Kita Terlahir untuk Kebaikan

Sudah berapakah umur kita di atas perapian dunia ini? Sebelum kita ramai-rami menjawab pertanyaan ini, mari kita intip sebentar kata-kata terindah dari Allah:
“Dan Allah menciptakan kamu dari tanah kemudian dari air mani, kemudian Dia menjadikan kamu berpasangan (laki-laki dan perempuan). Dan tidak ada seorang perempuanpun mengandung dan tidak (pula) melahirkan melainkan dengan sepengetahuan-Nya. Dan sekali-kali tidak dipanjangkan umur seorang yang berumur panjang dan tidak pula dikurangi umurnya, melainkan (sudah ditetapkan) dalam Kitab (Lauh Mahfuzh). Sesungguhnya yang demikian itu bagi Allah adalah mudah. “(Fatfir[35]:11)

Umur adalah investasi termahal dalam hidup ini, bukan? Kita pun tak pernah tahu sampai berapa umur yang akan Allah berikan. Kita tak pernah paham kapan Allah memanggil diri ini menuju ke pangkuannya. Kesimpulan awal, saya ingin mengatakan bahwa kita terlahir untuk kebaikan. Kita terlahir di samudera alam luas ini untuk berbagi kebaikan.

Baiklah. Saya ingin bercerita lagi, suatu hari dalam menyelusuri jalan M.T. Haryono, ke arah Blok M, Allah kembali mengetuk mata hati saya. Udara siang itu memang agak tidak bersahabat. Jumlah penumpang membludak. Bergesek-gesekan satu sama lain. Hampir tak ada ruang kosong. Semua terisi penuh. Alhamdulillah, ucapan syukur gempita di dada. Karena sayalah orang paling beruntung di Bus bekas buatan jepang itu, P45, jurusan kampung rambutan-Blok M. pasalnya banyak penumpang yang berdiri berdesak-desakan, malah saya dapat duduk di sofa empuk.
Saya tatap wajah penumpang yang berdiri itu. Mereka masih muda-muda. Toh, kalau ada yang sangat tua, seharusnya ia lah yang berhak mengisi tempat duduku ini. Tapi, semua yang berdiri tak ada yang tua renta. Semuanya masih segar. Hati saya pun tenang.

Bus pun melaju, saling mandahului. Sesekali berhenti menurunkan dan mengangkut penumpang. Beberapa penumpang pun silih berganti turun naik Bus. Saya masih tenang. Dan kembali menatap wajah penumpang. Tapi tak satupun menunjukkan rawut wajah tua renta. Semuanya masih muda dan segar. Saya pun kembali tenang.

Bus terus meluncur menyelusi sepanjang jalan MT. Haryono. Saya hanya diam dan sesekali melongok ke arah luar. Kepulan asap hitam memenuhi udara perkotaan. Bunyi pekikan kendaraan bermesin memekakan telingaku. Paling tidak sebagai hiburan dalam kesendirianku.
“Mas…boleh gantian tempat duduknya?”

Saya membuka mata, oh, ya Allah, seorang Nenek dan cucunya membangunkan saya dari tidur. Tanpa banyak tanya saya langsung mempersilahkan. Suka cita dan penyesalan bercampur kesyukuran terasa menyelinap di balik serambi hatiku. Saya menyesal, kenapa sang Nenek tidak segera mambangunkan diriku, kenapa ia membangunkanku sewaktu jarak blok M semakin dekat. Saya yakin sudah sedari tadi Nenek itu berdiri.

Tapi, kenapa sang Nenek tak juga lebih awal membangunkanku. Paling tidak, saya ingin Nenek itu lebih lama menikmati kursi empuk bus dari pada saya yang masih muda. Dan di tengah penyesalan, masih ada seberkas sinar kesyukuran. Sinar kesyukuran yang terus bersinar, kesyukuran karena Allah masih mau mengirimkan seorang Nenek, untuk menambah investasi di hadapanNya. Sang Nenek tersenyum tulus. Seolah-olah tak ada beban bagi dirinya. Sesekali ia membelai cucunya itu.

 “Di mana anaknya ya? Kok tegah ya, nenek ini jalan sendirian” tanya saya dalam hati. Hati ini begitu tergetar. Seperti ada sumber getaran yang menggeleda seluruh jiwaku. Pikirku, bukankah ia lebih baik menghabiskan masa tuanya bersama anak-anaknya? Atau setidaknya, ia menikmati masa tua dengan kebahagiaan, didampingi anak-anaknya. Sungguh, sangat tidak bijaksana, apabila seorang anak menelantarkan ibunya begitu saja.
“Anaknya di mana Nek?” tanyaku padanya. “Sibuk semua.”  ,  jwab nenek itu. “Benar dugaanku ”, gumamku.

 Saya kembali tergetar. Bulu-bulu kudukpun berdiri tegar. Ya, Allah, Engkau memberikan pelajaran dalam setiap perjalanan hidup ini. Saya yakin, kesimpulan awal di atas ada benarnya. ya. Benar kita terlahir untuk kebaikan. Berbuatlah baik di manapun kita berpijak.