Kembali kepada Jiwa

Nuansa lesu, kuyu, dan sedih nampak tersurat dari wajah sahabat-sahabat yang baru berdatangan dari medan “pertempuran”. Mereka membawa dan menyerahkan laporan hasil perhitungan suara dari masing-masing arena perhelatan demokrasi kepada koordinator saksi. Mereka menjadi lemas mengetahui hasil perhitungan suara yang ternyata kurang memuaskan. Saya mencoba berempati bahwa mereka telah berupaya dengan segala cara (yang syar’i) melakukan penyadaran, edukasi politik, pencerahan, dan menepis berbagai issu negatif pada hampir semua daerah di mana berlangsung pemungutan suara. Secara logika akal sehat, seharusnya mereka menang mutlak. Tetapi kenapa tidak?

Tuduhan akan kecurangan pihak lawan pun mulai menyeruak. Setelah diinventarisir, mereka mengindikasikan telah terjadi upaya sistematis dari pihak lawan untuk merebut suara yang terbanyak. Sejauh bisa dibuktikan, penyerahkan kepada prosedur hukum yang berlaku adalah langkah positif sebagai bahan pembelajaran politik bagi masyarakat. Namun upaya-upaya tersebut hendaknya tidak menghalangi mereka untuk instrospeksi ke dalam. Karena boleh jadi, sebab terbesar “kekalahan” berada di dalam jiwa mereka masing-masing.

Tiada dipungkiri bahwa pengorbanan yang mereka lakukan untuk menggalang simpati masyarakat memang luar biasa. Rapat intensif yang menguras pikiran, aneka kegiatan yang langsung menyentuh hajat hidup rakyat kecil yang menguras tenaga, pemasangan media kampanye (spanduk, baliho, poster) terjadi hampir setiap malam, kampaye yang melibatkan jumlah massa yang spektakuler, pengorbanan dana dari masing-masing individu yang tidak terhitung, dan lain-lain. Akan tetapi, nampaknya mereka harus belajar untuk bertawakkal, karena tidak semua hasil itu sesuai dengan harapan mereka. Dan ‘tidak sesuai harapan’ itu belum tentu adalah suatu ‘keburukan’. Boleh jadi menyimpan sebuah hikmah kebaikan yang masih terpendam.

***

Sesungguhnya dalam setiap kejadian, selalu terkandung hikmah bagi yang sungguh-sungguh ingin mendapatkannya. Saya sendiri merasa terharu melihat fenomena dan fakta yang terjadi. Di daerah di mana kami jarang menyentuhnya dengan proyek-proyek kebaikan, suara mereka untuk kami cukup besar dan signifikan, sehingga di daerah itu kami memperoleh kemenangan. Namun di daerah di mana kami secara intensif menggulirkan program untuk kebaikan dan kemanfaatan warga, suara mereka untuk kami ternyata kecil, sehingga di daerah itu kami menunai kekalahan.

Saya mengambil sebuah pelajaran, bahwa ternyata, intensitas sentuhan tidak berbanding lurus dengan sebuah dukungan. “Take” tidak selalu sebanding dengan “give” pada lahiriahnya. Tidak selamanya kita berbuat baik kepada orang, orang akan segera membalasnya dengan kebaikan pula. Apa perlu kita bersedih? Nampaknya Ini adalah sebuah ujian keikhlasan. Jika kita begitu larut dengan kesedihan, boleh jadi apa yang kita lakukan adalah pamrih semata. Kita begitu mengharapkan dukungan. Kita begitu mengharap hati mereka condong kepada kita. Padahal yang berkuasa mencondongkan hati dan membolak-balikannya adalah Allah Ya Muqollibal Qulub.

Sering kita tidak menduga, orang yang kita jauhi ternyata merekalah yang bersegera menerima ajakan untuk berbuat kebaikan. Padahal kita merasa jarang bersentuhan. Inilah sebuah pertolongan Allah atas sebuah keikhlasan dan amal baik, yang boleh jadi pernah dilakukan olehsaudarakita yang tidak kita ketahui.

Secara lebih dalam, saya berusaha menunai hikmah dari sebuah fenomena “kekalahan” yang berlaku umum bagi semua penyeru kebaikan di mana pun mereka berada, tanpa memandang organisasi atau partai.

Pertama, upaya mengajak kebaikan itu hendaknya harus dilakukan secara ikhlas, karena boleh jadi keikhlasan inilah yang menghantarkan datangnya pertolongan Allah. Kita boleh jadi terjebak dengan menaruh perhatian lebih besar pada upaya-upaya yang bersifat teknis, tetapi kita justru mengesampingkan upaya-upaya yang menghantarkan datangnya pertolongan Allah. Sebagai contoh, rapat-rapat atau kegiatan yang dilakukan hingga larut malam hingga dini hari, hendaknya tidak menjadikan terlambat dalam menunaikan shalat subuh berjama’ah di masjid. Lebih baik lagi, jika semua agenda itu tidak melalaikan kita dari penunaian shalat malam meski hanya beberapa rakaat saja.

Mengabaikan saat-saat utama bangun seperempat malam terakhir dan menunaikan shalat subuh berjamaah di masjid, boleh jadi adalah indikasi ketidakikhlasan dalam sebuah perjuangan. Karena kita lebih mementingkan dunia daripada pahala yang lebih baik dari dunia dan seisinya itu. Memang harus ditekankan sejak awal, bahwa apapun upaya-upaya teknis yang dilakukan, tidak boleh berakibat pada penurunan keimanan dan ruhiyah.

Kedua, dakwah fardhiyah kita (ajakan person to person) kepada masyarakat ternyata masih sebatas pada kulitnya dan dengan pamrih, belum menyentuh kepada hati mereka. Masih ada jarak yang memisahkan kita dengan mereka, dan kita belum sepenuhnya memahami bahasa apa yang tepat kita gunakan untuk mereka.

Boleh jadi, mereka sangat ingin disapa, ingin ditegur, dan ingin ditanya kondisi keluarganya. Tetapi kebanyakan dari kita tiada pernah melakukannya. Boleh jadi, bagi mereka para gerombolan tukang ojek, pemberian buah tangan ala kadarnya seperti buah Rambutan atau kue-kue kecil dari kita yang pulang kantor bermobil melewati mereka, mampu menambatkan hati mereka pada jalan dakwah yang kita usung. Tetapi sedikit sekali dari kita yang melakukannya. Kita cuek ketika melewati mereka. Maka, bukan salah mereka jika mereka tidak menaruh simpati kepada kita.

Ketiga, boleh jadi kita hanya memperhatikan orang-orang tertentu yang sudah bersimpati dengan kita dan mengabaikan yang lain. Kita kurang cair dan masih eksklusif. Padahal ajakan dakwah ini ditujukan untuk semua lapisan masyarakat. Kita adalah bagian dari mereka, kita hidup bersama mereka, dan kita berbuat untuk mereka.

Saya teringat pada kisah Rasulullah Saw yang berbaik hati memberikan suapan kepada seorang pengemis Yahudi di sudut pasar Madinah Al-Munawwarah. Beliau melakukannya setiap pagi hingga beliau wafat. Padahal pengemis yang buta itu selalu menyeru kepada orang untuk tidak mendekati Muhammad, karena Muhammad itu orang gila, Muhammad itu pembohong, Muhammad itu tukang sihir, dan apabila orang-orang mendekati beliau, mereka akan dipengaruhi beliau.

Namun Rasulullah Saw mengabaikan semua permusuhannya itu karena boleh jadi pengemis itu tidak tahu hakikat pribadi beliau. Beliau membuktikan ketinggian akhlaknya dengan cara berbuat baik kepada pengemis itu secara langsung, tanpa berkata sepatah kata apapun. Kisah itu berakhir dengan sangat mengharukan. Pengemis yang selalu memusuhi Rasulullah Saw dengan kata-katanya itu akhirnya masuk Islam, setelah mendengar penuturan langsung tentang siapa yang telah berbuat baik selama ini, dari sahabat Abu Bakar Ash Shiddiq yang berusaha menggantikan tradisi beliau menyuapi pengemis itu setiap pagi.

Kisah ini sudah sangat populer dan banyak sahabat yang mengutipnya sebagai bahan peringatan dan tausiyah. Dan semoga kita mengambil hikmah untuk selalu mencontoh kepada Rasulullah Saw yang memiliki akhlak yang begitu tinggi dan mulia. Bahkan kepada orang-orang yang mendustakan beliau sekalipun.

Keempat, “kekalahan” adalah bagian dari takdir Allah. Kita tidak mengetahui hikmah apa yang terkandung dari sebuah “kekalahan” itu. Harus diyakini bahwa bahwa jika kita telah berupaya dengan koridor yang benar, pada hakikatnya kita tidak menerima kekalahan itu. Selamanya kita adalah pemenang. Karena hakikat kemenangan yang sesungguhnya adalah jika kita tetap beriman dan taat kepada Allah SWT dan Rasul-Nya.

Kekalahan dalam sebuah persaingan saat ini, boleh jadi adalah kebaikan dari Allah karena Allah lebih memahami tentang umat-Nya. Selamanya kita harus menaruh prasangka baik kepada Allah karena Allah adalah pemberi keputusan terbaik dan Allah adalah sebaik-baik pembuat tipu daya.

Respon yang bijak dalam menyikapi sebuah “kekalahan” adalah dengan kembali kepada kondisi jiwa. Boleh jadi, ada pencemaran, ada kotoran, dan ada nuansa dunia yang lebih pekat dari nuansa akhirat dalam setiap niat yang berdenting dari jiwa. Beristighfar dan bertaubat akan mengembalikan jiwa kepada kemurniannya. Kita pun harus melakukan introspeksi terhadap apa yang sudah kita niatkan dan lakukan, benarkah semata demi meninggikan kalimat Allah SWT?

Sesungguhnya orang-orang beriman itu selalu menemukan keberuntungan. Dan apa yang menimpa bagi seorang mukmin adalah kebaikan. Maka sebenarnya tiada kata kalah, kerugian, dan keburukan bagi pejuang kebaikan yang benar-benar ikhlas menegakkan kalimat Allah SWT di muka bumi ini.

Waallahua’lam bishshawaab.
(rizqon_ak at eramuslim dot com)