Rajutan Cinta dari Sebuah Helm

Ketika sedang sibuk menyelesaikan berkas-berkas pekerjaan di kantor, saat sebuah ring tone berbunyi sebagai pertanda ada SMS masuk ke HP-ku, waktu telah menunjukkan pukul 13.30 WIB. Segera saja aku baca SMS itu yang ternyata dari isteriku tercinta.
“ Bi, .. nanti sore Abi tidak usah menjemput umi, umi sudah pulang duluan, soalnya agak pusing, tapi insya Allah umi masih terus shoum “. Begitulah bunyi SMS itu. Maklumlah pagi tadi ketika aku mengantarkan isteriku berangkat kerja di sebuah sekolah “Islamic Fullday School” di bilangan Cibubur Jakarta Timur, aku telah berjanji untuk menjemputnya lagi sepulang kerja dari kantor.

Setelah membaca SMS itu, aku biasa saja, aku pikir mungkin dia belum siap untuk puasa sunnah lagi, apalagi hari itu adalah hari pertama kami memulai puasa 6 hari di bulan Syawal setelah kurang lebih 2 minggu kami bersilaturrahim Iedul fitri kepada orang tua dan sanak saudara di daerah Ponorogo Jawa Timur dan Salatiga Jawa Tengah.
Begitulah setelah pulang kerja aku tidak menjemput isteriku dan langsung pulang ke rumah. Kulihat isteriku sedang beristirahat sambil menunggu saatnya buka puasa.

Malam hari ketika kedua buah hati kami sudah tidur, seperti biasa kami berbincang santai, berdiskusi masalah anak-anak, lingkungan kerja dan lain-lain. Aku juga menyanyakan ketika pulang kerja tadi naik apa. Isteriku menjawab, “tadi diantar Pak Subarkah (sebut saja namanya begitu) pakai sepeda motor.” Kata isteriku dengan santai pula. Tapi tidak dengan aku. Jantungku tiba-tiba berdetak agak keras, seolah tidak yakin dengan apa yang baru saja dikatakan oleh isteriku, karena kata-kata itu terdengar sangat asing bagiku.

Seperti tidak terjadi apa-apa, aku mulai bertanya secara perlahan kepada isteriku bagaimana kronologis kejadiannya sampai dia bisa pulang diantar oleh Pak Subarkah.

”Tadi setelah istirahat siang, rasa pusing itu sudah tidak tertahankan lagi, walau dari pagi dicoba untuk dikuat-kuatkan, kemudian aku minta tolong untuk diantar teman Akhwat satu ruangan, tetapi karena teman akhwat tadi sedang sibuk sekali dan tidak bisa meninggalkan pekerjaannya, maka dengan sangat terpaksa aku diantar oleh Pak Subarkah pakai sepeda motor, yang kebetulan saat itu sedang berada di depan ruangan, ” Isteriku menjelaskan dengan detail tanpa ada yang ditutup-tutupi sedikitpun.

Aku pun maklum, karena hal seperti itu sudah lazim di mana-mana, apalagi di sebuah tempat kerja yang karyawannya terdiri dari laki-laki dan perempuan. Hal seperti itu sudah biasa terlihat sehari-hari.

Mulailah kami berdiskusi agak serius. “Umi…., memang hal seperti itu biasa saja, tapi sebagai aktivis dakwah yang sepak terjangnya selalu dipantau oleh masayarakat, ada hal-hal tertentu yang sudah tidak boleh dilakukan, seperti berboncengan dengan seorang laki-laki yang bukan muhrim” ujarku mulai menasehatinya. “ Iya memang.., umi pun sebenarnya juga sudah tidak mau, tapi karena benar-benar terpaksa dan tidak ada yang dimintai tolong lagi untuk mengantar, maka jadilah Pak Subarkah yang mengantarkan, lagian usianya juga sudah tua, terus umi juga menaruh tas di tengah jok sebagai pembatas ” jawab isteriku.

“Okelah … kalau memang benar-benar sangat terpaksa dan tidak ada akhwat yang bisa mengantar, akan lebih baik jika menggunakan jasa ojeg saja, sebab sesudah itu tidak ada urusan apa-apa lagi, dan yang penting hal ini menjauhkan kita dari fitnah.” Ujarku yang terus diiyakan oleh isteriku sebagai tanda bahwa kami sepakat tentang solusi atas permasalahan ini.

Kemudian aku menambahkan lagi, “kita harus berlindung kepada Allah SWT dari segala macam bentuk fitnah sekecil apapun, mungkin umi bisa menjaga hati untuk tidak mempunyai perasaan apa-apa, tetapi bagaimana dengan Pak Subarkah? Apakah dia mampu menjaga hatinya dari segala macam bentuk fitnah yang tidak diperkirakan sebelumnya, bagaimana pula jika hal itu terlihat oleh teman sehalaqah? Apakah itu tidak akan menimbulkan fitnah? “ Jelasku agak panjang lebar.

“ Iya bi… umi ngaku khilaf, dan lain kali tidak diulangi lagi “. Jawab isteriku dengan manja dan kemudian aku kecup keningnya menutup pembicaraan kami malam itu.

Dua hari sudah berlalu dari peristiwa itu. Suatu pagi ketika isteriku akan berangkat kerja dengan sepeda motor, dia minta izin meminjam helm-ku yang besar, orang biasa menyebutnya “helm cakil” karena semua bagian kepala tertutup kecuali hanya bagian mata saja yang terbuka.

“Emangnya helm umi ke mana?” Tanyaku sambil melirik ke dinding tempat gantungan helm, yang ternyata baru aku sadari bahwa helm isteriku sudah tidak ada di situ sejak 2 hari yang lalu. “Kemarin…, waktu Pak Subarkah habis mengantar umi, dia meminjam helm “ jawab isteriku agak gugup, karena dia tahu bahwa aku pasti kurang berkenan dengan hal ini. Kali ini aku tidak memperbolehkan isteriku meminjam helmku dan aku berpesan padanya agar helm yang dipinjam oleh Pak Subarkah segera dikembalikan, karena isteriku sendiri sangat memerlukannya.

Akhirnya pagi itu isteriku berangkat kerja dengan tidak menggunakan helm, walaupun kami tahu bahwa di daerah itu banyak sekali razia/ operasi yang dilakukan oleh Polisi lalu lintas. Ini adalah sebuah pembelajaran yang berharga bagi kami.

Ternyata proses penagihan sebuah helm yang dipinjam oleh Pak Subarkah tidaklah semudah yang dibayangkan. Setiap hari selalu ada saja alasannya sehingga helm itu lebih dari satu minggu belum juga kembali. Yang karena lupa, ketinggalan, tidak masuk kerja, dan berbagai macam alasan lainnya sehingga membuat isteriku menjadi enggan untuk menagihnya, dan kami pun tidak berharap lagi helm itu akan kembali.

Tapi anehnya selama helm itu belum kembali, isteriku selalu tersenyum kecut bila mengetahui aku melihat ke arah dinding tempat gantungan helm dan mendapati helm itu sudah tidak ada. “ Ya… sudahlah tidak usah diingat-ingat lagi.” Kata isteriku mencoba menghiburku.

Dua belas hari sudah helm itu tidak ada di tempat gantungannya. Dan selama itu pula isteriku selalu meminjam helmku untuk keperluannya. Tetapi sejujurnya dalam hati, aku masih berharap suatu hari helm itu akan kembali kepada kami. Bukan karena harganya yang mahal dan bukan pula karena bagus barangnya, tetapi aku khawatir helm itu akan menjadi penyebab terjadinya fitnah, atau kurang baiknya hubungan kerja antara isteriku dan Pak Subarkah.

Akhirnya suatu sore ketika aku menjemputnya di sekolah tempat dia bekerja, saat aku duduk di bawah pohon rambutan yang banyak tumbuh di pelataran sekolah itu, samar-samar aku lihat di kejauhan isteriku sedang menenteng buku-buku dan membawa sesuatu. Segera saja aku kenakan kaca mata minusku untuk lebih memperjelas pandanganku. Dan…. Subhanallah … isteriku tersenyum manis sekali laksana sebuah senyum kemenangan setelah mengalahkan sesuatu yang besar. Dia telah berhasil mendapatkan kembali helm kesayangannya itu.

Rupanya siang tadi Pak Subarkah telah mengembalikan helm yang dulu pernah dipinjamnya entah telah berapa hari lamanya.

Memang Allah SWT Maha Bijaksana. Dia berkuasa menjadikan apapun sebagai tadzkirah/ peringatan bagi manusia. Tinggal kita, apakah mampu mengambil hikmah dari semua peristiwa yang terjadi sehari-hari di sekeliling kita. Rupanya kali ini Allah SWT memberikan hikmah kepada kami melalui sebuah benda sederhana yang bernama “helm”. Benda itu seolah-olah merajut kembali cinta suci kami yang karena kesibukan masing-masing terkadang lupa untuk memberikan perhatian yang lebih walaupun hanya lewat telepon maupun ungkapan kata melalui SMS.

Terima kasih isteriku, Qurrota ‘aini (penyejuk mata) begitulah aku menganugerahkan gelar padanya. “Sesungguhnya sesudah kesulitan itu datanglah kemudahan “(QS. 94;6).

Muamar Kh.