Kejutan Negeri Momiji

Lelaki itu masih berbicara sambil sesekali pandangan matanya menatap wajah saya. Saya sendiri tak menyangka bahwa sedikit cerita saya akan mendapat tanggapan seperti itu.

"Yah… cuman sekedar memperkuat kata-kata mas Sunu tadi. Saya merasakan sendiri kebahagiaan itu menghampiri ketika saya melepaskan harta dengan ikhlas. Bener loh. Hmm… saya juga berpikir kalau kekayaan kita yang sebenarnya adalah kekayaan yang kita bagi kepada orang lain.Anu…"

Dia terdiam sejenak. Mungkin sedang merangkai kata-kata dalam pikirannya. Semua yang hadir hening, menunggu kata-kata lanjutan yang akan keluar.

"Hmm.. itu saja, Mas."

Gedubraks. Kawan-kawan yang duduk bersila di Musholla itu tertawa-tawa. Tak ada sambungan cerita setelah dinanti dengan memasang perhatian penuh.

Saya hanya menceritakan perbedaan cara orang memandang uang yang dibelanjakan. Ada yang pelit sekali membelanjakan hartanya karena merasa tak cukup. Namun ada pula orang yang merasa bahwa harta yang dia keluarkan di jalan Allah akan menjadi pangkal rejeki baru yang akan mengalir kembali.Orang yang cara berpikirnya seperti itu ternyata hidup lebih bahagia, karena tidak merasa kehilangan harta dengan sia-sia.

"Ah, kalau begitu saya juga ingin bercerita. Kejadian yang saya alami selama satu bulan ini. Tak ada maksud apa-apa loh. Saya hanya ingin berbagi pengalaman."
Perhatian pendengar segera tertuju ke pengisi utama acara malam itu.

"Saya tidak mendapatkan beasiswa. Saya harus membayar biaya kuliah sendiri sekaligus memenuhi kebutuhan hidup anak dan isteri saya. Saya pernah kerja parttime di kombini. Tapi saya pikir, saya kurang cocok bekerja di sana. Kenapa? Saya harus menuangkan Bir atau minuman keras lain meski di bulan Ramadan. Padahal sudah jelas larangan perniagaan minuman keras, baik pembili maupun penjualnya."
Betul. Saya teringat riwayat yang menuliskan secara khusus mengenai minuman keras. Dosanya sama saja bagi yang membeli, menjual, dan yang berkaitan dengannya.
"Saya putuskan untuk berhenti. Meski saya tahu bakal lebih sulit lagi untuk bertahan di Jepang. "

Dia terdiam sejenak.
"Tapi ternyata, saya justru mendapatkan beasiswa tak lama setelah berhenti. Saya begitu bahagia, tentu saja. Begitu menerima uangnya, langsung saya belikan kamera. Sejak datang tahun 2004 sampai sekarang, keinginan untuk membelinya belum pernah terturuti."

"Wah, sampai sekarang saya juga belum punya kamera, Pak, " celutukku dalam hati.
"Saya lupa bersyukur kepada Allah. Saya belum mengeluarkan zakat dari beasiswa yang saya terima itu. Hanya satu minggu setelah saya membeli kamera, saya jatuh sakit dan harus diopname. Sakitnya tidak parah: Saya tidak bisa menelan.Tapi rasanya sakit sekali, meski sekedar untuk menelan ludah sendiri. Saya merasa mendapat peringatan dari Allah. Kenapa begitu?Biaya berobat saya di rumah sakit itu besarnya sama persis dengan harga kamera yang baru saja beli."

Saya melihat para pendengar manggut-manggut. Ah, saya juga kok.
"Saya langsung berjanji untuk mengeluarkan zakat dari beasiswa yang saya terima setelah keluar dari rumah sakit. Saya tak menyangka kalau balasan dari Allah datangnya begitu cepat. Tak lama setelah saya menutup telepon ke keluarga di Indonesia untuk menyumbangkan sejumlah uang ke kaum miskin, datang seorang saudara yang menyerahkan sebuah amplop. ‘Ini dari orang Indonesia di sini’ katanya. Saya teramat bersyukur."

"Setelah kembali ke rumah ada seorang saudara lain yang menghantarkan amplop serupa. Saya katakan: Kemaren saya sudah menerima dari orang-orang Indonesia loh…"
"Saudara itu mengatakan: Yah yang ini dari orang-orang Indonesia yang lain"

Senyum di bibir kami terasa semakin lebar.
"Saya tidak bisa mendustakan nikmat Allah yang datang bertubi-tubi. Belum selesai sampai di situ, saat saya membuka loker di kampus, ada sebuah amplop lain. Tak ada nama pengirim. Nama saya tercatat sebagai penerima. Saya benar-benar terkejut saat menjumpai segepok uang dengan jumlah yang teramat besar.Besar sekali. Lebih besar dari beasiswa yang saya terima. Saya hanya bisa mendoakan agar Allah membalas orang-orang yang lembut hatinya itu dengan yang lebih baik."

Batin saya gerimis. Saya tahu benar perjuangan sang pembicara selama ini. Siang kampus, malam kerja, ditambah aktivitas dalam Persatuan Pelajar Indonesia. Tak jarang saya mendengar keberatannya bila saya mengajak bermain bulu tangkis. Yah, tak seharusnya saya meminta sisa energi yang beliau miliki. Sisa energi yang menjadi hak keluarganya. Namun setiap akhir pekan dia masih sempat meyiapkan sebuah kamar di apartemennya sebagai tempat diskusi agama, lengkap dengan sajian sekedarnya. Pun malam ini dia bisa hadir sebagai pembicara dengan membawa isteri dan anak keduanya yang baru saja terlahir ke dunia.

Bahagia ternyata bukan saat kita mendapat harta, tetapi ketika kita membebaskan hak orang lain dalam harta yang kita terima. Pembicara juga mengatakan bahwa keseimbangan antara pemenuhan hak jasmani, akal, dan nurani adalah pangkal kebahagiaan.Bahagia adalah karunia.Bahagia adalah saat kita tak lagi buta membaca kebesaran-Nya dalam setiap kejadian yang kita alami.

Ternyata Allah punya caranya sendiri membagikan bahagia untuk kami yang berada di negeri momiji. Banyak kejutan tak terduga seperti yang diterima kisah pembicara kali ini.