Filosofi Menanam

Untuk apa kamu setiap hari mengajari baca tulis Al-Qur’an kepada anak-anak orang lain, dengan timbal balik yang tidak seimbang? Lagipula apa sih penghargaan orang tua mereka kepada kamu?

Untuk apa kamu mengkoordinir orang-orang dan menjembatani para pemuda untuk belajar agama, sementara tangapan dan antusiasme mereka biasa-biasa saja dan seolah tak ada gairah untuk mengikutinya?

Untuk apa kamu menulis setiap hari, sementara perbandingannya dengan apa yang kamu korbankan tidak seberapa? Sudah tahu tidak mendapat honor kenapa redaksi surat kabar itu masih juga kau kirimi tulisan? Berapa waktu dan pikiran yang kau buang?

Untuk apa kamu urusi anak orang, sementara kamu sendiri, secara ekonomi bukanlah orang kaya. Untuk apa kau belikan ia susu, kau asuh seperti anakmu sendiri, padahal bapak ibu anak tersebut makan enak dan tidur juga enak di Jakarta?

Kenapa tanah orang tuamu di pinggir hutan itu kau tanami pisang juga, padahal setiap berbuah, dan saat buahnya mulai tua pasti dicuri orang? Tidak tahukah kamu tentang untung dan rugi?

Apa hasilnya kamu bikin taman baca untuk umum, sementara kamu tak pernah sedikitpun memungut bayaran dari para pembaca? Sedangkan jika kamu mau, mereka dengan lapang dada mau menyewa buku-buku itu?

Sering sekali saya mendapat teguran, baik dari teman, tetangga, atau bahkan keluarga saya sendiri. Mereka sering sekali mengkritisi apa yang saya perbuat selama ini. Tentu menurut pandangan mereka. Dan biasanya saya hanya diam jika mereka mengkritik saya. Jawaban panjang lebar seperti apapun, biasanya tidak memuaskan bagi mereka.

Wajar sekali mereka bertanya seperti itu. Memang yang namanya hidup sudah pasti membutuhkan “sesuatu” untuk melangsungkan kehidupan itu sendiri. Dan sesuatu itu adalah imbalan atas apa-apa yang kita perbuat. Pendek kata, setiap tetes keringat yang kami keluarkan, secara akal sehat sudah pasti harus dihargai sesuai dengan apa yang kita perbuat itu.

Untuk menghibur diri, saya sering mengingat seorang laki-laki 80-an tetangga saya, yang tak pernah bosan untuk pergi ke kebunnya setiap hari. Ia selalu menanam apa saja. Kata-katanya yang selalu terngingang di telinga saya adalah, “Saya setiap hari harus menanam. Dan yang saya tanam adalah kebaikan. Orang menanam itu akan panen, berapapun hasil panennya. Dan jika saya tidak sempat memanennya, insya Allah anak cucu saya, atau keturunan saya kelak yang akan menikmati hasil tanaman saya. ”

Kalimat dari seorang kakek itu, sedikit memberi semangat tentang apa yang sedang saya perbuat. Saya memaknai kata “menanam” dengan makna yang maha luas. Tak hanya berkutat sebatas kepada tumbuh-tumbuhan, tapi di segala sektor kehidupan.

Menolong kucing yang masuk got, meminjami payung kepada orang yang sedang kehujanan, menyingkirkan duri yang berserakan di jalan, mengihlaskan hutang kepada para peminjam yang tidak mampu mengembalikan, menjadi donatur tetap kepada TPA/TPQ kampung yang fasilitasnya serba minim, dan segala apa yang saya tuturkan di atas, adalah tak lepas dari filosofi “menanam”.

Logikanya, siapa menabur akan menuai, orang yang menanam, pasti akan memanen. Entah berapa yang akan dipanennya. Dan jika kelak yang menanam saat ini belum bisa memanennya, itu juga bukanlah kesia-siaan. Anak cucu kita bisa menikmati hasil tanaman baik kita. Tak percaya? Tanyakanlah kepada kakek-kakek kita yang menanam pohon kelapa limapuluh tahun yang lalu. Siapa yang menikmati hari ini?

Kalau mengingat perbuatan sang kakek tua itu, saya makin menikmati apa yang saya perbuat selama ini. Walaupun secara finansial saya belum mendapat apa-apa. Toh, ternyata Allah SWT maha segalanya. Dia tidak akan membiarkan hambaNya yang sedang kesulitan dalam hidup, dibiarkan begitu saja tanpa ditolongNya.

***

Forum Lingkar Pena Purwokerto