Sebenarnya Hidup Itu untuk Apa?

Bus 82 Jurusan Depok-Tg. Priok melaju perlahan. Penumpang dalam bus tidak terlalu penuh. Semuanya mendapatkan tempat duduk. Tak ada yang berdiri dan tak ada yang berdesak-desakan. Beberapa orang terlihat berbincang-bincang dengan teman satu kursinya. Yang lainnya, ada yang melihat-lihat pemandangan di luar jendela. Ada yang bengong. Bahkan ada juga yang menatap ke luar jendela dengan pandangan kosong, nanar. Sempat kulirik sekilas seorang Bapak yang duduk di seberang kursiku. Ia tertidur pulas. “Ah… mungkin beliau kelelahan” gumamku dalam hati.

Aku, bersama sahabatku, yakni Irma dan Lina duduk di barisan kursi nomor tiga dari belakang. Dalam perjalanan pulang sehabis bersilaturahim dengan teman-teman satu kosanku itu, kami sempat berbincang.
“Hmm….Alhamdulillah ya hari ini sangat menyenangkan sekali! Aku bahagia bisa bersilaturahim dan bertemu dengan teman-teman lama. Aku rindu dengan masa-masa indah kita sewaktu kos dahulu. Semuanya begitu berkesan. Persahabatan, perasaan senasib dan sepenanggungan, saling membantu, mendukung dan perasaan mudah berempati di antara kita sangat tinggi sekali” ujar Lina yang disertai dengan anggukan Irma.

”Iya, aku juga senang.” jawabku. Aku ingin masa-masa ini terulang lagi. Kadang-kadang dalam kesendiriaku, aku sering berpikir bahwa kita ini kok sudah seperti saudara saja ya? Begitu akrab, dekat dan mudah membaur. Semuanya mengalir apa adanya. Tidak ada jaim jaim-an di kos dan tidak ada permusuhan yang menimbulkan konflik. Kita seperti sahabat-sahabat yang memang ditakdirkan oleh Allah untuk bertemu di kos Puri Lestari itu. ”Iya. Ini memang takdir yang telah digariskanNya. Kata Irma mendukungku.

Setelah seharian bersilaturahim dan temu kangen, aku merasa persaudaraan itu begitu erat ikatan pertaliannya, terbangun kokoh dan makin tertanam dalam hati. Tidak terasa waktu satu hari ini begitu cepat berlalu. Esok, kita harus menjalani rutinitas seperti biasa. Pergi pagi untuk beraktivitas dan baru pulang sore hari. Tiap hari berulang-ulang seperti itu terus. Senin sampai Jumat. Sabtu, Ahad libur. Namun hal rutin itu terus berulang lagi pada hari senin hingga jumat pekan depannya lagi.

”Oiya, kamu merasa gak sih? Sebenarnya hidup itu untuk apa?” tanya Lina. ”Iya Lin. Kadang-kadang aku juga mempunyai pikiran yang sama denganmu. Aku merasa bahwa rutinitas itu tiada akhir ya? Selalu berulang, berulang dan berulang. Terkadang, dalam perjalanan pulang dari kantor ke rumah, di dalam bus aku sering merenung dan berpikir. Sebenarnya yang sudah aku lakukan satu hari ini untuk apa sih?

Dalam perenunganku itu, sering air mata ini menetes. Aku merasa ada yang hilang. Aku merasa, untuk apa sebenarnya aku melakukan aktifitas rutin seharian itu? Untuk mencari nafkah? Untuk mengejar uang, kedudukan dan embel-embel dunia lainnya? Sekedar itu saja-kah? Tidak! Sama sekali tidak! Lalu, untuk apa itu semua? Bekerja mati-matian seharian, sementara kehidupan pribadi kita terabaikan. Sebenarnya itu semua untuk mengejar apa?” ujarku pada Lina dan Irma.

Mereka berdua mengangguk-anggukkan kepala. Ternyata, apa yang aku rasakan, dialami juga oleh Irma dan Lina. Mungkin inilah yang dinamakan dengan rutinitas menjemukan.

Hal ini pula-lah yang mungkin dialami oleh sebagian besar orang yang mempunyai aktivitas rutin harian.

Raut wajah Lina berkerut-kerut, ia mulai kebingungan menghadapi pembicaraan tentang kehidupan dan rutinitas harian. ”Yah…itulah kehidupan. Sulit memang kalau harus membahas masalah kehidupan dan aktivitas rutinnya. Aktivitas rutin itu bermula dari sejak kita membuka mata di pagi buta hingga kita menutup mata di ujung malam.

Dalam satu hari itu banyak sekali aktivitas kehidupan yang begitu rumit dan beragam. Jika kita tidak pandai-pandai mengaturnya dan tidak bertawakal kepada Sang Pemilik Kehidupan, maka rutinitas itu memang akan menjemukan. Harus ada rihlah dan refreshing hati untuk mengatasi kejenuhan itu. Mendekatlah dan selalu ingatlah kita pada Sang Maha Pengatur kehidupan.” ujar Irma menjelaskan.

”Wah..wah…makin rumit aja nih pembicaraannya. Sudah yuk, kita istirahat saja. Tidak usah berbicara sesuatu yang bikin kepala kita tambah berputar. Kita jalani saja kehidupan ini dengan ikhlas. Aku lelah memikirkan kehidupan. Mendingan kita istirahat saja yuk. Perjalanan menuju Tg. Priok masih jauh.” kata Lina sambil membetulkan posisi duduknya.
Aku dan Irma tersenyum.

Tak berapa lama, aku melihat Irma sudah mulai terlena di kursi pojok. Sementara, Lina masih melihat-lihat pemandangan di luar jendela. Sedangkan aku sendiri sudah berusaha memejamkan mata. Tapi tetap tidak bisa. Pikiranku masih melayang, berputar-putar pada hal-hal yang tadi diperbincangkan. Tentang ikatan persaudaraan, tentang rutinitas harian yang menjemukan, tentang hidup untuk apa dan tentang kehidupan setelah ini.

Masih ada pertanyaan besar dalam benakku.
Sebenarnya hidup itu untuk apa sih?