Memperhatikan Thukul Arwana

Entah mengapa, Tuhan mempertemukan saya dengan Thukul Arwana berkali-kali dalam sebulan terakhir ini. Bukan face-to-face, tetapi dalam banyak kesempatan, aku mau tidak mau melihat dan memperhatikan dirinya.

Awal bulan lalu saya kira, saya satu pesawat dengannya dalam penerbangan dari Surabaya ke Jakarta. Ia memakai baju putih lengan panjang dan celana jeans. Berkaca mata hitam dengan topi bundar di kepalanya. Dasar selebritis, banyak ibu-ibu yang mengejarnya, mengerubutinya, sekadar untuk berfoto bersama. Bahkan hingga saatnya naik tangga pesawat, mereka masih sempat-sempatnya menahan gerak langkah Thukul dan menyeretnya untuk berfoto bersama di tangga. Itu pun belum selesai. Ketika sudah duduk di seat-nya pun, Thukul masih dikerubuti ibu-ibu untuk keperluan yang sama.

Satu catatan saya, ia, pelawak itu, meladeni permintaan itu dengan senang hati – dan tentu dengan segala tingkah-polahnya yang kocak, tanpa merasa terganggu. Mungkin ia sangat menyadari posisinya sebagai orang yang sudah sangat dikenal masyarakat, sehingga tak ingin mengecewakan mereka.

***

Awal puasa ini, saya juga melihat wajah jenakanya lagi. Mulut dan giginya itu lho yang tak bisa dilupakan! Kali ini muncul di sebuah Sinetron Hidayah Ramadan. Kalau tak salah bercerita tentang seorang tukang minyak yang bercita-cita menjadi pengusaha SPBU.

Ia, tentu, menjadi tokoh utama sinetron Ramadan itu. Sebagai seorang tukang minyak keliling, ia menjadi langganan ibu-ibu karena kebaikannya. Ia tak pernah mengoplos minyak dagangannya. Karena itu, ia menjadi saingan teman sesama tukang minyak, yang tentu saja terusik dengan kehadiran Shobirin, tokoh yang Thukul lakoni di sinetron itu. Banyak cara yang kemudian dilakukan orang itu untuk menyingkirkan Shobirin dari wilayah itu. Dari mulai mencampur minyaknya dengan air, menghasut masyarakat pembeli minyak, mencuri minyaknya, membocorkan drum penyimpanan minyak Shobirin, membakar rombongnya, hingga memukulinya.

Shobirin, sesuai namanya, tetap sabar menerima cobaan semua itu. Dan ada satu hal kebiasaannya yang menarik adalah: ia selalu berhenti di sebuah SPBU, meletakkan rombong minyaknya, menatap ke arah SPBU itu, dan berharap dalam doa. Setiap kali. Ia ingin menjadi karyawan atau pengusaha SPBU. Suatu kali.

Tentu saja, alur cerita sinetron itu bisa ditebak sejak awal. Bahwa berkat kegigihannya, Shobirin akhirnya bisa tercapai cita-citanya.

Tetapi, bukan itu yang hendak saya sampaikan, melainkan bahwa ini adalah sebuah sinetron Ramadan, yang sedikit banyak penuh hikmah. Bukan menonjolkan keglamouran dan kemewahan sebagaimana halnya biasa. Dan Thukul terlibat di dalamnya.

Jika ada penonton yang tercerahkan dengan sinetron itu, bahwa kemudian ia bangkit dan berusaha sekuat tenaga memperbaiki hidupnya serta sabar sebagaimana Shobirin, bukankah ini sebuah kebaikan yang tak disadari? Bukankah ini dakwah dalam arti yang luas? Mungkin juga Thukul tak berpikir hingga ke sana. Tetapi, siapa tahu?

***

Mas Thukul muncul lagi di televisi. Kali ini menemani kami menikmati makan sahur di warteg dekat Cempaka Emas ini. Ia ada di acara Stasiun Ramadan salah satu TV swasta. Berbaju kuning lengan panjang, berkaca mata hitam. Ia tentu saja, mengocok perut pemirsanya dengan segala polahnya. Kami tergelak dibuatnya dan ngantuk pun langsung sirna.

Menemani sahur. Aha! Satu hal yang mungkin tak pernah kita pikirkan, apalagi lakukan, selama hidup. Kalaupun pernah saya lakukan, itu hanya sekadar membangunkan orang dengan thetheg berkeliling kampung, dulu waktu masih SD/SMP. Kadang kalau pukulan kentongan kami terlalu kenceng, justru malah diusir orang. Apalagi kalau ketemu rombongan thetheg yang lain, biasanya kami jor-joran keras dan saling merusak irama.

Tetapi, menemani sahur orang se-Nusantara?

Saya bisa membayangkan aktivitas Thukul di pagi itu. Ia akan keluar rumah, meninggalkan keluarganya, menuju studio di pagi buta ketika orang yang mau sahur pun belum bangun. Kemudian ia akan berdandan dan siap masuk panggung. Ketika on-stage, ia akan mengeksplorasi kemampuan dirinya dalam membawakan acara di pagi itu sebaik mungkin. Sesekali, di sela-sela jeda iklan, mungkin akan ia sempatkan untuk makan sahur secara kilat.

Ah, saya tak bisa membayangkan jika ia ikhlas menjalani semua itu. Apalagi jika dirinya juga hanya berniat untuk menemani orang sahur. Betapa banyak kebaikan yang ia panen selama Ramadan karenanya?

Terus terang, saya iri.

Jika saja Mas Thukul Arwana membaca tulisan ini, semoga ia mau sedikit menata niatnya. Dan meninggalkan "sinetron tengah malam" yang pernah dilakoninya untuk selamanya, membuatnya sebagai masa lalu yang tak kan pernah kembali.

***

Ket.
Thetheg (jawa): berkeliling kampung dengan membunyikan alat musik sederhana untuk membangunkan orang agar segera sahur.

Bahtiar HS
http://bahtiarhs.multiply.com