Kenapa Harus Bohong?

Liburan sekolah baru saja berlangsung, sebuah waktu yang sangat ditunggu-tunggu oleh anak-anak maupun orang tua. Bagi anak-anak liburan adalah waktu pelepas lelah setelah seminggu mereka berfikir dan belajar keras menghadapi dan menyelesaikan soal-soal ulangan. Dua minggu mereka bisa menghabiskan waktu untuk bersenang-senang bersama keluarga maupun teman sepermainan mereka.

Bagi yang kebetulan duduk di kelas akhir tentunya saat-saat liburan akan berbeda dengan mereka yang sedang naik kelas. Beban tidak begitu saja berakhir, walaupun sebagian dari mereka kadang-kadang melampiaskan kelulusan bak seorang pahlawan yang menang perang. Arak-arakan dengan sepeda motor, dengan knalpot yang memekakkan telinga, dengan baju warna-warni penuh coretan dan semprotan cat dan tidak jarang menjadi momok yang menakutkan bagi pengguna jalan yang lain.

Padahal tantangan baru sudah berada didepan mata, yakni mencari sekolah lanjutan. Ya, mencari sekolah. Bukan hal yang mudah saat ini mencari sekolah lanjutan yang baik. Kalau kebetulan nilai ujiannya bagus sih mungkin tidak terlalu sulit untuk mendapatkan sekolah, tinggal menyiapkan biayanya saja, kalau kebetulan nilainya pas-pasan mesti harus aktif setiap saat melihat perkembangan nilai pendaftar agar bisa mengambil langkah kalau tidak diterima di salah satu sekolah.

Ada hal positif di kotaku Balikpapan terkait penerimaan murid baru, dimana bagi pendaftar yang beragama Islam diwajibkan melampirkan surat keterangan mengaji, baik sebagai santri TPA/TQA maupun privat yang diketahui oleh RT setempat. Sebuah terobosan dan ide yang luar biasa bagus untuk menghapuskan buta baca Al-Qur’an.
Sayang dibeberapa tempat hal ini ditanggapi sebagai hal yang menyulitkan bagi para orang tua. Karena mereka harus mewajibkan anak-anaknya yang sudah seharian dijejali pelajaran dan les pelajaran tertentu dengan kegiatan rutin mengaji. Bahkan beberapa orang tua merasa kasihan terhadap anaknya kalau harus mengaji. Capek katanya. Masya Allah.

Karena alasan tersebut juga beberapa orang tua nekat berani meminta surat keterangan ke TK/TPA dilingkungannya untuk sekedar meminta surat keterangan mengaji, walaupun rasanya sekalipun mereka belum pernah menyuruh anaknya untuk belajar mengaji. Yang penting syarat masuk sekolah yang lebih tinggi bisa terpenuhi.

Kejadian ini bukan hal yang baru, termasuk dilingkungan kami. Beberapa orang tua bahkan datang ke TK/TPA untuk meminta surat keterangan mengaji. Mereka juga tidak kekurangan akal kalau TK/TPA nya tidak mau memberikan surat keterangan tersebut. Pura-pura main ke tempat guru ngaji dengan membawa sekedar oleh-oleh menjadi pilihan berikutnya, tentunya dengan harapan sang guru ngaji mau memberikan surat keterangan bahwa anaknya memang pernah mengaji atau bahkan telah khatam Al-Qur’an. Naudhubillah min dhalik

Sore itu dalam suasana gerimis tiba-tiba pintu rumahku diketuk beberapa kali. Setelah salamnya dijawab oleh istriku masuklah dua orang ibu-ibu dengan membawa blangko surat keterangan yang sepertinya dibuat sendiri. Karena dari susunan kalimatnya sepertinya bukan blangko resmi dari lembaga pendidikan. Karena sudah sering mengalami hal-hal begini istriku mengambil buku induk santri yang sengaja setiap liburan dibawa pulang untuk menjaga kalau ada permintaan surat keterangan mengaji.

"Nama anak ibu siapa ya, biar saya cari di buku induknya?" tanya istriku. Melihat gelagat keduanya yang clingukan ketika ditanya hal tersebut istriku langsung faham bahwa mereka tidak pernah mendaftarkan anak-anaknya untuk mengaji. "Begini bu, kami diminta untuk melengkapi syarat melanjutkan sekolah dengan surat keterangan mengaji, ini blangkonya," katanya berusaha menjelaskan. "Wah kalau yang begini kami nggak berani bu, lembaga kami punya standar surat keterangan sendiri, dan itu didasarkan pada nomor induk santri, jadi kami nggak berani main-main dengan surat keterangan, karena tanggung jawabnya berat," jawab istriku.

Sepertinya mereka belum mau menyerah begitu saja. "Masak nggak bisa dibantu bu, sama tetangga sendiri, khan kasihan anak-anak nanti nggak bisa melanjutkan sekolah?" katanya. Dari ruang tengah aku tersenyum mendengar ketika istriku mengatakan "Jangan bu, kalau saya lakukan memang sepertinya membantu ibu, tapi sebenarnya saya sedang menjerumuskan ibu kepada kebohongan berikutnya dan saya membantu memulai sekolah anak-anak ibu dengan kebohongan." Alhamdulillah

Aku ikut gerah sebenarnya dengan kondisi seperti ini, dan terjadi setiap menjelang penerimaan murid baru. Kalau alasannya adalah anak-anak kesulitan melanjutkan sekolah karena tidak punya surat keterangan mengaji kenapa tidak menyuruh anaknya mengaji? Toh tempatnya juga tidak terlalu jauh dari rumah? Sebagian mereka memang beralasan kalau anaknya sudah habis waktunya di sekolah, toh di situ juga diberikan waktu bagi yang sempatnya cuma bejajar malam hari.

Kadang kita sebagai orang tua lebih resah kalau anaknya tidak bisa sekolah, sementara kita tidak pernah resah dengan anak-anak kita yang tidak mengenal Allah, RasulNya, Al-Qur’an apalagi sholat. Ditambah lagi dengan kurikulum pendidikan yang semakin hari semakin berkurang porsi pelajaran agama dan akhlaqnya. Kita juga sering kurang PD kalau anak-anak kita yang yang sudah masuk TK tidak bisa membaca tulisan Latin sementara kita tetap PD walaupun anak-anak kita yang sudah usia SMA atau bahkan perguruan tinggi tidak sedikitpun tahu bagaimana membaca huruf Hijaiyah. Apakah tidak dibalik saja pemikiran di atas?

Kita yang harusnya malu kepada Allah, karena tidak pernah memberikan kesempatan yang cukup bagi anak-anak untuk mengenal Allah, Rasul dan Kalam-Nya. Bekal ilmu dunia memang perlu, sebaliknya bekal akherat juga jangan sampai dilupakan. Karena disanalah terminal akhir kita … Wallahu a’lam.

[email protected]