Ketulusan Orang tua

Astaghfirullah, ucapan itu setiap kali muncul pada saat niat untuk ke rumah orangtuaku muncul, rasa enggan selalu muncul untuk menghalangi ayunan langkahku. Padahal jarak Bojong – Depok gak jauh, apalagi motor tuaku masih sanggup 20 menit untuk membawaku ke sana. Entahlah kadang aku bingung, setiap kali aku menengok orangtua kuberbagai perasaan bersalah, malu dan sedih muncul karena pasti aku tidak bisa memberikan apa-apa ke orangtuaku.

Alhamdulillah, kedua orangtua ku masih ada, walau sekarang kondisi ayahku yang sudah 69 tahun dalam keadaan diabetes sehingga harus 1 bulan sekali kontrol ke rumah sakit, sedang ibuku sudah 58 tahun masih sehat walau kadang batuk-batuk karena cape mengurus rumah tangga.

Setiap kali aku cium tangan saat pertama kaki menginjakkan kaki di rumah orangtuaku, ayahku langsung berkaca-kaca, dan pasti banyak kegalauan hati yang mau disampaikan, itulah mengapa aku jadi enggan untuk menengok mereka. Aku malu pada mereka karena belum bisa membahagiakan mereka, boro-boro untuk bisa membiayai naik haji mereka yang dari dulu aku niatkan dalam hati, untuk memberi uang 50 ribu ke mereka saja susah sekali. Memang kondisi perekonomianku lagi hancur, makan tiap hari sudah kembang kempis, uang penghasilan kerja habis untuk ongkos dan biaya rumah tanggaku, malah sering masih utang sana-sini untuk menutupi kekuranganku.

Hanya senyum ibuku yang selalu menghias saat memeluk anak semata wayangku di kala aku datang atau mau pulang dari rumah orangtua ku. "Eh Aisyah, sehat cucu mimih (panggilan ibuku)?" "Jangan sakit lagi, ya nak" pinta ibuku pada cucunya. Senang sekali rasanya aku melihat kegembiraan ibuku saat itu, seperti tak ada beban berat dalam kehidupannya. Mungkin itulah ketulusan seorang ibu menutupi kesusahan di hadapan anak dan cucunya.

Orang tuaku memang hanya mengandalkan uang pensiunan ayahku yang hanya cukup bisa menghidupi keadaaan yang pas-pasan. Tapi mereka selalu bersyukur bahwa mereka bisa mendidik kami anak-anaknya sampai tamat SMA, dan akhirnya kami juga bisa meneruskan pendidikan sarjana dengan biaya hasil kerja sendiri. Hanya yang selalu terngiang di telingaku kalau aku sedang keluh kesah tentang keadaan ekonomiku, "Ayah gak bisa ngasih apa-apa, cuma bisa berdoa supaya anak-anak ayah pada bener, sholat, baca Quran, dan tidak neko-neko, bisa jaga dan didik rumah tangga yang baik, menengok ke sini aja sudah cukup, keriangan dan keberisikan cucu-cucu ayah itu sudah menghibur bagi ayah dan mimih", itu yang selalu diucapkan ayahku.

"Ya Rabbi, ampunkanlah dosa-dosa kedua orangtuaku, dan sayangi mereka seperti mereka menyayangi sejak kecil, tapi Ya Allah hilangkan rasa yang muncul dan menghambatku untuk bisa menengok mereka, aku takut ya ALlah aku tidak bisa membahagiakan mereka. Berilah kesempatan kepadaku untuk bisa membahagiakan mereka walau hanya bisa menengok mereka saja. Ampun aku Ya Allah"