Merajut Mimpi

Tuut.tuut.tuut.

Terdengar dering bel telpon di seberang sana. Setelah berdering beberapa kali, akhirnya telpon diangkat. "Halo, Assalamu’alaikum.." Suara yang dahulu sangat akrab di telianga, "Waalaikum salam warahmatullah."

Nia, apa kabar? Ini Vivi, sedang di Jakarta nih.." Pekik terkejut dan senang terdengar dari sana. Lalu mengalirlah cerita-cerita keadaan kami saat ini. "Anak sudah dua, " terang saya, ternyata sama. Lalu sahabat lama saya itu pun bercerita tentang kesibukannya mengurus anak sambil melanjutkan profesi psikologi.

Diceritakannya juga kelelahannya menjalani masa-masa profesi, sambil terselip pesan singkat, "Kalau mau profesi sebaiknya cepat-cepat, makin lama, makin lupa loh. Kalau mau S2 aja sih bisa kapan aja…" Saya tersenyum dan mengalihkan pembicaraan dengan menanyakan kabar teman-teman lainnya. Setelah ngobrol beberapa saat, saya mengucapkan salam dan menutup telpon.

Di lain waktu, saya menelpon teman yang lain. "Sudah bekerja menjadi konsultan di sebuah sekolah Islam Terpadu nih.., kamu kapan balik? Nanti keburu lupa." Serunya. Saya pun tersenyum kecil, sambil sedikit menceritakan aktifitas saya di Jepang.

Begitulah kegiatan saya bila balik ke Jakarta. Berlibur dari tugas-tugas rutin rumah tangga. Juga menyambung tali silaturrahim kepada teman-teman di sana. Biasanya saya menelpon beberapa teman, menanyakan kabar dan aktivitasnya sekarang.

Seperti hampir semua lulusan universitas ternama dengan jurusan yang tinggi peminat, rata-rata teman-teman saya memiliki karir yang bagus setelah lulus. Menikah, memiliki anak dan berkarir, suatu hal yang biasa di zaman sekarang ini. Malah mungkin, orang-orang seperti saya, yang memilih untuk menjadi ratu rumah tangga saja, dianggap aneh. Sayang, sudah sekolah tinggi-tinggi, tapi malah tidak bekerja. Begitu anggapan kebanyakan orang di sekitar saya.

Saya sendiri dahulu memiliki mimpi yang sama. Setelah menuntut ilmu di jurusan psikologi, tentu akan mudah mencari kerja. Menjadi wanita karir sambil mengurus rumah tangga. Ilmu saya yang bisa membantu memecahkan kesulitan orang lain, tentu sangat bermanfaat bila diterapkan di masyarakat. Tapi saya memilih untuk off dulu. Mengurus anak-anak, dan belajar untuk menjadi madrasah pertama bagi anak-anak.

Ternyata, pilihan saya ini justeru membuahkan banyak hikmah. Sehari-hari berkutat dengan urusan rumah, mengurus anak-anak dan memikirkan pola pendidikan yang terbaik untuk mereka, bukan suatu hal yang mudah seperti anggapan kebanyakan orang. Perlu berbagai skill untuk menjadi ibu rumah tangga yang baik. Kalau saya rinci satu persatu, skill yang dibutuhkan untuk menjadi ibu rumah tangga adalah:

1. Skill kepemimpinan. Memimpin diri sendiri untuk mau membuat perencanaan diri, ke luarga dan pendidikan anak bukan sesuatu yang mudah. Begitu juga ketika harus menerapkan gaya kepemimpinan itu kepada anak-anak. Butuh banyak kesabaran agar anak mau memahami apa yang diinginkan seorang ibu.

2. Skill manajerial. Menghadapi banyak pekerjaan dengan waktu yang terbatas butuh kemampuan mengatur diri dan waktu, agar semua pekerjaan bisa selesai dengan hasil yang memuaskan.
Skill komunikasi. Mengkomunikasikan ide-ide kepada suami dan anak-anak butuh kemampuan tersendiri.

3. Skill mendidik anak. Mendidik anak dengan orientasi menurunkan nilai-nilai yang dimiliki orang tua bukanlah perkara mudah. Terutama bila lingkungan sangat jauh berbeda dengan apa yang diajarkan di dalam rumah.

4. Skill Mengurus rumah, memasak dan memenuhi kebutuhan fisik semua anggota ke luarga. Untuk saya, skill ini benar-benar learning by doing.

5. Skill berkomunikasi dengan masyarakat. Hidup bertetangga dengan orang yang berbeda bahasa dan budaya bukan sesuatu yang mudah. Diperlukan rasa PD yang tinggi untuk tetap berbaur dengan masyarakat tanpa meninggalkan nilai-nilai yang dipegang teguh oleh seorang muslim.

6. skill manajemen emosi. Berusaha terus mempertahankan keinginan untuk berkembang dan mengasah berbagai potensi yang dimiliki, meskipun "hanya" berstatus sebagai ibu rumah tangga.

Saya menyadari kerja berat yang harus dipikul oleh setiap wanita yang mengaku dirinya muslim. Apa lagi orang-orang yang tetap memiliki karir di samping profesinya sebagai ibu rumah tangga. tentu lebih berat lagi amanah yang harus dipikulnya. Saya sering mendengar cerita teman-teman yang memiliki double profesi. Sebagai seorang ibu dan sebagai mahasiswa. Betapa rumitnya mengatur waktu agar semua kewajiban-kewajibannya sebagai ibu, isteri dan mahasiswa terpenuhi dengan baik.

Mungkin ada kekurangan di sana sini. Kurang memberikan perhatian kepada anak, tidak bisa seperti mahasiswa single lainnya yang berada di kampus sampai malam untuk mengerjakan penelitian dan sebagainya.

Tetapi semua kekurangan-kekurangan itu berusaha untuk ditutupi dengan kerja sama yang baik antara ia dan suaminya. Suatu kerja sama yang indah untuk mencapai mimpi yang besar.

Saya pun suatu saat nanti akan merajut kembali mimpi yang tertunda itu. Insya Allah.