Kubur

Duduk termenung dengan pandangan kosong saat aku  memandang sebuah nisan tertancap tak beraturan.

Sesekali bunga malam dengan ranting kering menimpa tubuhku.

Terbayang dalam diriku jika nisan itu bertuliskan namaku.

Tak terasa lelehan air mataku menghujani wajahku terbayang saat aku tertidur dalam perut bumi.

Dulu aku adalah raja dimana semua tunduk atas perintahku.

Dulu aku adalah sultan yang memiliki istana begitu megah.

Aku membangun benteng yang kuat seakan Malaikat maut tak mampu menembusnya.

Tapi, kini aku hanyalah bangkai yang tak berdaya.

Jangankan untuk memberi perintah, untuk melawan cacing tanah saja aku tak memiliki daya.

Jangankan untuk menikmati hartaku, untuk melihat kilauannya saja aku tak mampu.

Musnahlah tubuhku yang dulu begitu gagah hanya karena kawanan binatang tanah.

Aduhai tubuh yang gagah dan wajah yang rupawan kini engkau telah hancur oleh tanah.

Kini tinggalah gelap menjadi kawan setiaku.

Tak lagi kutemui lilin-lilin yang memancarkan sinar kemerahan.

Kini sepi menjadi sahabat baikku.

Tak lagi kudapati suara alunan gemercik air yang mengalir.

Penantian panjang dalam tidurku untuk menunggu waktu yang di janjikan.

Waktu dimana aku tak lagi  memikirkan ibu, ayah, anak dan saudaraku.

Waktu dimana aku terlihat seperti debu yang beterbangan tak berdaya.

Lalu apa yang harus aku sombongkan di dunia ini jika aku hanyalah setumpuk kotoran yang hina.

Lalu apa yang harus aku banggakan jika kenyataannya aku tak lebih hebat dari binatang tanah.

Rabbi, ampunilah atas segala keangkuhan diriku yang lemah ini.

-Alfian Noor Rahman-