Nenek Tua Itu

Beberapa menit berlalu dari pukul 5 sore, aku bergegas merapikan meja kerja untuk segera pulang. Selalu hari-hari di kantor berhias kerinduan dengan buah hati semata wayangku. Agak tergesa-gesa aku meninggalkan kantor, takut penumpang semakin ramai dan aku bakal tidak kebagian bangku.

Aku bergegas menuju angkutan umum itu, Kopaja 57 tinggal menyisakan satu bangku kosong, di deretan kedua dari belakang. Aku segera meletakkan badanku yang penat ini. Termangu aku mengetahui wanita yang duduk di sebelahku. "Sudah tua sekali Ibu ini," gumamku sesaat.

Aku tidak bisa menebak pasti umurnya, tapi paling tidak umurnya sudah di atas 60 tahun. Duduk sudah tidak bisa tegak, kulit keriput membalut seluruh tulangnya, giginya pun tinggal satu dua sehingga bicaranya tidak begitu jelas, beberapa helai rambutnya keluar dari penutupnya, warnanya sudah putih.

Tak tahan dengan rasa ingih tahuku, aku mulai mengajaknya ngobrol, kebetulan sang nenek cukup ramah, dari tadi sering melihatku sambil tersenyum.

"Nenek sendirian? Tadi dari mana?" tanyaku.
"Iya, dari Blok M? " jawabnya sambil tak lupa tersenyum.
"Wah, anak cucunya mana kok nggak ada yang jemput?" tanyaku lagi.
"Kerja semua," jawabnya lagi.

Beberapa pertanyaan aku lontarkan sepanjang perjalanan, untuk menghilangkan rasa bosan karena macetnya sepanjang warung buncit. Nenek itu bercerita, beberapa kali dalam semingu dia harus pergi ke Blom M. Aku tidak berani bertanya apa pekerjaanya tapi melihat bawaanya, aku menduga nenek ini berjualan baju bekas. Setiap pergi ke Blok M, berangkat dari rumahnya di daerah Condet jam sebelas-an siang, jam tujuh atau delapan baru akan sampai di rumah lagi. Ya Allah, tiba-tiba aku merasa kasihan sekaligus kagum dengannya.

Nenek yang sudah renta ini masih harus bekerja. Kenapa tidak ikut saja dengan anak atau cucunya? Nenek seusianya mestinya tinggal di rumah saja, menimang cucu/cicit, beristirahat. Tapi ini, apakah anak cucunya orang yang jahat sehingga tidak mau lagi merawat tubuh renta itu?

Beberapa saat kemudian kami sama-sama diam, sesekali nenek itu melihat keluar, sesekali tertunduk menahan kantuk, ketika tersadar melihatku sambil senyum-senyum, akupun membalas senyumnya.

Bus melaju begitu saja, sampai di stasiun Kalibata, bus harus berhenti karena ada kereta yang mau lewat. Naiklah anak lelaki kecil membaca botol bekas minuman berisikan pasir, di tepuk-tepukkannya ke telapak tangan yang satunya sambil bernyanyi "Alhamdulillah" nya Opick. Menyanyi dengan sangat tidak serius, aku malas memberinya ‘balasan’. Tetapi rasa kasihan s lebih kuat, tak urung aku merogoh kepingan 500-an di tasku. Aku ulurkan kepadanya, Ya Allah, maafkan hamba-Mu ini jika memberi dengan tidak ikhlas….

Tapi tiba-tiba aku terpana ketika nenek tua itu memberikan lembaran uang 1.000-an ke tangan lelaki kecil itu. Aku malu pada diriku sendiri, nenek yang kelihatannya tak lebih makmur dariku ini….. oh.

Bus akhirnya sampai di Cililitan, sang nenek permisi untuk segera turun, dia masih harus ganti angkutan sekali lagi untuk sampai rumahnya. Sambil membantu mengeluarkan bawaanya dari bawah bangku aku mengucapkan selamat jalan dan supaya berhati-hati, senyuman yang menjawabnya.

Sepeninggal nenek itu, aku masih merenung betapa dia mengajariku banyak hal. Bekerja tak kenal lelah, tak kenal umur. Terlepas dari bekerja karena kebutuhan atau bukan, mengajarkan kepada kita bahwa kita yang masih muda ini harus lebih giat dan tekun dalan bekerja, dengan penuh ikhlas dan menggunakan ilmu yang cerdas serta tidak menyimpang dari ajaran agama, senantiasa Allah akan membalas semuanya. Bekerjalah karena ingin Ibadah.

Beramal sholeh dengan iklhas, niscaya Allah akan memberimu balasan yang berlipat. Entah balasan itu akan kita terima selama hidup di dunia atau kelak jika di akherat. Allah mencintai orang-orang kaya yang dermawan, tapi lebih suka kepada orang yang miskin tapi dermawan.

Ya Allah, lindunguilah nenek itu di manapun berada.