Kelahiran, Sebuah Takdir

Sekitar jam empat sore waktu itu, perut isteri saya yang sedang hamil tua, sakit. Kami langsung mengira bahwa ia pasti akan melahirkan. Karena umur janin di kandungan sudah sembilan bulan.

Saya langsung pergi ke rumah seorang dukun bayi -seseorng yang biasa menangani kelahiran- di desa saya. Menurut dia, tak lama lagi bayi akan segera lahir. Namun tunggu punya tunggu, sampai menjelang mahgrib, tak kunjung lahir.

Saya penasaran, akhirnya tanpa menunggu waktu lagi, saya pergi ke rumah bidan desa. Setelah diperiksa bidan, katanya bayi akan keluar dari rahim si ibu sekitar jam delapan atau selepas sembahyang Isya.. Ya, akhirnya kami sekeluarga menungu penuh harap.

Jam delapan, jam sembilan, jam sepuluh, belum juga lahir. Sudah beberapa upaya baik dari orang-orang tua di sekitar rumah kami, yang menangani secara tradisional, maupun secara medis yang ditangani seorang bidan, tapi si jabang bayi belum juga mau keluar dari kandungan isteri saya.

Saya juga mencoba sebisa saya untuk berdoa tanpa henti, dan terus membaca ayat-ayat Al-Qur’an. Jam di dinding kamar saya seolah berjalan lambat sekali. Sampai dini hari, teryata belum juga lahir.

Saya sangat prihatin dan kasihan melihat keadaan isteri saya yang makin lemah fisiknya. Ditambah lagi dengan kambuhnya batuk dan mag, menambah tak berdayanya isteri saya untuk mengejan. Seolah tenaganya sudah habis terkuras dari jam empat sore.

Jam empat pagi menjelang subuh, saya memutuskan untuk membawa isteri saya ke klinik bersalin. Pagi itu juga saya mencari kendaraan sewa untuk mengantarkan isteri saya ke klinik bersalin yang jauhnya sekitar lima belas kilo meter dari desa saya.

Tak sampai setengah jam di klinik itu, alhamdulillah buah hati saya lahir dengan selamat, seiring dengan naiknya warna merah di ufuk Timur. Saya bergembira sekali dan bersyukur, bahwa isteri dan anak saya sehat.

Awalnya memang saya punya keinginan, agar anak saya lahir di rumah saja. Ditangani oleh saya, orang tua saya dan paling dibantu oleh bidan desa saja. Toh dari dulu, saya dan juga adik-adik saya tak pernah ada yang lahir di klinik bersalin. Dan ternyata juga selamat bisa tumbuh besar.

Sebenarnya alasan paling utama saya adalah soal keuangan. Mungkin jika saat itu kondisi keuangan saya sedang agak tebal, saya tidak menunggu-nunggu terlalu lama untuk mengantar isteri saya ke klinik.

Namun ternyata keinginan saya untuk lebih ngirit berbeda dengan kenyataan. Sang pemegang kekuasaan hidup ini bertindak lain. Anak saya harus lahir di klinik bersalin dengan biaya yang cukup besar bagi ukuran ekonomi saya.

Kejadian ini memberikan pelajaran besar bagi saya, bahwa kelahiran memang hak prerogatif Allah. Kelahiran adalah takdir yang telah Dia tentukan seperti halnya mati, jodoh, dan juga rizki. Sesuatu yang sudah tercatat dalam buku rahasia Allah di sana.

Walaupun saya menginginkan setengah mati agar lahir di rumah saja, dan dalam tempo yang tidak terlalu lama dan berbelit, namun Allah lebih berhak untuk menentukan ini semua. Saya sebagai makhluk yang lemah ini hanya bisa pasrah dan tunduk dengan kehendakNya. Dan tentu tak bisa membantahNya. Karena kita memang tak mungkin kuasa untuk membantah kehendak Sang Khalik.

***

Purwokerto, Juni 06 < [email protected] >