Ramadhan: Madrasah Pembentukan Mental

Ada yang menyatakan bahwa Ramadhan merupakan bulan pendidikan (syahr al-tarbiyyah). Tentunya ini bukan tanpa alasan. Karena secara realita, Ramadhan benar-benar edukatif. Ia dapat diibaratkan sebagai ‘madrasah’, lebih tepatnya sebagai training centre bagi qalbu-qalbu orang yang ingin menaiki “tangga-tangga ketakwaan”.

Tulisan sederhana ini akan mengulas secara sederhana, bagaimana Ramadhan membentuk mental orang-orang yang berpuasa di dalamnya. Jika ditilik dengan cermat, inti daripada puasa adalah “self control” (pengendalian diri). Artinya, Ramadhan mendidik para pelakunya menjadi orang-orang yang mampu mengendalikan hawa nafsunya: nafsu perut dan nafsu syahwatnya. Lewat self control inilah puasa Ramadhan mampu membentuk beberapa mental positif.

Pertama, mental qana‘ah. Penulis berasumsi bahwa seluruh orang yang melaksanakan puasa memiliki pengalaman yang sama. Apa itu? Ketika waktu berbuka hampir tiba, nafsu makan begitu “menggebu-gebu”. Seluruh jenis makanan dan aneka ragam minuman ingin kita lahap seluruhnya. Namun apa yang terjadi? Ketika waktu buka telah tiba, yang dapat ‘diterima’ oleh perut besar (lambung) hanya satu gelas teh manis atau sirup dan satu potong roti. Lalu, ke mana ‘nafsu perut’ yang ketika sore itu begitu provokatif itu? Hilang. Sirna. Yang ada hanya rasa kenyang dan puas dengan satu gelas teh manis dan satu potong roti itu.

Artinya, puasa itu membentuk mental qana‘ah. Hiduplah apa adanya. Tidak usah terlalu memaksakan kehendak dan syahwat duniawi. Apa yang kita nikmati pada hakikatnya lebih sedikit dari apa yang kita miliki. Dan sejatinya, qana‘ah itulah yang disebut oleh Baginda Rasul SAW sebagai “kekayaan” tak akan pernah habis.

Kedua, mental muraqabah. Apa maksudnya? Orang yang berpuasa, selalu merasa diawasi oleh Allah SWT. Inilah yang dikenal dengan sistem “waskat” (pengawasan melekat). Orang yang berpuasa benar-benar memiliki strong self-control. Allah selalu hadir di mana dan kapan saja. Logikanya, ketika seseorang – yang sedang berpuasa – mengambil air wuduk untuk melaksanakan shalat, bisa saja dengan gampang dan mudah ‘korupsi’ air wuduk. Atau, seorang ibu yang sedang menyiapkan makanan untuk berbuka dapat melahap “kolak pisang” yang begitu menggoda dan menggiurkan. Tapi kenapa tak seorang pun berani melakukannya?! Karena Allah hadir dan mengawasinya. Bukankah puasa itu hanya ‘milik Allah’ dan hanya dia yang ‘mengganjarnya’? Ini dengan gamblang Dia proklamirkan dalam sebuah hadits Qudsi, “Seluruh amalan anak Adam (manusia) untuknya, kecuali puasa. Sesungguhnya puasa itu untuk-Ku, dan Aku sendirilah yang akan membalasnya. ” (HR Bukhari).

Amalan (ibadah) yang sangat sulit ditembus oleh setan adalah “puasa”. Sehingga, yang mengetahui hakikat puasa itu hanya Allah dan si pelaku. Jika puasa itu milik Allah, seyogyanya orang yang berpuasa merasa muraqah Allah itu senantiasa menyertainya. Agar Allah benar-benar melihat dan mengganjar puasanya dengan sempurna. Jika mental muraqah ini tidak pernah dimunculkan, niscaya puasa pun dilakukan hanya sekedar “menggugurkan kewajiban”, tidak lebih.

Ketiga, mental ‘sabar’ berkata baik dan bertindak benar. Semua orang yang berpuasa merasakan bahwa Ramadhan itu seperti “rem pakem” kata-kata dan tindakan. Di bulan ini, orang tidak akan sembarangan alias asbun (asal bunyi) dalam berkata-kata. Semuanya benar-benar diperhitungkan. Dan ini salah satu sisi mental yang dibangun oleh puasa itu. Hal ini dijelaskan oleh Kanjeng Nabi SAW dalam sabdanya, “Sesungguhnya puasa itu bukan sekedar “tidak makan dan tidak minum” saja. Puasa itu adalah menahan mulut dan tindakan dari hal yang sia-sia dan keji. ” (HR Ibnu Khuzaimah, Ibnu Hibban dan al-Hakim). Dalam hadits lain, Rasulullah SAW juga menyatakan, “Barangsiapa yang tidak meninggalkan perkatan dan perbuatan dusta, maka Allah tidak peduli dia tidak makan dan tidak minum. ” (HR Bukhari). Artinya, orang yang biasa berkata dusta ketika berpuasa, maka Allah tidak butuh kepada puasanya. Maka, puasanya menjadi sia-sia dan tak memberikan faedah apapun. Yang dipetik dari puasa seperti ini adalah apa yang diutarakan Rasul SAW, “Berapa banyak orang yang berpuasa, hanya mendapatkan lapar dan dahaga saja. ” (HR Al-Nasa’i, Ibnu Majah, Ibnu Khuzaimah dan Ibnu Hibban).

Keempat, mental ‘aji mumpung’. Bulan ini benar-benar bulan obral pahala. Maka sangat merugilah orang yang tidak menyadarinya. Yang harus dibangun di bulan yang penuh rahmat, maghfirah dan itqun min al-nar ini adalah “mental aji mumpung”. Ini lah kesempatan dan peluang emas yang tidak boleh dilewatkan begitu saja. Bayangkan, satu kebaikan dilipatkan-gandakan menjadi 70-700 kali lipat. Siapa yang tidak tergiur? Namun, bukan berarti mental ini menjadi mental apportunist.

Bayangkan, para hari kiamat nanti, bau mulut orang yang berpuasa lebih wangi dari bau minya misik (kesturi) yang ada didunia ini. “Demi jiwa Muhammad yang ada dalam genggamannya! Bau mulut orang yang berpuasa itu lebih wangi di sisi Allah pada hari kiamat daripada minyak misik. ” (HR Muslim).

Itulah beberapa mental yang coba ditumbuhkan dan dibangun oleh Ramadhan yang mulia ini. Semoga Ramadhan kali ini benar-benar dapat kita “raup” nilai-nilainya. Mari kita tanamkan dalam hati bahwa Ramadhan kali ini harus benar-benar menjadi ‘kolam ampunan dosa’. Karena sangat ini orang yang ditemui oleh Ramadhan, namun ketika Ramadhan itu kembali menghadap Tuhannya, dosa-dosanya belum diampuni. “Betapa hina seseorang jika Ramadhan datang, kemudian ia pergi, sedangkan ia belum diberi ampunan. ” (HR Al-Tirmidzi). Wallahu a‘lamu bi al-shawab. [] (Medan, 6 Ramadhan 1428 H).

By: Ibnoe Dzulhadi