanpa enggan memanggil-manggil nama saya bersahut-sahutan. Panggilan cinta seorang adik kepada kakak, panggilan sayang dari perindu kasihkepada seseorang yang dianggap mampu memberikannya.

Kini yang kurasakan justru terbalik. Sebagaimana bahagianya hati saya tatkala beri salam, sapa dan senyum nan tulus dari wajah-wajah nan suci, kali ini hati saya tersayat oleh caci-maki dan umpatan dari jiwa yang seharusnya suci itu. Saya mencoba berprasangka baik dan menarik pelajaran dari apa yang saya alami itu. Sangat mungkin, apa yang saya alami adalah sebuah teguran dan peringatan dari Allah dan itu saya rasakan sebagai wujud betapa besar kecintaan Allah kepada diri saya.

Saya menjadi sadar bahwa Allah yang menciptakan diri saya dan menentukan hidup dan mati saya, tiada pernah “sepatah kata” pun mencaki-maki dan mengumpat diri saya. Teguran-teguran yang Dia sampaikan begitu amat halusnya, lebih halus dari jiwa anak-anak yang masih suci itu. Saya sedang berjalan menuju masjid, kenapa dikatakan tidak tahu jalan dan buta oleh anak itu? Seharusnya, saya bisa dianggap tidak tahu jalan dan buta jika saya mengayunkan langkah menuju kemaksiatan. Semua orang pasti sepakat dengan pendapat saya ini.

Boleh jadi Allah hendak mengingatkan diri saya untuk selalu menjaga keikhlasan. Caki maki atau sanjungan, janganlah mempengaruhi tujuan amal semata-mata mencari keridhoan Allah. Ya, boleh jadi seseorang yang nampaknya secara lahiriah sedang menuju kepada kebaikan, secara bathiniah ia sedang menuju kepada kesesatan. Boleh jadi, saya datang ke masjid bukan karena niat suci beribadah kepada Allah, yaitu menundukkan kepala, melakukan ruku dan sujud memanjatkan rasa syukur atas anugerah nikmat-Nya yang tiada terkira. Saya datang ke masjid karena ingin sekedar menggugurkan kewajiban, atau ingin sekedar lari dari kesumpekan di rumah, atau tujuan-tujuan lain yang mengurangi tujuan sholat yang sebenarnya. Tujuan-tujuan itu boleh jadi mendominasi pikiran saya, dan saya diingatkan untuk tidak mendominasikan tujuan-tujuan seperti itu.

Naudzubillah. Saya berlindung kepada Allah atas ketidakikhlasan melangkahkan kaki menuju masjid. Atau atas ketidakikhlasan dalam menjalankan ibadah-ibadah yang lain. Peringatan yang demikian itu adalah boleh jadi benar. Dan saya berlindung kepada Allah dari tujuan yang sesat dalam beribadah tersebut.

Apa yang saya alami, boleh jadi adalah cara Allah mengingatkan diri saya akan beberapa hal yang harus saya benahi. Selain tentang pelajaran utama untuk senantiasa meluruskan niat dan menjaga keikhlasan, ada tiga pelajaran tambahan yang saya dapatkan.

Pertama, hendaknya saya berhati-hati dalam berbicara karena kata-kata kasar bisa menyebabkan sakit hati. Pelajaran ini relevan karena saya sering bergaul dengan anak-anak, terutama anak-anak sendiri. Anak-anak saya adalah anak-anak dengan tipe yang aktif dan agresif. Agresif dalam meminta perhatian dan kasih sayang, agresif meminta jajan atau mainan, dan agresif dalam bermain yang terkadang bikin orang mengelus dada dan menjerit-jerit karena khawatir dengan akrobat-akrobatnya.

Kedua, saya harus banyak bersyukur kepada Allah. Allah tidak sekedar memberikan kehidupan dan rezeki, tetapi Allah begitu sayang dalam memperlakukan saya sebagai hamba-Nya.

Ketiga, hati anak-anak adalah laksana kertas yang putih. Dia bisa berkata baik atau kotor tergantung dari pendidikan orang tua dan lingkungannya.

Setiap diri kita, pasti hatinya pernah merasakan sakit. Sakit oleh kata-kata yang tajam dan menusuk ulu hati. Bisa karena cakian, hinaan, pelecehan, dan perendahan. Boleh jadi semua itu adalah ujian keikhlasan. Sebab hanya orang-orang ikhlas-lah yang selalu menjadikan pandangan Allah sebagai patokan. Mungkin kita harus lebih dewasa.

Ikhlas adalah penyembuh luka hati yang sangat ajaib. Dengan ikhlas dan semangat mengambil hikmah, Insya Allah, sayatan akibat kata-kata tajam pun pasti akan segera dapat tepulihkan.

Waallahua’lam bishshawaab.