Ia yang Serupa Baja

: buat Dik Ida, ibu dari anak-anakku

Pagi telah mengganti gelap. Sinar matahari menghangatkan kaca-kaca yang mengembun. Bis nyaman ini pun sudah berbelok menuju Kangar, ibukota Perlis, setelah semalaman menyusuri jalan tol mulus antara Johorbahru hingga wilayah paling utara Malaysia ini.

Terminal bis Kangar masih sejam lagi. Begitu kata teman Melayu seperjalanan di sebelahku. Dan sedikit waktu itu kumanfaatkan untuk menikmati sawah bertanamkan padi menghampar kekuningan siap panen di sepanjang jalan. Berselang-seling di antaranya ngarai, sungai, pohon-pohon hijau, rumah-rumah penduduk yang jarang-jarang. Juga orang-orang serumpun yang lalu-lalang. Pada kaki langit di kejauhan sana gunung membiru berdiri tegak di balik kabut tipis serupa uap air yang sedikit demi sedikit menghilang. Amboi! Damai yang terasa. Tenang yang kemudian tercipta menjelmakan rindu yang menyesakkan dada.

Seketika aku teringat pemandangan di desa tempat aku dilahirkan. Dulu.

Seketika aku ingat akan wajahmu.

Masih terasa perpisahan di terminal 2F Bandara Soekarno-Hatta sebulan yang lalu. Kau putuskan pergi mengembara ke ujung Malaysia untuk mengejar ilmu. Meski tanpa kawalan diriku.

“Aku berani,” katamu waktu itu. “Toh ada teman-teman seperjalanan dari Indonesia. Akhwatnya juga banyak.”

Bukan karena darah Madura mengalir di tubuhmu. Tetapi sejak mula berjumpamu, aku sudah tahu kalau tekad yang baja mengaliri urat nadimu. Ketika terapi yang kau pelajari di fakultasmu ternyata tidak menentramkan hatimu, kau gigih mencari terapi yang lain. Dan untuk itu, kau memburunya hingga ke Gunung Salak, Puncak Bogor, Jakarta. Juga ke perbatasan Malaysia-Thailand ini.

“Aku ingin menggali metode pengobatan Islam,” katamu suatu kali. “Jika sejarah Islam dulu pernah melahirkan orang sekelas Ibnu Sina, pastilah pengobatan Islam telah pernah mencapai kemajuan yang mengagumkan.”

Dan itulah dirimu. Jika keinginan sudah membulat, resiko apapun akan engkau tempuh. Batam – Pasir Gudang Malaysia pun kau seberangi. Pasir Gudang – Johorbahru – Kangar yang jaraknya lebih jauh dari perjalanan Banyuwangi – Merak pun kau susuri semalaman dengan menumpang bis. Bahkan dalam SMS-mu kau mengatakan, ketika melewati pemeriksaan di imigrasi Pasir Gudang Malaysia, kau dan rombongan harus menunggu diproses selama hampir 3 jam! Kalian dicurigai sebagai Jamaah Islamiyah, karena semua akhwatnya berkerudung dan sebagian besar ikhwannya berjenggot dan berpeci haji!

Lebih dari itu, sungguh aku tak bisa membayangkan bagaimana dirimu mengikuti kegiatan Sijil pengobatan herbal di negeri orang dengan membawa serta anak kita yang masih belum genap sepuluh bulan itu di gendongan.

“ASI adalah haknya, karena itulah makanan utamanya hingga 2 tahun,” katamu memberikan alasan mengapa Maura harus ikut bersamamu. “Jadi, ia harus ikut kemanapun kantong ASI itu pergi.”

Maka, sebulan penuh aku membayangkan bagaimana dirimu mengikuti perkuliahan dengan Maura tertidur di samping kursimu. Mungkin malah sedang menetek di pangkuanmu, sementara dirimu tengah asyik mencatat atau menyalin mutiara ilmu. Ia barangkali justru mengajak bercanda, ketika dirimu tengah menyiapkan paparan atau menikmati gizi sebuah buku. Mungkin dirimu masih harus menemaninya hingga tertidur di suatu malam, sementara tugas untuk esok hari belum sempat tersentuh menumpuk di mejamu. Aku yakin dirimu juga harus bangun paling pagi, karena cucianmu pasti tiga kali lipat lebih banyak dibanding peserta yang lain.

Membayangkan ini semua membuatku merasa tidak ada apa-apanya, meski harus mengurus Ais dan Fia — kakak-kakak Maura di rumah — yang seketika menderita panas-dingin karena stress semenjak lambaian tanganmu di Juanda pada hari pertama kau pergi. Hampir dua minggu panas tubuh mereka naik-turun. Dan hampir tiap saat ia menanyakanmu: kemana ibu pergi dan kapan akan kembali.

Mereka kehilangan bagian dari ibunya yang tak bisa digantikan begitu saja oleh ayahnya.

Ketika tiba di terminal bis Kangar, hatiku dag-dig-dug seperti ketika pertama kali berjumpa dirimu di RS Syaiful Anwar Malang kala itu. Dan rindu yang membuncah ini seketika seperti terobati ketika melihatmu menjemputku di pintu keluar terminal. Dengan Maura di gendongan. Dengan senyummu yang termanis yang pernah kulihat.

Kuperhatikan dirimu tampak gembira. Maura juga sehat-sehat saja, meski ia seperti asing dengan ayahnya setelah berpisah sebulan.

“Aku kerasan tinggal di sini,” katamu singkat, tetapi menjelaskan segalanya. “Daerahnya tenang, orangnya ramah, lingkungannya masih asli dan sehat. Tenang. Hampir tak ada kejahatan. Bahkan ibu-ibu berani menyetir mobil di malam hari tanpa takut celaka.”

Aku manggut-manggut tanda mengerti. Rupanya ia sedang jatuh cinta dengan negeri ini.

“Sungguh berbeza dibandingkan Surabaya,” katamu menggunakan kosa-kata orang Melayu yang kedengarannya geli di telingaku.

“Bagaimana kalau kita tinggal di sini?” tanyaku memancing.

“Mau!” jawabmu seketika seperti anak kecil ditawari jalan-jalan. “Mau sekali! Bahkan sampean sama Tuan Haji Ismail sudah disiapkan pekerjaan, lho Mas!”

“Ha? Yang bener aja?”

***

Ternyata apa yang kubayangkan benar. Lima hari menemanimu mengikut Sijil membuatku tak habis pikir. Bagaimana dirimu bisa mengikuti semua ini?

Pagi sekali sebelum yang lain bangun, dirimu sudah mulai mencuci. Bajumu, baju Maura. Sekarang ditambah bajuku. Kemudian shalat Shubuh berjamaah di mushala Tuan Haji Ismail dan dzikir Al-Ma’tsurat hingga menjelang matahari terbit. Mandi, memandikan Maura, dan kemudian bersiap berangkat ke kolej tempat Sijil diselenggarakan.

Kegiatan Sijil dimulai dengan sarapan pagi bersama-sama. Acara biasa berlangsung sampai malam. Bahkan kadang sampai larut, terutama ketika menyiapkan paparan di setiap hari Sabtu. Kuperhatikan dirimu merupakan peserta paling sibuk di antara yang lain. Betapa tidak? Ada bayi sepuluh bulan berada di sampingmu. Ia sedang aktif-aktifnya bergerak. Bahkan ia sudah bisa merangkak sekarang. (Aha! Dia belajar merangkak di Malaysia!)

Ketika perkuliahan berlangsung, Maura punya agenda sendiri. Ia akan merangkak di sela-sela kursi peserta. Kau tentu harus membagi perhatianmu padanya. Jika ia mulai jauh, mengganggu, atau pada posisi yang mengkhawatirkan, kau akan memindahkannya ke dekat kakimu lagi. Kau juga akan menjangkaunya dan menetekinya jika ia menangis. Kau akan menggendongnya ketika rewel karena mengantuk, sambil tetap mengikuti perkuliahan. Kau akan mengganti popoknya jika ia pipis atau eek. Dan ketika istirahat tiba, sembari makan atau menyantap makanan kecil, kau gunakan kesempatan itu untuk menetekinya, menidurkannya, mengganti bajunya, atau mengajaknya bercanda sebagai bagian dari haknya.

Di situasi yang demikian itu, kau masih sempat menjawab pertanyaan beberapa orang dan memberikan penjelasan. Karena ternyata dirimu di Sijil ini menjadi seperti pepatah lubuk akal tepian ilmu. Tempat bertanya orang. Dan kebetulan memang dirimu adalah satu-satunya peserta dari kalangan medis.

Lima hari aku menemanimu. Lima hari aku memperhatikanmu. Lima hari aku semakin yakin, kalau tidak karena memiliki azam yang kuat dan tekad yang baja, tak akan dirimu sampai ke tempat ini. Tak akan dirimu membawa serta Maura dalam dekapan. Tak akan dirimu bersusah-payah mengkaji berbagai ilmu pengobatan seperti berbagai tanaman berkasiat obat (herbal), berbagai teknik diagnosa (telapak tangan, iridologi, lidah, nadi), berbagai teknik terapi (al-hijamah atau bekam, herbal, chiropraktik, akupunctur). Tak akan dirimu tahan membuka ratusan buku di perpustakaan rumah Tuan Haji maupun perpustakaan Kolej Perubatan Jawi itu (dan tak heran jika oleh-olehmu terbanyak ketika pulang tak lain adalah buku!)

Lima hari itu semakin meneguhkan diriku, bahwa sungguh aku tak salah telah memilihmu menjadi ibu dari anak-anakku.

Tentu saja dirimu memiliki kelemahan dan kekurangan. Tetapi terus terang, jika tentang tekad, aku banyak belajar dari dirimu. Dan aku rela, jika itu kau tularkan pada Ais, Fia, Maura, dan juga jagoan kita, Azril yang Allah menganugerahkannya buat kita kini.

Aku ingin mereka memiliki azam yang kuat dan tekad yang baja.

Seperti ibunya.

***

http://bahtiarhs.multiply.com