Menejemen Kehidupan

Sepulang dari perantauan, saya selalu mempunyai kebiasaan untuk silaturrahmi kepada saudara, tetangga, handai taulan, teman dekat dan siapa saja yang pernah saya kenal. Saya merasakan betapa banyaknya manfaat silaturrahmi.

Di rumah kakek saya beberapa hari lalu, saya sempat bertemu dengan paman saya. Seperti biasa saya ngobrol apa saja.Dari cerita masa lalu sampai berita-berita kontemporer yang sedang melanda negri ini. Dan yang tak ketinggalan tentu saja adalah bertutur tentang kehidupan yang sedang kita alami.

Ia bercerita tentang dirinya dengan begitu semangat. Tentang kesuksesannya dalam menapaki karier di pemerintahan. Dari seorang guru biasa, kemudian menjadi kepala sekolah dan tak lama kemudian menjadi seorang penilik di dinas pendidikan kecamatan. Tak hanya itu, jika ada proyek besar, baik tingkat desa ataupun kecamatan, ia sering ditunjuk sebagai tim verifikasi. Dan ada beberapa proyek lagi yang dengan sentuhan dirinya menjadi sukses. Baik dalam dunia pendidikan maupun sosial.

Saya manggut-manggut mendengarkan itu semua. Setelah berbicara tentang dirinya sendiri, ia tinggal bertanya kepada saya. Tentang rencana saya ke depan. Setelah saya bercerita, ia memprotes habis-habisan tentang gaya hidup yang sedang saya jalani.

“Kamu salah dalam memenej hidup ini. Anakmu sudah sekolah, tapi kamu belum punya rumah.” Katanya kepada saya. “Bertahun-tahun kamu merantau dan sampai tidak mempunyaia rumah, ini sebuah kesalahan besar.”

Begitu kata paman saya. Saya hanya menjadi pendengar saja dan tak pernah membantah. Tapi ada sebuah kalimat yang saya garis bawahi. Yaitu “kesalahan besar”. Dari kalimat itu, saya menjadi ingat selintas sejarah kehidupan dia.

Ia lahir saat kakek dan nenek saya dalam keadaan ekonomi yang cukup mapan. Ia bisa sekolah SMP dan SPG (Sekolah Pendidikan Guru) dengan mudah nyaris tanpa ada problem biaya. Begitu tamat SPG, ia langsung menjadi guru. Dan kariernya terus menanjak dan menanjak. Karena Allah mentakdirkan dia mudah menjalani kehidupan, ia beranggapan bahwa dengan otaknya dan strategi dirinyalah semua bisa sukses. Sehingga dalam memandang kehidupan ini, dia seolah mempunyai rumus matematis yang sangat tepat.

Tak hanya saya yang dikritik, beberapa saudara dan kerabat keluarga kami juga kena kritikan. Siapa saja yang hidupnya belum mapan dan tidak mengikuti jejak langkah hidupnya, maka kami akan dicap bodoh.

Saya mencoba mengingat masa lalu saya. Saya sekolah walaupun tak begitu tinggi jenjangnya. Saya juga bekerja menurut prosedur umum yang banyak dilakukan orang. Saya juga membaca buku-buku motivasi para pakar. Baik Muslim maupun Barat. Saya juga berdoa kepada Yang Esa agar diberi kemudahan dalam menjalani kehidupan. Tapi jika sampai saat ini saya belum mempunyai apa-apa, alias terlalu ketinggalan jauh dengan teman seangkatan saya yang sudah punya motor, mobil, rumah, usaha mapan dan sebagainya, apakah ini mutlak kesalahan saya? Apakah rumus menjalani hidup itu harus menghasilkan keadaan yang sama persis seperti yang kita impikan? Apakah rumus menjalani hidup ini harus sama dan sebanding lurus dengan ilmu pasti atau matematika, yang satu ditambah satu akan menghasilkan dua?

Saya menyetujui, cara paman saya mencapai sukses hidup, tapi saya tidak setuju dengan cara berpikirnya yang mengedepankan otak dan akal, sementara tidak melibatkan kekuasaan Allah. Seolah dalam pandangan hidupnya, keterlibatan Allah itu tidak ada.

Saya mengatakan seperti itu karena, setiap kali ada di antara kami keluarganya yang belum berhasil menapaki kehidupan paman saya selalu mengatakan bahwa itu bentuk kebodohan kami. Kesalahan kami dalam memenej kehidupan.

Namun saya maklum dan sadar, bahwa standar kesuksesan yang ia pandang adalah lahiriah. Ia tidak pernah atau belum mencoba memandang kehidupan ini dari segi atau kacamata ruhiyah.

Mungkin kami ini sudah sekolah. Bahkan sampai ke perguruan tinggi. Indeks Prestasinya juga memuaskan. Tapi begitu wisuda, kita belum bisa menemukan pekerjaan yang bagi kami memuaskan. Atau bahkan sampai kita mempunyai anak dua atau tiga, kita belum punya kendaraan ataupun rumah.

Kalau standar kehidupan itu hanya kita pandang dari sudut keduniaan, atau seperti cara pandang paman saya, maka itu adalah sebuah kegagalan besar. Namun, kami adalah mahluk Allah yang segala gerak dan langkahnya tidak lepas dari kekuasaanNya.

Kalau pada saat ini kami masih tinggal di rumah kontrakan, atau masih hidup serumah dengan mertua, padahal kita sudah sekuat tenaga berusaha agar pada umur tertentu kita sudah mapan, tapi ternyata belum berhasil, maka tidaklah perlu khawatir yang berlebihan. Sebab sudah pasti Allah punya maksud tersendiri untuk kita.

Sebuah keyakinan yang harus terus kita bangun adalah, bahwa tak selamanya sebuah kegagalan itu seratus prosen karena faktor intern diri kita. Namun di luar itu, Allah Azza wa Jalla, adalah penentu dari gerak langkah kita. Wallahua’lam.

****
Baturraden, Purwokerto, Juli 06 <[email protected]>