Melihat Dalam Gelap

Malam memang belum terlalu larut, dua buah jarum jam baru berhimpit di hampir angka sepuluh. Itu tandanya, masih ada sekitar sepuluh menit ke depan menuju tepat jam sepuluh malam. Namun lelahnya diri ini seakan terus mengiring langkah untuk segera berkemas dan beranjak meski untuk sesaat sekedar menelentangkan raga ini, hingga akhirnya dengan harap dapat menemukan kembali kesegaran di esok hari.

Sebuah saklar lampu di ruang tamu segera aku off-kan, lampu gantung yang tadinya menerangi ruangan inipun kini berubah padam. Dan malam kini semakin terasa, hitam mulai menggelayuti diri ini. Dari luar sayup masih terdengar gemericik air hujan yang telah beberapa hari ini tidak lagi menghiasi sunyinya malam hari.

Aku beranjak meninggalkan sebuah kursi rotan tua menuju sebuah ruangan sempit tak lebih dari 3×3 meter.

Namun, sejenak aku melemparkan pandangku ke arah jendela. Dari kegelapan memang terasa akan lebih jelas di mana terang itu berada. Seperti halnya saat itu. Aku bisa merasakan bagaimana indahnya suasana dalam temaram kegelapan untuk melihat keceriaan kota. Indah sekali.

"Ahh…., andaikan ini sebuah hidayah", gumamku dalam hati.

Begitu mudahnya kita menemukan keindahan cahaya terang jika memandang dalam kegelapan. Hingga kita bisa seakan merasakan berada dalam sinaran cahayanya, serta terbawa ke dalam kilau-kilau gemerlapnya.

Andaikan seseorang yang belum mendapatkan hidayah itu laksana seorang yang berada dalam kegelapan cahaya dalam sebuah ruangan, maka tentunya jika ia memiliki keteguhan dalam menggapai cahaya hidayah diluar ruangan itu pastinya tidaklah begitu sulit. Hanya membutuhkan satu kunci untuk membuka pintu dan keluar dari ruangan tersebut, hingga akhirnya ia bisa bergabung bersama dalam cahaya terang diluar sana. Bersama dengan mereka orang-orang yang telah lebih dahulu merasakan indahnya hidayah tersebut.

Namun memang persoalannya tidak semudah itu. Yang menjadi persoalan adalah proses ketika seseorang untuk mendapatkan hidayah itu. Ini sebuah hak penentu Alloh untuk memilah dan memilih siapa saja ummat-Nya yang berhak untuk Ia berikan sebuah kenikmatan yang luar biasa, kenikmatan dalam indahnya hidayah. Tidak semuanya menjadi hamba-hamba yang terpilih untuk merasakannya.

Sayangnya hal ini yang kebanyakan selalu dijadikan oleh mereka orang-orang yang masih berada dalam cahaya kegelapan hidayah tersebut, untuk beralasan menunggu kuasa Alloh untuk memilih mereka menjadi hamba-hamba terpilih-Nya dalam menggapai cahaya Islam. Tanpa sedikitpun berusaha mencari kunci bahkan mebuka pintu untuk keluar dari dalam ruang yang gulita tersebut dan berhijrah menuju benderangnya cahaya diluaran sana.

Miris memang ketika kita mengingat semua itu. Kiranya memang begitu semestinya kita bersyukur atas apa yang telah Alloh karuniakan kepada kita, berada dalam sebuah ikatan keluarga yang telah dari dulu menjadikan Islam sebagai pedoman, bahkan dalam kehidupan sehari-haripun tak lepas dari keIslaman itu, baik di manapun keberadaan kita.

Tapi ternyata pertanyaan selanjutnya yang muncul adalah, apa cukup kita berucap syukur semata, merasa puas dengan apa yang ada tanpa mencoba untuk berusaha menjadi sebuah jalan hidayah bagi orang-orang yang sampai saat ini masih berada dalam kegelapan cahaya di luar Islam sana? Kita hanya menyalahkan mereka yang masih dalam kegelapan cahaya itu sebagai orang-orang yang tak memiliki satu visi akan menuju cahaya Islam? Dan, Kita hanya berbangga diri dengan karunia yang ada tanpa mencoba mengajak mereka untuk meniti langkah menuju hijrah ke dalam agama Alloh?

Kiranya mungkin tidak seperti itu. Percayalah, insyaAlloh kita akan menjadi hamba-hamba yang lebih bahagia, jika ternyata bisa berusaha dan mencoba untuk mengurai kembali, membuka lembar baru, mencoba membuatkan kunci-kunci bagi mereka saudara-saudara kita yang kini masih terkunci dalam genggaman keremangan cahaya itu. Atau bahkan membantu membukakan pintu-pintu bagi mereka hingga akhirnya kita dapat bersama merasakan indahnya kuasa-Nya.

Wallahu’alam bish-shawab