Zero Point

Mencandai sebuah kegetiran bukanlah suatu hal yang lazim. Mencemili kegelisahanpun bukan suatu hal yang lumrah. Tapi apakah haram bila kita menyandingkannya? Nggak sama sekali.

Toh semua hal jatuhnya zero point karena sesungguhnya kitalah yang memaknai segala kejadian yang kita alami. Mau dibawa berat jadi berat banget. Mau dibawa enteng jadi ringan. Mau mencuri hikmah dari kepahitan bisa. Mau menenggelamkan kenestapaan ya monggo kerso. Intinya semua hal yang ada di sekitar kita adalah kesempatan, tinggal kitanya saja mau menjatuhkan pilihan pada opsi yang mana. Disinilah kedewasaan kita sebagai seorang hamba diuji.

Nikmati dan bawa asyik aja mungkin bisa dijadikan kunci pembuka kenyamanan rasa saat kita dihadapkan pada samudra kepahitan. Lalu timbullah sebuah pertanyaan, mungkinkah kita menikmati suatu hal yang menyedot energi pedih kemanusiaan kita? Jawabannya bisa. Mengapa bisa? balik lagi ke teori zero point tadi. Dengan kata lain, mindset kita mesti direparasi terlebih dahulu sehingga segala hal yang menghadang di langkah, bisa kita posisikan sebagai kado bukan ujian dari ALLAH. Beda kata akan menimbulkan efek psikologis yang berbeda. Akan seperti ini gambarannya bila kedua kata itu dibelah lebih dalam.

Kado Vs Ujian

Tanpa disadari atau tidak, manusia sangat hobi untuk mengaitkan satu hal dengan hal lainnya, yang akhirnya secara disadari mengerucut menjadi sebuah identitas terhadap hal tersebut. Kado identik dengan suatu hal yang sangat dinanti-nanti kedatangannya dan biasanya diberikan karena ada suatu hal yang spesial dan pastinya sangat indah saat membukanya. Sedangkan ujian identik dengan suatu hal yang menakutkan, mencemaskan, keluhan, dan segala hal yang beraroma negatif lainnya.

Sekarang bayangkan bila kita melulu menggunakan kata ujian saat diterpa kepahitan. Boro-boro kepikiran buat mencari hikmah, yang ada kita malah terpaku dengan kesulitan tersebut. Yang akhirnya kita merasa menjadi orang yang paling susah sedunia. Padahal kalau kita mau berpikir jernih dan menjabarkan segala peristiwa yang terjadi, sesungguhnya ujian itu kadarnya hanya setitik bila dibandingkan pembelajaran yang kita dapatkan. Ya, nikmat ALLAH jauh lebih besar bukan?

Kalau menggunakan kata kado gimana? Satu hal yang membuat kado itu menjadi indah adalah pada saat proses mengupas bungkusnya. Di sana akan timbul berbagai rasa, mulai dari rasa deg-degan, penasaran, was-was, senang, semua membuncah jadi satu sampai akhirnya kita melihat isinya. Bilapun nanti isinya di luar angan, pasti sudah tersembul rasa syukur bahwa kita telah diberi suatu hal yang gratisan.

Begitupun kala kita menghadapi pernik kehidupan. Jika mau dipikir lebih jauh, bukankah kita sedang berproses dalam membuka kado? Bungkus kado itu tidak selamanya satu lapis dan juga tidak selamanya tampilan bungkusnya sama dengan kualitas isinya. Ada yang luarnya bagus tapi diikuti dengan lapisan-lapisan kertas kado yang jelek dan berakhir dengan isi yang bagus. Ada yang luarnya jelek tapi dalamnya bagus. Adapula dari bungkus sampai isinya bagus dan ada juga yang bungkusnya jelek, isinya jelek juga (kalau begini delon deh jadinya, alias derita loe sendiri… hehe). Bila analogi tersebut ditampilkan dalam kehidupan maka kejadiannya akan seperti ini: hidup itu tidak selamanya enak, pada titik tertentu ada rasa eneg yang muncul ke permukaan. Di sini tugas kita mencontreng salah satu jawaban dengan konsekuensi khas yang mengikutinya: lari dari kenyataan atau lari kepada ALLAH?

Lari dari kenyataan akan menobatkan kita menjadi manusia yang kerdil, kalah, dan manusia yang hanya berani membaca soal tapi tidak berani melukiskan jawaban. Apalagi lari dari kenyataannya sampai mengakhiri hidup segala… nau’udzubillah min dzalik. Lari kepada ALLAH akan menjadikan kita orang yang berani membaca soal, berani melukiskan jawaban, sekaligus mempunyai kekuatan untuk menggrafir hikmah di hati dan langkah.

Dengan demikian, masihkah kita mau melabeli diri kita menjadi orang paling susah? masih terpikirkah untuk membaui hati kita dengan keluhan yang melemahkan? masih tegakah mulut kita untuk mencaci segala kegagalan? dan pastinya gak ada lagi ruang di jiwa kita untuk melagukan "aku tak sanggup lagi menerima derita ini. aku taksanggup lagi menerima semuanya…"