Kembali ke Laptop?

Impian mempunyai laptop begitu menggebu di hati saya beberapa tahun terakhir ini. “Betapa enaknya jika dakwah didukung dengan fasilitas ini”, batin saya dari waktu ke waktu. Masalahnya tentu saja pada sisi financial. Sebab, segala sesuatunya akan mudah didapat jika uang menjadi daya dukungnya. Logika saya, uang memang bukan segalanya, namun segalanya tidak bisa terbeli tanpa uang. Maka kerja dari waktu ke waktu, yang terpikir oleh saya adalah bagaimana menyisakan uang untuk bisa membeli laptop. Ini bukan karena si Tukul selalu iming-iming laptopnya, tapi karena dengan memiliki laptop, maka saya bisa melakukan kerja lebih produktif, mengembangkan diri secara optimal, dan berkontribusi lebih baik. Itu saja.

Keinginan saya terjawab dengan laptop pinjaman. Dari kantor tempat saya bekerja, seringkali meminjamkan laptop untuk dibawa pulang. Tentu saja harapan mereka saya bisa menyelesaikan tugas-tugas tambahan kantor yang menumpuk. Dua tempat saya bekerja terakhir memberikan fasilitas ini untuk saya, meski tidak setiap hari. Bagaimanapun, saya masih merasa tidak nyaman ketika tuntutan dari dalam diri memaksa untuk terus berkembang lebih, dan pada saat yang sama saya harus bisa menunjukkan hasil kerja yang lebih optimal dengan fasilitas yang diberikan. Meski kadang saya juga menyenangkan hati dengan mengatakan, “orientasi menikmati, bukan memiliki”.

Impian untuk memiliki laptop sendiri masih belum terjawab. Semakin menggebu, semakin bingung. Kadang ketika butuh sekali, laptop justru dipakai untuk urusan lain dari kantor. Berbagai kemungkinan untuk mendapatkan laptop dengan status milik sendiri kembali dicoba. Ketika kebutuhan lain tidak kalah mendesak untuk dipenuhi, maka membeli dengan cara cash pun semakin jauh dari pikiran. Saya mulai bertanya kepada teman-teman untuk mendapatkannya dengan cara kredit. Termasuk kemarin, sebuah penawaran dari teman datang melalui Yahoo Messenger untuk mendapatkan laptop dengan cara mencicil. Hati sayapun segera berbunga, terbayang laptop impian akan segera ada di tangan. Saya berjanji pada diri sendiri untuk lebih rajin menulis agar si laptop bisa segera terbayar lunas.

Kesenangan hati dengan fokus laptop hanya berlaku sekejap. Esoknya teman saya tersebut mengatakan kalau kesempatan hanya berlaku sebatas pegawai di mana dia bekerja. “Gagal lagi”, pikir saya-meski berita terakhir masih memberi harapan kalau orang luarpun ada kemungkinan bisa bergabung dalam program nyicil laptop, dengan seleksi tertentu yang mereka lakukan.

Menyerahkan segalanya pada Allah adalah pilihan terbaik. Mungkin saya masih belum dianggap siap oleh Allah, hingga belum layak mendapatkannya sekarang. Sedikit mengeluh kepada seorang teman menjadi jalan saya melampiaskan kekesalan, mengingat proyek buku yang kita sepakati sedikit tersendat dengan alasan fasilitas terbatas. Namun justru saya pun dibuat malu sendiri ketika mengetahui bahwa teman saya ini justru membuat tulisan-tulisannya hanya lewat warnet. Dan saya tahu, dia jauh lebih produktif daripada saya, dan tulisannya selalu nangkring di situs Islam terkenal. Akhirnya saya harus kembali mengakui, keterbatasanlah yang justru memacu kita untuk berjuang lebih keras. Betapa banyak orang sukses yang lahir dari lingkungan yang tidak kondusif, hingga jiwanya merintih dan memaksanya untuk melakukan hal yang tidak dilakukan oleh kebanyakan orang. Dari situlah awal kebesarannya bermula. Maka, tidak ada alasan lagi bagi saya untuk hanya menunggu laptop agar dapat maksimal berkarya.

Akhirnya cerita lain menjadi pelajaran tambahan pada saya. Hari Ahad kemarin saya kedatangan dua orang teman dari luar kabupaten yang menawarkan sebuah kerjasama bisnis dan dakwah kepada saya. Karena bentuk kerjasama ini membutuhkan interaksi yang intens, maka merekapun bertanya dengan jadwal online saya. Dengan jujur saya mengatakan kalau selama ini saya seringkali online di kantor. Tentu saja bisa dibayangkan kalau waktu tersebut tidak cukup efektif untuk melakukan banyak hal di luar pekerjaan. Akhirnya, tanpa saya minta, merekapun menawarkan fasilitas komputer dan koneksi internetnya untuk saya. Alhamdulillah, minimal kontrak untuk dipercaya orang lain masih terus diperpanjang. Bukankah kepercayaan menjadi unsur penting untuk mencapai kesuksesan? Dan, bisa jadi, inilah cara Allah untuk menjawab do’a saya. Anggap saja saya masih bayi, sehingga akan kaget kalau harus langsung makan nasi.

Teringat terus kata-kata teman saya hingga saya menuangkan tulisan ini, “jangan khawatir, Allah lah yang akan membiayai dakwah kita”. Kalimat bombastis dari teman saya ini menyentakkan saya, betapa Allah sungguh cantik memberikan segalanya pada kita. Jika kita dianggap sudah siap menerima suatu hal, maka Allah akan memberikannya untuk kita, sesuai kebutuhan kita, dan bukan apa yang kita inginkan. Betapa sesungguhnya sangat banyak rizki kita yang masih menggantung di langit, andai saja kita mau menjemputnya dengan kesungguhan. Allah hanya akan menurunkannya dengan tepat, kepada mereka yang benar-benar siap menerimanya. Dan, jika kita merasa yakin berada di jalan dakwah, maka percayalah bahwa Allah yang akan memenuhi segala sesuatunya.

Wallahu a’lam bish showab