Kebiasaan yang Hilang

Suatu pagi di kantor, saya berada dalam sebuah lift dari lantai 10 menuju lantai 1 hendak mencari makan di luar. Awalan hanya ada dua orang berada dalam lift tersebut, yaitu saya, dan seorang lain dari lantai atas yang sebelumnya telah berada di dalam.

Sebelum mencapai lantai 1, lift sempat berhenti di sebuah lantai. Saat pintu lift telah terbuka, beberapa orang masuk ke dalam dan kemudian pintu lift tertutup kembali dan melanjutkan perjalanannya.

Saya agak terkejut ketika salah seorang yang baru masuk mengucapkan salam, "Assalamu’alaikum."

Saya menjawab dalam hati sembari kebingungan kepada siapa salam itu dituju. Tapi orang yang sebelumnya bersama saya menjawab salam tersebut dengan jelas, "Wa’alaikum…." Kata-katanya menggantung, seperti terkejut dan agak ragu. Lalu orang yang memulai mengucapkan salam tersebut berkata kepada orang yang menjawab salam, "Biasanya juga lu duluan ngucapin salam kalo ketemu…."

Saya mulai paham keadaannya. Rupanya dua orang tersebut saling berteman. Sebenarnya, orang yang menjawab salam itu punya kebiasaan memulai mengucapkan salam terlebih dahulu kalau bertemu dengan kawannya itu. Tapi karena sepertinya pikirian orang tersebut sedang di awang-awang, orang tersebut tidak menyadari kedatangan kawannya sehingga tidak memulai mengucapkan salam seperti biasanya. Akhirnya kawannya lah yang memulai mengucapkan salam.

Mungkin penggalan kejadian di atas adalah penggalan kejadian yang biasa saja. Tapi bagi saya, kejadian tersebut menyentak saya hebat.

Saya baru tersadar bahwa saya kehilangan sesuatu selama ini. Saya kehilangan sesuatu yang tidak saya sadari. Yaitu kebiasaan mengucapkan salam.

Mungkin semenjak saya bekerja di kantoran sehingga terlepas dari komunitas dakwah kampus, saya sudah kehilangan kebiasaan ini. Bertemu dengan orang yang tidak terbiasa menyebarkan salam, saya canggung untuk memulai mengucapkan salam. Sehingga akhirnya kebiasaan saya itu benar-benar hilang. Dalam sehari, tidak ada satu orang pun yang saya temui yang padanya saya ucapkan salam terlebih dahulu. Yang ada adalah pertemuan hambar. Cuma isyarat anggukan kepala. Cuma sapa, "pagi, pak!." Semua menggantikan kebiasaan yang saya miliki.

Mungkin karena belum apa-apa saya sudah menetapkan bahwa objek yang patut untuk saya ucapkan salam adalah orang yang juga terbiasa mengucapkan salam, maka saya kehilangan kebiasaan baik itu ketika sudah lama tidak lagi menemui objek yang dituju. Ini jelas berbeda dengan orang yang berada di dalam lift tadi. Orang tersebut berpendirian bahwa tidak perlu orang yang terbiasa mengucapkan salam yang diberi salam, semua muslim punya hak untuk didoakan dengan ucapan salam. Hingga akhirnya ada kerinduan dari orang lain yang biasanya diberi salam terlebih dahulu, bila pada suatu pertemuan tidak diucapkan salam. "Biasanya lu ngucapin salam kalo ketemu…."

*****

Saya sempat mencicipi kuliah selama kurang lebih 2 tahun di sebuah kota di pulau Sumatera sebelum akhirnya memutuskan pindah ke kota lain karena ketidakcocokan bidang studi. Di kampus yang berada di pinggiran kota itu, yang megah di atas bukit – kata orang termegah se-Asia Tenggara, saya bergabung dengan komunitas dakwah kampus di sana.

Saya berasal dari kota lain, dari propinsi lain, meski masih satu pulau. Saya memilih untuk merantau kuliah di kota tersebut karena pertimbangan suku. "Ingin pulang kampung."

Ada keterkejutan saat awal-awal kuliah di sana, keterkejutan akan komunitas dakwah yang seperti tidak memiliki identitas sebagai komunitas dakwah. Identitas itu adalah penyebaran salam!

Di sana, apabila sesama aktifis bertemu, mereka bertemu seperti bertemunya dua orang yang hanya terikat dengan urusan duniawi, bukan urusan ukhrowi. Mungkin menyapa, tapi hanya sebut nama panggilan. tetapi apabila saya mengucapkan salam, mereka juga tidak kikuk seperti kikuknya mahasiswa lain yang merasa tumben diucapkan salam.

Saya memprotes keadaan ini. Kepada senior-senior, saya ungkapan protes saya. Yah… ada juga pengakuan dari mereka bahwa telah terjadi degradasi kebiasaan baik ini di tengah aktifis dakwah kampus. Senior saya bercerita tentang seseorang aktifis dakwah yang telah lulus, yang memiliki kebiasaan baik ini ketika kuliah. Tidak hanya kepada sesama aktifis, kepada mahasiswa umum pun beliau mengucapkan salam. Kepada temannya yang sedang nongkrong, ia ucapkan salam. Sampai-sampai terlontar ejekan "gila" dari temannya. Kini, tidak lagi ditemukan profil seperti alumni tersebut di kampus itu.

Karena – buruknya – saya seorang yang suka membanding-bandingkan, maka saya selalu menjelek-jelekkan keadaan dakwah di kampus tersebut dan membandingkannya dengan dakwah di sebuah kampus lain di kota saya saat saya masih SMU, khususnya masalah menyebarkan salam.

*****

Saat SMU, saya pernah menjadi utusan sekolah untuk acara pelatihan jurnalistik tingkat SMU atas undangan dari suatu Unit Kegiatan Mahasiswa di sebuah kampus. Bertempat di gedung Pusat Kegiatan Mahasiswa yang letaknya masih di dalam kampus. Area kampus yang luas membuat saya kebingungan menemukan lokasi acara. Maka untuk memudahkan saya menemukan lokasinya, saya sempatkan untuk sholat zhuhur di masjid kampus itu, berharap bertemu seseorang "ikhwan" yang saya kenal, dan bisa bertanya tanpa canggung kepada beliau.

Harapan saya terwujud. Ada seorang aktifis dakwah kampus yang mengenali saya, dan saya mengenali beliau tanpa saya tahu namanya. Kepadanya saya ceritakan maksud kedatangan saya ke kampus. Kebetulan karena beliau ada kuliah di dekat gedung yang saya cari, beliau mengantar saya ke gedung itu.

Di sepanjang jalan, entah berapa kali saya dengar lontaran salam dari beliau kepada orang yang beliau temui. Baik – orang yang kelihatannya seperti – sesama aktifis dakwah kampus, atau pun mahasiswa biasa. Kekaguman mulai tumbuh di hati saya. Begitu pemurahnya orang ini untuk mendoakan sesama. Betapa rendah hatinya orang ini sehingga mau memulai salam duluan tanpa canggung. Darinya saya mendapat qudwah (contoh) yang sangat berarti dalam menyebarkan salam. Contoh tersebut yang saya bawa saat kuliah, yang karena saya tidak menemukan kondisi serupa saya pun protes kepada senior-senior aktifis dakwah kampus di sana.

*****

Yah… perlu mental baja untuk menyebarkan salam. Karena pasti ada ke-kikuk-an saat kita memulai membiasakan diri mengucapkan salam. Dan ada perasaan khawatir dianggap aneh atas kebiasaan baik tersebut.

Juga tidak boleh ada pandang bulu untuk mengucapkan salam. Karena semua mukmin, punya hak untuk kita doakan. Dan yang kita doakan punya kewajiban untuk membalas salam kita. Jangan hanya kepada sesama aktifis dakwah saja, yang terbiasa dengan mengucapkan salam. Karena kebiasaan baik itu tidak boleh beredar terbatas hanya sesama aktifis dakwah. Kebiasaan itu harus menjadi kebiasaan milik publik.

Allahu’alam bish-showab.

“Kamu tidak akan masuk surga hingga kamu beriman, dan kamu tidak beriman hingga kamu saling mencintai (karena Allah). Apakah kamu maujika aku tunjukkanpada satu perkara jika kamu kerjakan perkara itu maka kamu akan saling mencintai? Sebarkanlah salam di antara kamu!” (HR Muslim)

Dari Thufail bin Abu Ka’ab ra. bahwa ia datang menemui Abdullah bin Umar ra., lalu keduanya pergi ke pasar. Thufail menceritakan, “Tidaklah Ibnu Umar melewati orang di tengah jalan atau menjual barang dagangan atau orang-orang yang lain, kecuali la mengucap salam kepada mereka. Pada hari yang lain saya datang ke tempat Abdullah bin Umar, kemudian ia mengajakku ke pasar. Saya menjawab, ‘Apa yang akan Anda perbuat di pasar? Anda tidak membeli, tidak bertanya tentang harga barang, tidak menawar, dan tidak duduk di tempat-tempat duduk (yang ada di pasar)? Lebih baik kita duduk-duduk di sini dan bercakapcakap.’ Abdullah bin Umar menjawab, ‘Wahai Abu Bathan (panggilan bagi Thufail ra.), kita berjalan demi mengucapkan salam pada setiap orang yang kita jumpai.’” (HR Malik dan Al-Muwatha’ dengan sanad yang shahih)