Susahnya Konsisten

Saya begitu terpesonanya ketika sosok di depanku memaparkan tentang beberapa nasehat singkat sehubungan dengan 6 pertanyaan imam al-Ghozali. Apa yang paling dekat, paling jauh, paling berat, paling ringan, paling besar dan paling tajam dalam hidup ini. Sejujurnya kisah seperti itu sudah sering kudengar, baik lisan maupun tulisan. Namun entah kenapa ketika beliau menyampaikan kembali rasanya begitu tajam menghunjam ke sanubari. Yang paling dekat dengan kita adalah kematian, yang paling jauh dengan kita adalah masa lalu, yang paling besar adalah nafsu, yang paling tajam adalah lidah, yang paling berat adalah amanah dan yang paling ringan adalah meninggalkan sholat.

Saya begitu terpesonanya ketika sosok di depanku memaparkan tentang beberapa nasehat singkat sehubungan dengan 6 pertanyaan imam al-Ghozali. Apalagi suaranya begitu berapi-api, melengking naik turun, kadang mendayu, menusuk langsung ke kalbu, menghanyutkan, apalagi ketika kemudian ayat-ayat Nya dibacakan. Tanpa terasa urat malu serasa dibelah-belah sempurna. Sepertinya ke-enam hal tersebut mulai menjadi hal yang jarang direnungkan. “Gue banget gitu loh”. Tes, tes, tes, air mata menetes malu-malu. Dan seperti biasa setiap dinasehati, hati bernyanyi, berjanji akan menjadi lebih baik.

Saya begitu terpesonanya ketika sosok di depanku memaparkan tentang beberapa nasehat singkat sehubungan dengan 6 pertanyaan imam al-Ghozali. Tanpa terasa 20 menit mengalir begitu saja. Mulut terkunci rapat, hati sunyi, qalbu tertunduk malu. Tersindir sejadi-jadinya. Apalagi ketika paparan tentang melalaikan sholat sebagai hal yang ternyata paling ringan, paling gampang, paling mudah dilakukan. Saya tersindir hebat, berapa kali saya benar-benar berdiri ketika adzan menggema? Apalagi mempersiapkan wudhu, hati, dzikir dan jiwa beberapa saat menjelang azan sehingga saat menghadap padaNya dalam keadaan indah luar biasa. Dan untuk kali ini pula, kami sholat benar-benar tepat pada waktunya. Pembicaraan benar-benar disudahi begitu adzan memanggil. Tidak seperti minggu-minggu biasanya, dikorupsi dulu beberapa menit, bahkan sampai 1 jam.

Saya begitu terpesonanya setelah sosok di depanku selesai memaparkan tentang beberapa nasehat singkat sehubungan dengan 6 pertanyaan imam al-Ghozali. Pikiran dan hati inipun masih dalam keadaan merenung sempurna saat sosok itu mengajak ke Islamic Book Fair yang lagi digelar di Istora Senayan. Kami banyak berdiskusi kembali tentang hal di atas.

Beberapa jam telah dihabiskan untuk sekedar ’tawaf’ melihat-lihat berpuluh-puluh stand yang tak hanya menjual buku tapi juga pernak pernik muslimah. Dan tanpa terasa magrib pun menjelang. Sosok yang tadi saya ceritakan masih asyik berpindah-pindah dari satu stand jilbab ke stand lainnya. Terus terang saya mulai jengah, karena lebih menyukai stand buku-buku, lagipula adzan maghrib telah memanggil. Sebagai seorang junior, saya mencoba mencolek perlahan dan memberi tanda bahwa magrib telah menjelang. Sebentar lagi saudariku, kata sosok tersebut. Lima menit, 6 menit akhirnya 10 menit menjelang. Wajah ini mulai meradang saat menuju kamar mandi, mengingat betapa antrian wudhu di tempat seperti ini luar biasa. Wudhu rasanya tidaklah sempurna. Alhamdulillah sholat maghrib bisa ditunaikan dengan sempurna tepat 10 menit menjelang Isya. Saya tercenung cukup lama. Betapa konsisten itu susah. Betapa istiqomah itu berat.

Belum habis dzon yang meraja di hati ini, tiba-tiba sosok tersebut berseru kaget. Ternyata teman seorganisasi juga berada di musholla tersebut. ”Alhamdulillah, ketemu mbak Fulanah di sini” ujarnya senang, ”Saya jadi ada teman untuk berangkat bareng ke syuro malam ini”. Saya ikut tersenyum senang. Tapi kemudian situasinya menjadi berbeda saat temannya tersebut mengatakan bahwa dia juga baru saja datang jadi belum sempat lihat-lihat. Muslimah tersebut menawarkan supaya kami duluan saja. Saya setuju karena kaki ini sudah begitu lelah. Dua jam sebelum datang ke book fair saya sudah menemani muslimah lain berkeliling JCC mencari kebutuhan elektronik, karena dianggap ‘mengerti’

Namun jawaban teman saya ternyata cukup mengejutkan. Beliau ternyata masih ingin ’tawaf’ karena masih ’penasaran’ dengan beberapa hal yang belum dilihat. Malam sudah cukup larut, menjelang Isya dan terus terang saya tidak berani pulang sendirian menuju jalan raya dari Istora Senayan. Akhirnya saya memilih menunggu mereka di tangga di depan salah satu stand. Menit-menit berlalu cepat dan dzon-dzon yang membuat hati ini tidak nyaman masih bercokol dengan gagahnya. Betapa susahnya konsisten, bahkan terhadap nasehat yang baru kita ucapkan. Perasaan ini begitu menggerogoti kelemahan hati saya sebagai insan. Kecewa, marah, introspeksi, jangan-jangan saya pun sering begitu. Berbeda ucapan dan perbuatan. Belum sepenuhnya istiqomah. Bukankah saya juga jauh dari sempurna. Ya Allah, bahkan saya tidak mampu menyampaikan perasaan saya ke teman saya tersebut.

Menit demi menit berlalu, tanpa terasa sudah lebih 1 jam rupanya saya menunggu ’tawaf sesi ke-2’ ini. Hati mulai tidak tenang. Saya kemudian menghubungi muslimah teman saya dan menanyakan jam berapa kita harus pulang. Tanpa saya duga teman saya menyuruh saya pulang duluan, karena memilih menunggu teman tersebut untuk pulang bersama. Jleb!!! Saya terpana. Sekarang berjuta perasaan campur aduk. Kecewa, marah, sedih, terpukul dan takut, semua campur aduk. Ya saudariku, sudah menjelang pukul setengah 10 malam dan engkau tega menyuruh saya pulang sendiri.

Akhirnya ego saya mengalahkan rasa takut. Memang di luar tidak sesepi seharusnya karena pameran ini masih dikunjungi banyak orang. Namun pedih dan sedih lebih merajai hati dan perasaan saya. Saya berlari menuju terminal busway dan pulang ke kos-an dengan perasaan tidak karuan. Berjanji bahwa ini tidak boleh terjadi lagi. Seharusnya saya pulang setlah sholat maghrib, seharusnya saya tadi tidak ke sini, seharusnya ini itu dan seterusnya. Air mata berlinang-linang mengiringi kemelankolisan hati saya. Ya saudariku, tak sekadar tentang melalaikan shalat, bahkan saya mulai bingung dengan caramu memahami silaturahmi.

Ah entahlah, mungkin saya terlalu melankolis, mungkin sebenarnya ini hal yang biasa saja. Namun Ijinkan saya sekedar berbagi. Supaya nasehat yang semestinya juga buat diri saya, juga bermanfaat buat orang lain.