Pohon Ketenangan

You often get a better hold upon a problem by going away from it from a time and dismissing it from your mind all together (Dr. Frank Crane)

Sore itu hujan. Hanya gerimis. Satu-satu air hujan turun ke bumi, membasahi jalanan yang kulewati. Tanpa mengunakan payung, tetap kulangkahkan kakiku, menuju tempat angkot biasanya berhenti menunggu penumpang. Jalanan yang kulalui tidak terlalu ramai, hanya satu atau dua orang. Kebanyakan mereka adalah mahasiswa dan mahasiswi di universitas yang baru saja aku datangi.

Kakiku bergerak maju, bersemangat. Jam di pergelangan tanganku sudah menunjukkan beberapa menit beranjak dari pukul empat sore. Waktu pulang kantor memang telah usai. Tapi, hari itu, aku masih berada di jalan menuju ke kantor. Di angkot tepatnya.

Tadi siang, sehabis istirahat siang, aku izin untuk keluar kantor. Menuju ke sebuah universitas yang letaknya cukup dekat dari kantorku. Hanya kira-kira setengah jam, jika ditempuh dengan berjalan kaki. Tapi, tadi siang, aku menggunakan angkot untuk sampai ke sana. Ada sebuah janji yang harus kutepati, dengan teman-temanku yang berasal dari kota pelajar, Yogyakarta.

Setelah makan siang di tempat terdekat dengan kampus itu, kulangkahkan kaki ke tempat yang telah kami sepakati untuk bertemu. Sebuah tempat semacam aula yang terdapat di tengah-tengah kampus itu. Ada sebuah event penting di sana. Setidaknya bagi teman-teman yang masih berstatus sebagai mahasiswa. Sebuah event berskala nasional. Tempat para putra-putri terbaik bangsa ini mempresentasikan hasil karya mereka, sebuah penemuan yang beberapa di antaranya masih berskala laboratorium, tapi entahlah, suatu saat mungkin akan menjadi solusi dari sekian banyak permasalahan teknologi yang sedang dihadapi bangsa ini.

Temanku, salah satu di antaranya. Hasil karya yang dipajangnya dan dipresentasikanya dalam event itu cukup sederhana, hanya memanfaatkan sinar surya yang memang telah tersedia di alam. Berupa alat pengeringan daun yang nantinya akan digunakan sebagai pembungkus berbagai macam jenis kotak yang dapat digunakan untuk berbagai macam fungsi, apapun itu. Tempat tissue, pembungkus kado, untuk tempat hantaran pesta pernikahan dan masih banyak lagi. Sungguh, mempunyai nilai estetika yang bagus. Itu dalam pandangan subjektifku. Tapi, alat yang merupakan hasil buah pemikirannya telah mempesonaku. Kekagumanku adalah terletak pada ide sederhananya.

Semangat itu kulihat dalam diri dua orang temanku, saat itu. Mereka bercerita tentang achievement-achievement yang telah mereka capai dengan penggunaan alat sederhana itu. Bukan hanya dari sisi materi, tapi juga networking dan pengalaman-pengalaman hidup yang teramat berharga.

Aku kagum dengan semangat itu. Terpancar dari wajah capek mereka. Jenuhku hari itu terluruhkan.

***
Di suatu hari yang lain, di sebuah rumah, kami duduk membentuk setengah lingkaran. Aku berada di tengah, sebagai pusat. Di kiri dan kananku adalah anak-anak yang berusia jauh di bawahku. Mereka masih duduk di bangku sekolah menengah pertama. Ada yang kelas satu, kelas dua dan bahkan kelas tiga. Kukelompokkan mereka, berdasarkan kelas-kelas mereka.

Bergilir setiap Sabtu sore, aku mengajar mereka, antara pelajaran fisika dan matematika. Memandang wajah polos mereka, ada sebuah sensasi yang menyelinap di hatiku. Terasa sangat lembut. Memandang keceriaan mereka, ada sebuah rasa tak terdefinisikan yang merasuk dalam jiwaku, menyelusup di tempat terdalam.

Saat mereka bertanya akan ketidakmengertian mereka, ada wajah bingung yang kutatap. Tapi, wajah bingung itu segera berganti keceriaan kala ketidakmengertian itu berganti dengan kemengertian, yang diekspresikan dengan senyum dan anggukan kepala.

Wajah polos mereka memang benar apa adanya. Semangat mereka memang seperti itu. Keceriaan mereka adalah keceriaan yang sebenarnya. Ketidakmengertian mereka bukan sebuah kepura-puraan. Begitulah mereka.

Memandang mereka saat menemani mereka belajar, jenuh dan bosanku meluruh.

***
Setiap saat kita dan pikiran kita buntu, naiklah ke pohon. Dari ketinggian itu lihatlah apa yang sedang terjadi di bawah. Setelah itu kamu pasti akan bisa mencari jalan keluar (pepatah bijak)
Pepatah di atas terasa benar bagiku. Saat sedang suntuk dan jenuh dengan sekian rutinitas di kantor, yang terkadang menuntut sebuah pekerjaan yang tidak bervariasi, naik ke pohonlah yang kulakukan. Aku menamakannya dengan pohon ketenangan. Aku berusaha naik ke pohon ketenangan itu dengan cara memberi makanan bagi ruhaniku. Banyak cara yang kulakukan: ‘menyapa Allah’ lewat kesendirian dalam kekhusyukan yang tertatih-tatih yang bermakna setiap lima waktuku, menyendiri dengan mencoba khusyuk dalam ‘menyapa Allah’ di sepertiga malam, sekedar menyendiri di dalam kamar kosku, atau sambil membaca buku dan mendengarkan radio. Cara lain adalah dengan menyapa teman-teman lamaku, mengsms mereka, berbincang dengan mereka, berdiskusi dengan mereka, atau sekedar say hello yang mungkin dianggap sebagai sebuah pekerjaan basa-basi.

Atau seperti sore itu. Aku meluangkan beberapa jam kantorku, bertemu dengan teman-teman lamaku, untuk melihat hasil karya mereka. Walaupun, sebagai konsekuensinya, aku pulang ke kos lebih sore. Tak mengapa. Justru bertemu dengan mereka, adalah bagian dari caraku untuk bisa ‘masuk lagi’ dengan duniaku yang harus kugeluti selama lima hari kerja, dari Senin-Jumat.

Pohon ketenanganku juga kutemui saat bertemu dengan ‘anak-anakku’ di setiap Sabtu sore. Menatap mereka, melihat wajah gembira mereka, bertemu dengan kejujuran mereka sungguh mampu melepaskan jenuh dan bosan, atau bahkan juga kesedihan. Sabtu sore adalah saat-saat untuk mengembalikan semangat untuk bertemu kembali dengan kestatisan dan selanjutnya menggantikannya dengan kedinamisan, menggantikannya dengan keceriaan dan semangat.

Kita memang membutuhkan pohon ketenangan dan naik ke atasnya, saat sejumlah masalah, beban, hambatan menghadang kita. Setiap orang tentu punya cara sendiri untuk menggapai pohon ketenangannya. Carilah pohon ketenangan itu teman, dan naikilah pohon itu saat ada badai kehidupan yang sedang menyapa laju kehidupanmu.

Bandung, Maret 2007