Lantunan Ayat Suci di Atas Sajadah

Bersujud kepada Allah, bersimpuh kepada Allah. Tak terasa kata-kata tersebut menderas dari mulut tanpa henti tak kalah aku tak lagi bekerja. Tak ada kata bijak yang akhirnya diserahkan padaNYA. Namun bagaimana jika perasaan keterpurukkan terus meratap hingga membasahi ruang kamar tidurku malam itu. Usai shalat tahajut. Tak henti aku meratapi kepiluan dengan mencoba tegar. Semu. Sepanjang jam berdetak. Ku tatapi ke tiga makhluk bernyawa yang tak berdosa, yaitu: Isteri dan kedua anakku (balita) yang masih berselimut tebal.

Malam itu langit gelap, hujan lebat dan anginpun menerjang pepohonan hingga ranting, dahannya bergerak tak beraturan. Seakan-akan mereka mengajakku untuk menemaninya dalam kedinginan. Tes..tes.., bunyi jatuhnya tetesan air dari bocornya plapon langit rumahku akhirnya mengusik lamunanku. Dengan nafas teratur. Ku basahi tubuhku dengan wudhu dan kulantunkan ayat suci Alquran, surat Al-baqarah.

Tak terasa, lantuan ayat suci tersebut menjelma menjadi kecerian. Rumah dengan luas 60 m2, terasa sesak dengan orang-orang terdekatku. Suasana yang tadinya dingin terasa hangat. Tak ada lagi kesedihan. Tak ada lagi isak pilu isteriku. Aku bahagia. Mereka berdatangan tanpa pesan, berharap dapat mengihiburku. Terlebih mereka juga tak lupa membawa makanan kesayangan buah hatiku. Senyum kusambut dengan tangis kebahagian. Melihat orang-orang terdekatku menghampiri, menyapa, berbisik ditelingaku dengan memberikan pencerahan-pencerahan dalam senda gurau. “Kamu harus tegar, kebenaran hanya milik Allah saudaraku. Semua hanya tipuan. Tinggal kita yang harus memilih, ”begitu, kata bijak sohibku, yang selalu menemaiku dikala aku susah.

Namun apa yang terjadi. Kecerian berubah menjadi hitam. Sekelompok orang yang mengaku dirinya manusia langit merasa lebih manusia dari manusia lain. Datang tanpa diundang. Suasana semakin tak beraturan. Orang-orang terdekatku dipaksa untuk menjauh dan tak menjamahku. Kelompok tersebut mnghardik. “Dia bukan makhluk penghuni surga, jauhkan”, teriak seorang pemimpinnya. “Bukankah kalian berasal dari kelompok kami. Jika kalian ingin anak dan isteri hidup bahagia selamanya patuhi pemimpin, ”teriak wanita gemuk, berjubah ketat, dengan jilbab modern.

Ku perhatikan bait per bait ucapan wanita tersebut. “Aku mengenalnya, ”ucapku dalam hati di tengah kepanikan. “Aku mengenal wanita, ”benakku, kembali. Bukankah dia wanita perkasa yang pernah kutemui tiga tahun silam di sebuah lembaga filantropi. Saat itu ia penanggung jawab acara pada sebuah acara galang dana kemanusian. Dia wanita dengan berbagai sifat dan alias. Merasa lebih cerdas dari wanita siapapun menjadi pahlawan bahkan ucapannya mampu menghipnotis lawan jenis dengan gaya lips servicenya. “Pendusta”. Tiba-tiba mulutku berucap. Aku bergetar. Orang-orang terdekat tanggannya menggapai-gapai, minta pertolongan. Begitu pula tanganku. Mereka seperti dihisap oleh sebuah mesin vakuum cleaner dengan kekuatan sangat dasyat. “Tidakkkkk..jangan tinggalku’, teriak serak di tenggorokanku dengan harap agar aku kembali menarik tangannnya. Hilang, hilang, tinggal bayangan yang semakin menjauh.Hilang, tanpa bekas. Lagi-lagi di akhiri dengan tetesan air mata. “Tidak, tidak. Tidakkkkkk….”, aku mendesak agar lamunan tersebut terus menghampiri.”dusta, kalian pendusta’, pikirku terhentak. “Aku bukan yang kalian kira. Jangan jauhkan orang-orang terdekatku. Mereka adalah orang-orang terbaik yang terkontaminasi oleh kepentingan haru biru kalian. Mereka bukan pendusta seperti kalian. Berikan mereka padaku ya..Robbb, ”ucapku pilu.

“Biii…bangun, biii bangun subuh, ”isteriku, membangunkan. Akupun terhentak, tak sadar diri. “Astagfirullah, Astagfirullah Al-adzhim”, ucapku menenangkan pikiran. Ternyata aku dihantui oleh mimpi. Tanpa sadar Mushaf yang tadi ku baca, telah terjatuh di dipan, tempat tidur.

Usai sholat subuh, kulantunkan kembali ayat suci Alquran dengan harapan merangkai kembali peristiwa demi peristiwa yang terjadi malam itu. Ternyata semua hilang yang ku ingat adalah tentang kata-kata terakhir yaitu dusta. Ada apa dengan dusta. Kenapa kita harus berdusta? Apakah dusta membuat diri manusia dapat memperkaya diri lalu tertawa di atas penderitaan orang lain, atau dusta menjadi sebuah konspirasi. Wahualam Bishawab, yang pasti saat ini aku hanya bermimpi jelang aku mengapai harapan untuk keluarga tercinta. Yang pasti semua hanya mimpi, ketika lantunan ayat suci di atas sajadah.

Kbn Nanas. Februari 2008