Pelajaran dari Seorang Teman

Ridho Allah berada pada ridho kedua orang tua dan murka Allah (akibat) murka kedua orang tua (Hadis dari Abdullah bin Amr bin Ash)

Hari itu, aku pulang agak sore dari kantor. Jam di kantor baru menunjukkan pada pukul 5. Ini tidak biasanya bagiku. Biasanya, baru meninggalkan kantor ketika adzan magrib menjelang. Aku memang tidak butuh waktu yang lama untuk sampai di kosku. Jarak kantor dan kosku hanya sekitar 10 menit dengan berjalan kaki. Karena itulah, menyelesaikan pekerjaan sampai malam menjelangpun bukan sesuatu yang masalah dalam keseharianku.

Aku memang lebih suka menghabiskan separuh hariku di kantor. Menyelesaikan pekerjaan kantor, menulis, browsing, belajar program atau pekerjaan apalah yang bisa dikerjakan sampai menanti tibanya waktu menjelang adzan magrib berkumandang. Dan aku menyukai kegiatan-kegiatan itu. Namun, tidak dengan hari itu. Hari itu, sengaja, aku pulang saat matahari belum beranjak ke peraduannya. Bahkan, saat sang surya pun masih memancarkan sinarnya. Ada seorang teman yang menunggu di kamar kosku. Itulah yang menjadi sebab musababnya.

“Assalamualaikum”, kataku ketika berada di depan pintu kamar kosku.

Suara lirih seseorang yang berada di dalam kamarku pun menjawab salamku. Kubuka pintu kamar kosku. Kujumpai seorang teman di sana. Di atas kasur yang tergeletak di lantai kamar kosku. Dia seorang wanita. Baru beberapa hari di kosku. Dia datang dari Lampung, sebuah provinsi yang terdapat di ujung selatan pulau Sumatera. Memang sengaja bertandang ke kota Bandung. Dia ingin nyantri di sebuah pesantren terkenal di Kota Bandung. Begitulah maksud hatinya saat itu.

Awal perkenalanku dengannya adalah sebuah perkenalan yang unik. Mulanya, dia mengirimkan email perkenalannya ke emailku, sebagai responnya terhadap sebuah tulisanku yang dimuat di sebuah media Islam. Itu awalnya. Namun, ternyata, pertemanan itu tidak hanya sampai pada berkirim kabar dan cerita lewat dunia maya. Pertemanan itu terus berlanjut. Jarak Malaysia-Indonesia, tidak menghalanginya untuk sesekali menelepon atau mengirim sebuah sms ke handphoneku. Terkadang berisi sebuah ucap kangen. Terkadang berujar tentang tumpahan resah dan gelisah tentang sebuah kehidupan. Dan sesekali mengungkapkan tentang keinginannya untuk segera kembali ke tanah air, berkumpul dengan orang-orang tercintanya.

Resah itu terus berlanjut, dan memenuhi alam pikirku hingga sampai dia menginjakkan kakinya di kota tempat kedua orang tuanya berada. Bukan lewat tatap langsung, aku mengetahui resah itu. Namun, melalui untaian sms yang dilayangkannya untukku, bahkan di saat-saat aku juga disibukkan dengan pekerjaan-pekerjaan di kantor. Gelisah itu kucoba jawab dengan untaian sms, yang kuharapkan mampu menjadi penyejuk penat hatinya. Namun, entahlah, mungkin aku hanya bisa berujar dan bernasehat. Saat, aku berada pada posisinya, aku tidak yakin aku bisa setegar dan seperkasa dirinya.

“Mbak, ternyata begitu banyak yah hambatan bagi Ary untuk bisa nyantri di pesantren itu. Mungkin, karena bapak belum ridho dengan keputusan Ary ini. Memang sih, waktu Ary pengen ke Bandung, Bapak tidak ngizinin. Bapak minta Ary untuk istirahat dulu di Lampung. Lalu, setelah itu, bapak ingin Ary kursus-kursus aja. Kursus menjahit, misalnya. Tapi, Ary sudah bosan mbak, tidak ada kegiatan di Lampung. Makanya, Ary tetap aja nekad ke Bandung, walaupun Bapak tidak terlalu setuju saat Ary mau berangkat ke Bandung. Apalagi, saat itu bapak lagi sakit. Tapi, ternyata, ridho Allah itu berada di atas ridho orang tua yah mbak. Waktu di perjalanan Lampung-Jakarta, bis yang Ary tumpangi mengalami kecelakaan. Untunglah, Ary dan penumpang yang lain selamat. Dan, sekarang, kayaknya dalam waktu dekat Ary belum bisa mewujudkan keinginan Ary untuk nyantri di pesantren itu.”, begitulah kira-kira ujarnya panjang lebar saat membuka percakapan antara aku dan dirinya sore itu.

Wajar, terlontar kata ‘bosan’ dari lisannya ketika berhadapan dengan kelonggaran waktu selama kurang lebih sebulan berada di rumah kediaman orang tuanya. Kelonggaran waktu berarti menunggu berjalannya waktu, dari pagi menuju malam dan kembali menuju pagi kembali. Baginya, kekosongan kegiatan selama berada di Lampung berarti sama dengan waktu yang terasa berjalan sangat pelan, bak jalannya seorang siput. Terlalu kontras dengan siklus kesehariannya yang sangat sibuk di Malaysia, yang terkadang membuat dirinya tidak mempunyai waktu untuk sekedar bersantai. Fokus alam pikirnya hanya pada pekerjaan yang menjadi tanggung jawabnya. Shift kerja fulltime selama 12 jam cukup sudah mampu meninggalkan penat di badan dan pikiran, dan ketika sudah berada di kosnya, tidurlah yang menjadi pilihan di antara sekian banyak keinginan.

Aku mencoba mendengarkan kesahnya dengan seksama, sembari meluruskan pinggangku pada kasur yang tergelatak menggoda di belakangku. Sesekali, kujumput juga makanan kecil yang berada di antara kami berdua.

“Ada apa, teh?”, tanyaku pendek. Dari radio yang berada di kamarku, terdengar alunan nasyid. Mengundang perasaan damai di hati. Meluruhkan segala letih yang menggelayut di pundakku.

“Tadi, Ary coba sms mbak ini”, jawabnya sembari menunjukkan sederetan nomor handphone seorang wanita namanya tertulis pada brosur yang dipegangnya. Sebuah brosur tentang informasi pendaftaran dan pelaksanaan program pesantren yang diinginkannya.

“Kata mbak-nya, mungkin pendaftarannya baru di mulai minggu ketiga bulan Februari ini, sedangkan pelaksanaan pesantrennya mungkin baru dimulai akhir Maret 2007, mbak”, jelasnya panjang lebar.

“Lalu, rencana teh Ary sendiri gimana?”, tanyaku kemudian.

“Terlalu lama, Mbak, kalau harus nunggu sampai bulan Maret yang akan datang”, jawabnya pendek.

“Tapi, ntarlah, nanti Ary coba nanya ke bapak dulu. Mungkin Bapak bisa memberikan pandangan yang lebih baik tentang apa yang harus Ary lakukan. Tadi Ary juga sudah meng-sms kakak Ary yang bertempat tinggal di Jakarta”, jawabnya lagi, meneruskan penjelasannya yang sempat berhenti beberapa saat lalu.

“Menurut kakak teh Ary gimana?”, akupun kembali bertanya.

“Kakak menyarankan agar Ary ikut kursus dulu. Tapi, gak tau lah, mbak, Ary pengen nanya ke Bapak dulu. Ary pengen tau, bapak inginnya seperti apa. Ary merasa bersalah dengan keputusan ini. Setidaknya Bapak merestui niat Ary untuk nyantri di pesantren itu”, jawabnya kemudian.

Aku terdiam.

“Iya, teh Ary benar ridho Allah memang berada di atas ridho orang tua.”, sahutku beberapa saat kemudian. Mengingatkanku kembali pada lintasan-lintasan peristiwa yang terjadi beberapa bulan yang lalu. Sesaat, sebelum gempa berskala 5.9 Richter itu memporak-porandakan kota Yogyakarta. Saat itu, suatu hari kala subuh di Jakarta. Aku tengah berada di teras di rumah adik ibuku saat itu, di bilangan Cempaka Putih.

Sebuah suara terdengar dari horn handphoneku, saat itu. Suara bapakku. Beliau tetap bersikeras tidak mengizinkanku untuk ke Yogyakarta dulu, sebelum aku ke Bandung. Alasan beliau cuma satu: perjalanan Jakarta-Yogyakarta dan dilanjutkan dengan Yogyakarta-Bandung terlalu capek untuk tubuhku. Apalagi, menurut beliau, aku baru saja selesai mengikuti orientasi penerimaan pegawai baru di kantorku yang sekarang. Tetap aja beliau bersikukuh pada alasan itu, walaupun aku sudah berargumen kepergianku ke Yogyakarta bukan untuk refreshing, tapi untuk mengambil buku-buku dan pakaian-pakaianku yang memang sengaja masih aku tinggalkan di kos lamaku di Yogyakarta. Tapi beliau bergeming, dan tetap dengan keputusan beliau: lebih baik aku langsung ke Bandung dan berkonsentrasi dengan pekerjaan baruku.

Dan akupun mengalah. Bukan dengan sebuah keikhlasan. Tapi, dengan sebuah keterpaksaan dan sedikit mengeluh dalam hati: Ah, bapak. Begitulah.

Ridho Allah memang berada pada ridho orang tua dan murka Allah (akibat) murka kedua orang tua. Satu hari berada di Bandung, sungguh ada rasa syukur yang terucap di hatiku atas ketidaksetujuan bapak dengan rencanaku untuk ke Yogyakarta terlebih dahulu, sebelum akhirnya ke Bandung. Inikah, yang disebut dengan firasat orang tua atas nama kebaikan putra-putrinya? Aku tidak tahu jawabannya. Mungkin.

Pagi itu, saat waktu Subuh baru beranjak pergi. Dari sebuah siaran televisi swasta aku melihat fenomena alam itu. Yogyakarta dilanda gempa. Sesuatu yang tidak pernah menyapa Yogyakarta selama lima tahun aku merasakan kedamaian di kota Pelajar itu. Tapi, sang Khalik memang telah berkehendak. Bukan luapan lahar panas yang mengguncang kota Pelajar itu. Sesuatu yang memang telah ditakutkan saat itu sehingga berbagai antisipasi telah disiapkan untuk menanggulangi terjangan lahar panas itu. Tapi, fenomena alam ini, adalah sesuatu yang berada di luar alam pikir perkiraan manusia. Bagian selatan kota Yogyakarta bergolak. Gerakan blok sesar atau patahan yang dipicu oleh zona penunjaman lempeng tektonik di laut selatan Yogyakartalah yang menjadi penyebabnya.

Aku terhenyak meyaksikan siaran subuh itu. Allah, betapa keridhoan-Mu atas diriku memang berada pada ridho kedua orang tuaku, bahkan untuk sesuatu yang terkadang kuanggap adalah sebagai sebuah perbuatan yang baik.

Ridho Allah memang berada pada ridho kedua orang tua kita. Kata-kata teh Ary sore itu, seseorang yang bersahaja yang tengah berada di hadapanku, telah mengingatkanku pada memori cinta bapak untukku kala itu. Walaupun, wujud cinta itu dalam bentuk ketidaksetujuan atas rencanaku. Semoga ingatan tentang kejadian kala subuh itu, tetap memenuhi alam pikirku dan tetap memberikan sebuah kesadaran untuk tetap meminta restu pada orang tuaku atas apapun yang akan aku lakukan. Semoga.

Untuk seorang teh Ary, terima kasih untuk ‘pelajarannya’ sore hari itu

Bandung, Februari 2007