Menjelang Lebaran di Rantau Orang

Sepi! Saya lihat sekeliling saya begitu sunyi. Tak banyak orang beraktivitas seperti biasanya. Tak ada lalu lalang kendaraan seperti sebelumnya. Bukan hanya itu. Ternyata sumber senyap itu ada di sini, di hati saya. Kosong terasa meremas-remas dada, hingga aura kepedihan begitu membahana. Mungkin alam sedang berduka karena ramadhan mulia segera pergi meninggalkan kita. Yang jelas, jiwa saya sungguh merana, karena di akhir ramadhan ini belum jua dapat menuntaskan ingin hati untuk lebih dekat dengan-Nya. Rabb, ampunkan hamba…

Perasaan ini semakin tersiksa manakala ingat saya tak bisa berada di tengah keluarga tercinta di hari nan fitri nanti. Kami tak lagi dapat berkeliling, bersilaturahmi ke sanak saudara bersama keluarga besar seperti dua tahun sebelumnya.

InsyaAllah, ini adalah lebaran kedua yang saya lewatkan hanya bersama keluarga kecil saya. Tahun kemarin, kami melewatkannya di Bandung, karena putra kedua kami baru berusia lima minggu. Kini, kami melewatkannya di tempat yang lebih jauh lagi. Di dalam sebuah kampus besar, di lain negeri. Kami tak mungkin pulang kali ini.

***
Saya raih telepon genggam dari atas meja. Lantas saya ketikkan beberapa kalimat curahan hati buat Ibunda tercinta. Saya memang biasa melakukannya, baik ketika senang maupun sedang berduka seperti sekarang. Saya yakin, dalam kondisi apa pun, doa beliau senantiasa mengalir untuk saya. Pun saat ini. Saya ceritakan betapa kami bersedih di sini.

Jika ini adalah sebuah pilihan, maka tentu kami akan memilih untuk melewatkan lebaran di tengah-tengah kehangatan cinta Ibu, Bapak dan saudara-saudara. Memohon maaf kepada kedua orang tua dengan mencium telapak tangan beliau, kemudian merasakan elusan nan lembut di kening dan kepala. Ah, saya sungguh rindukan itu!

Lantas Bapak dan Ibu pun akan memohon maaf, atas kesalahan yang sengaja maupun tidak sengaja beliau lakukan pada kami, anak dan cucunya.

“Kami juga minta maaf ya, Nak. Semakin tua, pasti semakin banyak kesalahan kami buat pada kalian. ”

Lalu, anak mana yang tak akan menangis mendengar permintaan maaf kedua orang tuanya. Padahal, kamilah yang banyak bersalah dan berdosa kepada mereka. Seringkali kami mengabaikan mereka, bahkan melupakan mereka di saat bahagia. Sementara, doa mereka tak pernah berhenti mengalir. Dalam setiap hela nafas yang mereka tarik. Juga dalam setiap denyut nadi kami.

Saya sungguh rindu suasana itu. Saya pun rindu mendengar suara Bapak bertakbir, selepas kami berbuka puasa terakhir. Saya ingin melalui malam menjelang Idul Fitri, bersama keluarga besar saya.

Rabbana… kuatkan kami menanggung rindu ini. Sayangilah kedua orang tua kami, sebagaimana mereka menyayangi kami dari kami kecil hingga kami dewasa, aamiiin.

***
Dan pesan singkat itu saya akhirkan dengan permohonan doa dari kedua orang tua saya tercinta.

Mohon agar kami semua diberikan umur panjang penuh berkah, hingga dapat bertemu kembali dengan Ramadhan mulia tahun berikutnya, serta dapat berkumpul bersama suatu ketika, dalam keadaan yang lebih berbahagia, aamiiin.

Saya tak lagi dapat menahan air mata.

Akhir Ramadhan di Kolej Perdana