Cita-Cita Itu Masih Ada, Sayang…

Esok adalah hari terakhir batas waktu habisnya sewa kontrakan mungil kami. Kemarin aku sempat menghadirkan awan kelabu di mata indahmu, bidadariku. Mungkin saat itu dirimu sedang lelah, atau bingung mau bagaimana. Tapi aku harus secepatnya mengambil keputusan. Dengan terpaksa aku mengkonfirmasi menerima tawaran seorang teman untuk menempati salah satu rumahnya yang sudah cukup lama tidak terhuni dan juga tidak terawat. Aku dan dirimu sempat berselisih mengenai keputusan itu, tatkala keputusan itu harus ku ambil yang mungkin tidak terlalu sesuai dengan konsep kemandirian yang sejak awal kita usung. Mungkin banyak yang seharusnya ku sampaikan padamu sebelum memberitahukan keputusanku untuk menerima tawaran itu…

Cinta, maafkan daku tidak memberitahukan dirimu dulu alasanku untuk mengambil keputusan ini. Ku tahu dirimu sangat disibukkan oleh semua aktifitas rumah tangga dan mengayomi dua ‘aktivis’ kecil dirumah kontrakan mungil kita. Aku juga tahu jika ini tidak sesuai dengan cita-cita kita dulu. Keputusanku untuk menerima tawaran itu harus cepat aku lakukan. Dua hari lagi setelah diskusi kita adalah hari terakhir jatah sewa kontrakan kita sementara dana yang tersisa hanya cukup untuk makan kita beberapa hari ke depan saja. Jangankan untuk membayar kontrakan, untuk membeli susu putri sulung kita pun entah bagaimana. Kita mungkin bisa menceritakan masalah keuangan ini ke saudara-saudara kita, dan pasti mereka bisa segera membantu secepatnya. Tapi aku adalah laki-laki yang masih memiliki harga diri untuk tidak meminta dan merepotkan orang lagi. Kita yang seharusnya lebih pandai lagi menyiasati keterbatasan kondisi kita. Kontrakan kita saat ini cukup mahal untuk kita yang masih belum berpenghasilan pasti. Dirimu pasti mengenal aku yang tidak mungkin berbagi qodhoya (masalah) dengan orang lain. Aku hanya ingin menebar senyum meski pahit yang sedang kita rasakan.

Mentariku, kita memiliki harta yang paling berharga di dunia ini, kedua anak kita tercinta. Mereka adalah investasi akhirat kita kelak. Pendidikan mereka adalah tanggung jawab kita berdua. Mereka adalah kertas putih dan kitalah yang akan menulis dan mewarnainya. Apalagi saat ini adalah masa yang penting menanamkan akar yang kuat pada diri mereka. Sehingga kita pun harus sedapatnya melindunginya dari hama dan hewan pengerat yang akan habis menggerogoti pola pikir mereka. Dengan batas waktu 1×24 jam yang diberikan itu mungkin kita memang harus secepatnya menemukan tempat tinggal sementara tanpa memiliki banyak waktu memilih kontrakan yang akan kita tempati. Kontrakan kita saat ini meski mahal bagi kita, tidaklah baik untuk perkembangan anak kita. Bagaimana kita bisa meminta putri kita untuk mengenakan jilbabnya jika selepas dari pintu yang mereka lihat adalah para wanita tetangga kita yang berada di rumah ketika siang dan meninggalkan rumah menjelang malam, yang mengenakan pakaian tidur minim dan sangat tidak pantas apalagi pada siang hari. Apa yang putra-putri kita lihat adalah contoh yang akan mereka lakukan baik berwarna putih, hijau, merah, atau bahkan hitam sekalipun.

Bidadari kehidupanku, keinginan dan cita-citaku untuk hidup mandiri masih tetap besar dan kokoh seperti dulu. Bahkan cita-cita itu makin terpatri ketika putri pertama kita terlahir ke dunia. Aku ingin anakku melihat bahwa ayahnya adalah orang yang memiliki izzah yang besar yang hanya menggantungkan hidup pada Rabb-nya semata seperti yang dilafadzkan dalam setiap rakaat sholat-sholatnya meski dalam kondisi sulit seperti saat ini. Tapi jangan sampai idealisme kita berubah menjadi egoisme pribadi hingga yang hadir adalah pemaksaan kehendak pada diri sendiri dan orang lain. Idealisme adalah kondisi ideal yang ingin kita raih tapi egoisme bisa mengarahkan kita pada mendzalimi diri kita dan orang lain.

Duhai penyejuk hatiku, aku tetaplah menjadi nahkoda dari bahtera rumah tangga ini. Terkadang aku harus memutuskan bahtera ini untuk sedikit ke Barat atau ke Timur meski Utara yang kita tuju, atau berhenti dan menurunkan jangkar atau mungkin malah harus kembali ke Selatan. Aku tidak mungkin membiarkan sikap egoisku mendominasi, aku tidak mungkin memaksakan bahtera ini untuk terus melaju ke Utara meski ada topan badai yang sangat besar atau batu karang besar di depan mata yang pasti tidak mungkin kita lewati. Aku tidak mungkin menempatkan bahtera ini beserta penumpang di atasnya dalam bahaya yang justru menyebabkan tidak tercapainya tujuan akhir kita. Aku adalah pilot dari pesawat terbang kecil kita yang terkadang harus bermanuver ke Barat atau Timur, terpaksa mendarat di landasan terdekat, kembali ke landasan semula, atau mungkin mendarat darurat di mana juga yang paling baik untuk semuanya. Aku tidak bisa memaksakan kehendak untuk tetap menerbangkan pesawat ini ke Utara dan menempatkan semua penumpang dalam bahaya hanya untuk idealisme yang telah bergeser menjadi egoisme semata. Bahkan mungkin aku harus cepat mengambil keputusan itu tanpa sempat memberitahukan alasannya kepada setiap penumpang. Aku tidak mungkin mendzalimi diri kita dan anak-anak harapan masa depan akhirat kita. Kita masih akan tetap ke Utara meski itu harus tertunda entah untuk berapa lama, tetapi azzam itu masih

Rembulanku, aku terpaksa lebih memilih menerima apa yang sudah ditawarkan daripada harus meminta yang bisa menyulitkan orang lain dan belum tentu tersedia. Aku lebih memilih tinggal bersama kadal, ular sawah, lipan, dan ratusan ulat bulu yang masih memenuhi kebun depan dan belakang rumah yang sudah lama tidak terawat itu daripada harus tinggal dilingkungan yang bisa jadi lebih berbahaya untuk anak-anak kita. Itu memang bukan rumah kontrakan kita sendiri tapi meminta malah akan semakin membuat izzah-ku lebih terhina. Kita pun sudah sepakat untuk tidak akan pernah lagi berhutang. Aku pun menerima tawaran fasilitas tinggal gratis rumah ini dengan berat dan terasa pahit. Tapi aku harus menebar senyum, menyegarkan kepala dan menyingkirkan fikiran-fikiran yang menyesakkan dada. Delapan puluh tiga ribu yang tersisa, entah harus di mana mencari kontrakan di daerah industri seperti ini seharga itu, lalu bagaimana dengan susu dan makanan anak-anak kita, apalagi aku masih belum bisa juga bekerja. …”Ya, Tuhan kami, ampunilah dosa-dosa kami dan tindakan-tindakan kami yang berlebihan (dalam) urusan kami dan tetapkanlah pendirian kami…” (QS.3:147)

Maafkan aku, Cinta. Tapi tak usah ragu cita-cita itu masih ada, Sayang… Hasbunallahu ni’mal wakiil, ni’mal mawla wa ni’man nashiir…

~Abu Hasan~
<Dari catatan harian seorang teman>
Semoga senyuman dapat selalu hadir dalam hidup mereka. Semoga tawa dan canda putra-putri mereka mampu membuka mata hati seseorang pencinta mereka yang memposisikan mereka dalam kondisi seperti saat ini. Semoga Allah Yang Maha Adil mengangkat mereka sekeluarga dalam syurga-Nya.