Sembilan Pelajaran Ibadah Haji

Berbagai ibadah yang Allah perintahkan kepada hamba-Nya sudah barang tentu mengandung hikmah besar di dalamnya, tanpa terkecuali ibadah haji. Ibadah yang kerap disebut sebagai napak tilas spiritual Nabi Ibrahim ini mengajarkan banyak hal kepada kita. Setidaknya ada 9 mutiara hikmah yang dapat digali dari ibadah haji ini.

Pertama, Imam Bukhari dan yang lainnya meriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas, dikatakan bahwa penduduk Yaman ketika itu hendak menunaikan ibadah haji. Sementara itu mereka sama sekali tidak membawa perbekalan. Dengan entengnya mereka mengatakan, “Kami orang-orang yang bertawakkal.” Sikap orang Yaman itu mendapat teguran dari Allah. Sehingga turunlah firman Allah, “Berbekallah, dan sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa…,” (2:197). Lantas para ahli tafsir mengatakan, maksud bekal di sini adalah perbekalan maaliyyah (finansial) sehingga para jamaah tidak melakukan perbuatan hina dengan minta-minta dan mengemis selama perjalanan ibadah haji. Jadi jelas sekali di sini Allah secara implisit mengaitkan tindakan untuk tidak minta-mintadan mengemis denganketakwaan. Artinya, salah satu wujud ketakwaan itu adalah memelihara diri dari perbuatan minta-minta dan mengemis. Tampaknya, Allah ingin agardalam ibadah itu tidak dikotori perbuatan hina.Karena itu, kita sangat prihatin maraknya perbuatan ‘minta-minta massal’ yang dipertontonkan oleh sebagain kalangan umat Islam di jalanan dengan dalih untuk pembangunan masjid, terlebih lagi dengan sedikit memaksa. Di samping tindakan seperti itu mengganggu ketertiban umum, juga akan mengesankan bahwa Islam melegalkan perbuatan minta-minta dan mengemis. Bukankah Islam mengatakan ‘tangan di atas lebih baik daripada tangan di bawah’.

Kedua, adalah sudah menjadi kebiasaan orang-orang Arab jahiliyyah setelah menunaikan ibadah haji mereka menyebut-nyebut kemegahan nenek moyang mereka. Kemudian Allah meluruskan kebiasaan tersebut. Firman-Nya, “Apabila kalian telah menuntaskan ibadah hajimu, maka berdzikirlah dengan menyebut Allah sebagaimana kalian menyebut-nyebut (membangga-banggakan) nenek moyangmu atau bahkan berdzikir lebih banyak dari itu…,”(2:200). Dengan demikian, attajarrud lidzikrillaah (totalitas dalam berdzikir) dalam rangkaian ibadah haji tidak lantas hilang dalam kehidupan keseharian kita. Manakala seseorang berdzikir (mengingat) Allah dalam perilaku sehari-harinya, maka dirinya akan merasa diawasi, sehingga diharapkan akan timbul rasa takut kepada Allah jika hendak melakukan perbuatan-perbuatan maksiat. Untuk memupuk dzikrullaah ini, Rasulullaah telah memberikan panduan kepada kita, yaitu amalan dzikir beliau setiap pagi dan petang hari.

Ketiga, ibadah haji merupakan napak tilas ajaran Nabi Ibrahim, Bapak Para Nabi (Abu al-Anbiyaa). Nilai terpenting dari napak tilas itu adalah pengorbanan (at-Tadhhiyyah). Dengan pengorbanan ini kita diajak untuk mengenyahkan ego kita yang cenderung kepada hawa nafsu. Pengorbanan yang disimbolkan dengan penyembelihan Nabi Ismail menunjukkan betapa Ibrahim telah berhasil mengenyahkan ego kepemilikan mutlak Ismail di tangannya. Tentu untuk sampai ke sana Ibrahim bukan tanpa godaan dan hambatan. Setan terus menggodanya sehingga Ibrahim melempar setan itu untuk tidak menggodanya lagi. Pergumulan antara setan dengan Ibrahim itu kemudian diabadikan dengan melontar jumrah. Artinya, kita dituntut untuk melemparkan ego kita yang cenderung kepada hawa nafsu, keserakahan, dan kerakusan. Kita dituntut belajar berkorban untuk orang lain, berjiwa sosial, dan berlapang dada. Nilai-nilai seperti itu kini makin terkikis pada masyarakat kita yang individualis. Padahal Rasulullah melukiskan masyarakat Muslim itu seperti satu raga, yang apabila salah satu anggota raga itu sakit maka raga yang lainnya pun ikut merasa sakit.

Keempat, pada saat ibadah haji sekitar 3 juta Muslim dari seluruh dunia berkumpul. Mereka berasal dari berbagai negara, suku bangsa, budaya, profesi, status sosial, warna kulit dan sekat-sekat duniawi lainnya. Mereka bergerak kompak dari Mina, Arafah, Muzadlifah dan Makkah. Takbir, tahlil dan tahmid bergema dari lisan-lisan mereka. Tak ada huru-hara dan pertikaiaan. Maka wajar saja, seperti diriwayatkan Ibnu Hisyam, Rasulullah berpesan dalam haji wada’nya, "Wahai manusia, sesungguhnya Tuhan kalian satu, nenek moyang kalian satu, kalian semua berasal dari Adam, dan Adam itu dari tanah, yang paling mulia di antara kalian di sisi Allah adalah yang paling bertakwa di antara kalian, tidaklah orang Arab atas non Arab dan tidak pula non Arab atas orang Arab, tidak pula orang berkulit merah atas orang yang berkulit putih, tidak pula orang yang berkulit putih atas orang yang berkulit merah itu ada kelebihan kecuali dengan takwa." Seolah-olah Al-Mushtafa mengisyaratkan ibadah haji ini mengajarkan akan pentingnya nilai-nilai al-Musawaah (egaliter), yang pada gilirannya akan membangun rasa persatuan dan perdamaian. Dengan berkumpulnya jutaan Muslim dalam ibadah haji ini, seharusnya menjadi modal dasar wihdatul ummah yang saat ini lenyap dari umat Islam.Saat ini ummat Islam tercabik-cabik tanpa adanya persatuan, sehingga kekuatannya tercerai berai.

Kelima, ibadah haji merupakan syukur atas nikmat Allah yang berlimpah. Dari nikmat-nikmat Allah yang tak terhingga, setidaknya nikmat Allah itu dapat dikelompokkan kepada tiga jenis: nikmat keimanan, kekayaan dan kesehatan. Dan ibadah haji adalah wujud yang paling mewakili dari berbagai ibadah yang ada untuk mensyukuri ketiga nikmat tersebut. Pasalnya, ibadah haji adalah panggilan keimanan, yang merealisasikannya perlu perbekalan materi yang cukup ditambah fisik yang sehat. Maka tak heran ibadh haji disebut ibadah ruuhiyyah sekaligus ibadah jasadiyyah dan maaliyyah.

Keenam, ibadah haji merupakan sarana paling efektif bagaimana seorang Muslim menyaksikan berbagai manfaat, dari yang terbesar sampai ke hal-hal kecil. Di sana ada kebersamaan, pengorbanan, saling mengenal, persaudaraan, persamaan, persatuan, toleransi, penghormatan dan keragaman. Selain manfaat di atas, sudah barang tentu juga manfaat-manfaat material. Karena itu, berniaga saat berhaji bukanlah sebuah dosa.

Ketujuh, ibadah haji akan menumbuhkan spirit keprajuritan (ruuhul jundiyyah). Laksana tentara yang siap siaga memenuhi panggilan sang komandan, demikian pula jamaah haji. Tatkala niat dipancangkan, tekad dibulatkan, mereka pun serantak dengan sigap menjawab seruan ilahi, ”Labbaaikallohumma labaik, labbaik laa syarikala labbaaik…" Ya Allah, aku sambut panggilan ya Allah. Ya Allah, tidak sekutu bagiMu ya Allah.

Kedelapan, ibadah haji merupakan pestival tahunan agama Islam. Ummat Islam dari pelosok bumi datang ke Tanah Haram. Ragam budaya, adat istiadat dan warna-warni madzhab peribadatan tersuguhkan di Tanah Haram. Dengan demikian, jika kita hendak melihat miniatur Muslim seluruh dunia, maka perhatikanlah pestival haji tahunan itu.

Terakhir, haji sebagai konferensi Islam internasional. Inilah konferensi tahunan dengan jumlah peserta terbanyak dalam sejarah panggung kehidupan dunia. Jutaan orang berkumpul tanpa perlu diundang setiap tahunnya. Bagi Allah, cukuplah dengan undangan tertulis sekali saja. "Dan berserulah kepada manusia untuk mengerjakan haji…"(22:27).

Demikianlah butir-butir dari sebagian hikmah ibadah haji, yang kalau diamati meliputi segenap aspek kehidupan manusia. Semoga saja kita semua dapat mengambil hikmah itu, untuk kemudian dijadikan pola kehidupan keseharian kita. Semoga…