Meretas Asa di Tenda Pengungsian

Tiap hamba Allah yang hidup di muka bumi ini pasti memiliki harapan. Harapan itu tumbuh seiring dengan dinamika kehidupan. Namun, bagi saudara-saudara kita di Porong, harapan seperti impian yang ingin dicapai meski terjal. Tenda-tenda penampungan tak sekokoh dinding rumah yang acapkali berteman dengan debu dan ancaman asap gas dari luberan lumpur.

Langit sudah mulai sore. Kendaraan di sekitar jalan raya Porong masih cukup padat. Kendaraan yang saya tumpangi terjebak arus padatnya lalu lintas di situ. Dari dekat, tampak gundukan tanah yang menggunung membentengi danau lumpur. Itulah pemadangan dari bendungan buatan setinggi hampir 13 meter. Kalau jebol pada saat digempur hujan deras, maka kepanikan jelas melanda.

Atap pabrik-pabrik, sekolah-sekolah, dan rumah penduduk di 16 desa dan 3 kecamatan di Sidoarjo hampir tak terlihat lagi. Beberapa anak tampak asyik bermain layang-layang di atas bendungan lumpur yang mulai mengering karena terik panas matahari. Sejenak, mereka melupakan derita nyaris kehilangan masa depan akan terhambatnya pendidikan mereka.

***

”Senja jangan ke mana untuk kita saling bertukar kisah, ” gumam saya dalam hati. Tragedi yang menimpa saudara kami di Lapindo ini sudah menjadi perbincangan internasional.

Hidup harus terus berjalan. Itulah filosofi yang tampaknya dipegang teguh oleh mereka yang harapannya ditenggelamkan oleh lumpur Lapindo sejak dua tahun ini. Semburan lumpur tak pernah berhenti keluar dari perut bumi. Sementara, solusi tepat untuk menghentikannya belum juga ketemu hingga sekarang.

”Rumah kami tinggal puing ditelan gerusan lumpur panas, ” seru di antara mereka, korban terdampak lumpur di pengungsian. Kiranya mengeluh dan menangis takcukup menjadi jawaban untuk menenangkan hati mereka. Mereka pun tahu itu. Sedangkan saya juga merasakan getirnya para ibu yang tak lagi bisa menangis karena kering air matanya atau tak mau terbuang lebih banyak lagi untuk hal yang tak pasti dan sia-sia. Pahit seperti rasa kopi tanpa campuran gula. Pekat namun jangan di hati kami, para pengungsi.

Bedak kumuh Pasar Porong tempat tinggal para pengungsi itu tidak hanya menjadi tempat untuk bertahan hidup. Tapi, mereka pun menunaikan ibadah salat lima waktu juga di tempat tersebut. Sering istigosah dilakukan oleh warga dan ulama setempat untuk memohon ampun dan pertolongan dari Allah SWT di situ.

Di satu waktu, di antara hamparan tanggul kering yang bisa saja jebol itu, salat berjamaah dan istighasah digelar. Adakah hati pemilik perusahaan yang bertanggung jawab atas musibah itu terketuk? Jika bisa menjadi salah seorang di antara sepuluh orang terkaya di Asia, mengapa pemberian ganti rugi atas tanah pengungsi masih panjang dan berbelit? Dua tahun sudah derita panjang warga korban lumpur tak tahu kapan berakhir.

Saudaraku seiman, mungkinkah kita cuma berdiam diri menyaksikan kepiluan saudara-saudara kita di pengungsian lewat televisi dan berita-berita di koran? Marilah kita gamit tangan mereka, korban lumpur, dengan doa dan bantuan dari sebagian rezeki kita. Insya Allah, secercah asa itu masih ada dan suatu keniscayaan.

”Ya Tuhan kami, sempurnakanlah untuk kami cahaya kami dan ampunilah kami; Sungguh, Engkau Maha Kuasa atas segala sesuatu” (QS at-Tahrim: 8).

[email protected]