Lambaian Tangan di Jendela

"Mama. Nanti dadah ya, sama Chichi…"

Sambil memasukkan es batu ke dalam termos, saya mendengar anak saya berbicara. Tetapi saya tak jelas menangkap maksudnya, hingga saya tak memberikan sahutan.

"Dadah ya, Ma!?" ulangnya lagi.

"He? Dadah apaan, sih…" kata saya dengan kening berkerut.
"Mama nanti dadah ya sama Chichi, di jendela itu…, " katanya.
Oh, ternyata dia minta saya melambaikan tangan nanti bila rombongan dia dan anak-anak satu sekolahnya melewati rumah kami.
"Iya.nanti Mama dadah…" jawab saya.

Wajahnya tampak puas dengan jawaban saya, walaupun saya masih bingung akan maksud permintaannya itu.

Anak-anak saya sudah bersiap di beranda, sedang memakai sepatu dan topi sekolah. Saya tuntun mereka membaca doa pergi dan doa belajar, seperti biasanya.

"Ittekimasu…(pergi dulu, ya), " kata Kiki.

"Itterasshai…(sampai nanti), " sahut saya.

"Assalamu’alaikum…" tambah saya seiring tertutupnya pintu.
Balasan salam saya terdengar dari balik pintu.

Saya menuju jendela samping rumah yang tingginya hampir dua meter dan lebarnya dua meter, membukanya dan melongokkan badan saya. Chichi dan Kiki lewat saat itu.

"Nanti Mama pakai jilbab putih, ya…, " ucap saya. Dengan harapan agar dari jauh mereka sudah menandai saya.

"Mama, tunggu!" pinta Kiki saat melihat saat ingin berbalik badan.
Sambil berjalan cepat ke arah taman dia sesekali berpaling melihat saya seperti mengukur-ukur.

"Hm.kelihatan. Mama agak ke luar lagi dong badannya. Ya..ya.kelihatan kalau gitu. Mama kecil sih…" katanya sambil nyengir.

Saya masuk lagi ke dalam dan menutup rami jendela. Sambil membereskan dapur sesekali saya melihat ke arah taman, apakah mereka sudah berangkat dan akan melewati gang belakang rumah. Saat melihat mereka mulai jalan berbaris, cepat saya ambil jilbab putih yang tersampir di kursi.

Saya tunggu hingga Chichi kelihatan jelas dan saya pasang senyum plus lambaian tangan. Chichi membalas senyum dan lambaian tangan saya.

Berikutnya Kiki yang ada di barisan belakang, saya lambaikan tangan dan senyum. Kiki juga tersenyum tetapi tidak melambaikan tangannya.
Senyumnya terlihat malu, mungkin malu karena dilihat oleh teman-temannya.

***

"Papa, tolongin bikinan multiply, dong…lha wong homepage yang lama ngga bisa diakses loh…" pinta saya pada suami.

"Ya.sebentar lah, aku mau ke belakang dulu…" sahutnya sembari bergegas ke kamar kecil.

Tetapi tiba-tiba dia malah berbalik menuju ke jendela dan menjulurkan kepalanya hingga tinggal kakinya saja yang berada di lantai dan tangannya yang berpegangan pada pinggir dinding.

"Lho.ngapain?!" tanya saya heran.

"Sudah jamnya anak-anak berangkat!" katanya tanpa menoleh.
Saya lihat dia melongokkan badannya melihat ke arah taman. Yang memang bisa kelihatan dari rumah kami karena jaraknya hanya sekitar 50 meter.

Rupanya jam berangkat anak-anak sudah dekat, dan seperti kebiasaannya selalu berdiri di mulut jendela untuk mengantar anak-anak dengan pandangan mata, dan anak-anak pun tahu papanya berdiri di balik jendela itu.

Kebiasaan itu kami mulai sejak tahun lalu, saat anak-anak kelas satu SD.

Tak jarang saya dan suami berjejalan dan saling menonjolkan keberadaan kami agar terlihat jelas oleh anak-anak kami.
Tetapi lama kelamaan saya bosan dan malas bersaing dengan suami yang besar dan tinggi badannya hampir dua kali lipat dari saya.
Malah beberapa bulan di awal-awal masuk sekolah, suami hampir tiap hari mengantar anak-anak sampai ke taman, yang akhirnya membuat anak-anak saya merasa malu karena cuma mereka yang selalu diantar sampai ke taman.

Jadilah kami mengantar hanya sampai di mulut jendela yang terbuka lebar.

Tak terasa, ternyata saya sudah lama tidak melambaikan tangan kepada anak-anak saya. Mungkin sejak mereka kelas dua SD kebiasaan mengantar kepergian mereka ke sekolah dengan senyum dan lambaian di jendela itu saya kurangi dan akhirnya pupus. Padahal ketika mereka kelas satu, tiap hari saya selalu melambaikan tangan. Berbeda dengan saya, walaupun hanya sekedar memperlihatkan dirinya kepada anak-anak, kebiasaan itu tidak surut dilakukan suami. Kalau perlu dia sempatkan dulu melepas kepergian anak-anak, menunggu anak-anak saya lewat gang rumah, barulah dia bergegas berangkat ke kantor.

Saya merasa ada kerinduan di hati Chichi akan lambaian tangan saya,
hingga terucap permintaan seperti itu, agar saya melambaikan tangan padanya.

Selama ini saya merasa tanpa lambaian tangan saya pun mereka akan tetap pergi ke sekolah seperti biasa. Tetapi ternyata lambaian tangan saya pun tetap dinantikan dan punya arti di hati anak-anak saya.

Mendung hari ini, semoga tidak menjadi mendung di hati anak-anak saya.

Saya harap hati mereka senantiasa cerah dan bahagia. Sebab, saya akan melambaikan tangan dengan senyum saat mereka akan melewati hari-harinya.