Lelaki Tua dan Gerhana Bulan

Ada mitos orang tua dulu, bila gerhana datang. Maka salah satu bintang terang kita, entah itu Matahari atau Bulan, tengah dimakan si buto ijo. Raksasa yang digambarkan berambut gondrong, bertaring 4. Di mana taring bagian atas lebih panjang dari yang bawah. Mata melotot, hidung besar, kuku yang panjang serta berkulit hijau. Membuat anak mana yang berani pada si buto ijo.

Akibat cerita mitos sang nenek atau ibunya. Anak-anak lebih memilih tinggal di rumah daripada bertemu si buto atau setengah takut mengendap-ngendap di balik hordeng. Tuk melihat sosok raksasa yang konon teramat menyeramkan. Masayarakat dulu, terutama kaum ibu beramai-ramai memukul lesung secara serempak dan berirama. Maksudnya agar si buto terganggu dan kemudian memuntahkan kembali matahari atau bulan yang tengah disantapnya. Teranglah lagi dunia.

Begitulah kira-kira salah satu mitos tentang gerhana di negeriku, Indonesia. Entah masih adakah yang melakukan ritual kurafat seperti itu. Tapi yang jelas masyarakat kini sudah lebih pintar membedakan mana mitos dan mana bukan. Terbukti cerita di atas berangsur-angsur mulai kurang diminati oleh anak-anak zaman sekarang. Selain ilmu yang makin bertambah. Syiar Islam pun mulai marak mewarnai masyarakat dengan nilai-nilai luhurnya. Menghapus segala bentuk khurafat, takhayul dan bid’ah. Serta menguatkan nilai-nilai kearifan lokal yang sudah ada sebelumnya. Sesuatu yang patut kita syukuri.

Sore itu, tak seperti biasanya. Kupacu motor vespaku tuk segera pulang ke rumah. Mengejar Sholat Kusuf di masjid dekat rumah. Kabar yang kuterima dari seorang teman, memberitahukan bahwa gerhana bulan dimulai dari jam 15. 40 – 18. 20. Waktu Indonesia bagian Bandung.

Sewaktu tiba di perempatan pertama. Saat lampu merah menyala. Di mana semua pengendara wajib berhenti. Tiba-tiba dari arah belakang kulihat seorang Kakek setengah berlari menarik sebuah gerobak besar. Gerobak yang biasanya ditarik oleh seekor sapi atau kerbau ini. Sore itu ditarik seorang lelaki tua, yang bila ditaksir usianya kira-kira 70 tahunan. Ditempatkan dibarisan depan kendaraan yang berhenti antara zebra cross perempatan.

Aku terkesiap melihat wajahnya. Seseorang dengan wajah keriput bertubuh kurus, Berdiri terengah-engah, sambil ‘menenteng’ gerobaknya. Menunggu lampu berubah menjadi hijau. Menggunakan kaos oblong yang warnanya sudah pudar ditambah peci hitam yang mulai kumal. Sudah dua kali kulihat kakek itu menarik gerobak. Waktu pagi saat aku akan pergi ke kantor. Dan sekarang saat aku kan pulang ke rumah. Pada waktu yang berbeda. Uban yang sudah menutupi seluruh kepalanya. Tidak membuat ia surut untuk bekerja.

Jarak antara aku dan dia berkisar 15 meteran. Kuperhatikan beliau dengan lamat-lamat. Sosok lelaki tangguh itu. Sedang memperhatikan jalan kosong, untuk segera menyebrang melalui perempatan jalan Martanagara. Sosoknya yang tua. Seolah teramat ringkih bila saja beliau tidak menarik gerobak. Sendirian lagi. Bila kakek lain menenteng teken (tongkat rotan) untuk berjalan. Namun sang kakek tiada kulihat menenteng teken. ‘Hanya’ gerobak besar. Tak terasa air mata ini menetes. Menyaksikan fenomena di balik fenomena. Lelaki dan Gerhana Bulan.

Tetesan itu mengandung arti. Di mana penguasa yang semestinya mengayominya rakyatnya menjelang uzur? Di mana para politisi yang dulu berkampanye tuk memperhatikan umat? Di mana… di mana…?
Bahkan setengah menegur pada diri. “Hei Man, lihat tuh kakek. Tua-tua masih kerja. Bagaimana dengan kamu? Apa yang bisa kamu berikan buat beliau?
Aku tersadar, apa yang sudah kuberikan untuk beliau? Apakah sekadar mempertanyakan. Mereka-mereka yang belum tentu dapat menyelesaikan masalah saat itu.

Sore itu di atas sebuah vespa. Mataku nanar dan menerawang ke depan.. Ternyata saat itu, aku hanya dapat memberikan padanya selemah-lemahnya iman. Berupa bentuk keprihatinan, kesedihan kemudian do’a pada Allah untuk kebaikan sang kakek. Hanya itu, tak lebih. Ternyata. Tik…tik…tik… Tetesan itu pun mengalir dari balik kaca helmku. Hangat namun perih tuk kusaksikan terlalu lama. Ma’afkan aku kek…

Sebelum lampu hijau itu menyala. Kumasih melihat lukisan alam di balik kaca helmku. Teramat kontras namun syahdu dan terlalu nyata. Sesosok lelali tua dengan gerobaknya dengan gerhana bulan diatasnya. Siluet sore itu.

Bandung, 28 Agustus 2007