Takut Mati

Sepekan yang lalu -dengan menumpang mobil seorang tetangga – saya dan beberapa teman, ta’ziah ke daerah Condet, Jakarta Timur. Seorang kakak angkatan saya –waktu kuliah- telah dipanggil oleh Sang Khaliq dalam usia yang masih cukup muda, tiga puluh enam tahun.

Sebelumnya, selama kurang lebih sebulan beliau tak sadarkan diri –koma- dan dirawat di ICU RS Cipto Mangunkusumo, Jakarta. Hal demikian beliau alami setelah melahirkan anak keenam. Memang kondisi beliau pada kehamilan kali ini berbeda dengan kehamilan-kehamilan sebelumnya, letih begitu cepat terasa, penat di punggung tak juga segera menghilang. Demi menyelamatkan ibu dan anak, beliau melahirkan melalui operasi cesar. Anaknya sehat dan sudah bisa pulang, sementara beliau tetap masih harus dirawat di rumah sakit untuk memulihkan kesehatannya. Jantung dan ginjalnya lemah, HB pun rendah. Akhirnya beliau dipindahkan ke ICU RSCM yang memiliki peralatan yang lebih canggih. Tetapi Allah SWT ingin segera berjumpa dengan hamba-Nya yang sholihah ini. Beliau pun akhirnya dipanggil oleh Pemiliknya pada Rabu, 2 Agustus 2006 pukul 17.50 WIB. Semoga Allah memasukkan beliau ke dalam golongan para syuhada yang diberkahi, aamiin.

Kepergian beliau menimbulkan isak tangis sekian banyak orang. Tak hanya keluarga beliau –suami, anak-anak, orangtua, mertua, saudara- tapi juga orang-orang yang hadir berta’ziah ke rumahnya. Saya berada di antara sekian banyak dari mereka. Saat Ustadz Abdul Aziz Abdurrauf Al-Hafidz memberikan taujih, tak terasa air mata ini pun berlinang membasahi pipi. Tak hanya perasaan sedih dan kehilangan yang memenuhi ruang hati saya ketika itu. Pikiran dan perasaan saya pun dipenuhi oleh kata-kata “takut mati”. Ya… takut mati. Saya memang belum siap jika saat itu atau saat-saat sekarang ini Allah berkehendak memanggil saya.

Saya masih merasa takut meninggalkan alam fana ini, bukan lantaran saya masih ingin menikmati gemerlapnya kehidupan dunia. Bukan…! Saya bukanlah orang kaya yang hidupnya dipenuhi kenikmatan dan kemewahan duniawi. Saya hanya orang biasa saja dengan kehidupan yang amat bersahaja. Tapi untuk meninggalkan dunia ini serasa bekal saya belumlah mencukupi, jauh…jauh dari mencukupi. Saya masih jauh dari kriteria seorang hamba yang ridho dan ikhlas, yang mengutamakan Allah di atas segalanya. Keridhoan, kecintaan dan penilaian-Nya kadang tak saya tempatkan lebih tinggi di atas segalanya, di atas penilaian makhluk-makhluk-Nya yang sesungguhnya lemah dan tak punya daya upaya. Amalan-amalan saya pun masih sangat sedikit, malah mungkin sebagian sudah ternodai dengan ketidakikhlasan. Saya pun tak tahu dari amalan yang sedikit ini, seberapa banyak yang akan diterima oleh Sang Penguasa Alam Semesta. Saya pun masih jauh dari kriteria seorang hamba yang pandai bersyukur. Saya masih suka mengeluh atas hal-hal tak nyaman yang saya alami. Saya juga masih jauh dari kriteria seorang hamba yang berakhlak mulia. Kadang saya masih suka bergunjing, membicarakan aib orang lain -ibarat memakan daging saudara sendiri yang sudah mati. Astaghfirullahal adziim…

Padahal Allah Yang Maha Kuasa bisa berkehendak apa saja. Dia bisa memanggil saya kapan saja, di mana saja, dan dengan cara apa saja, tanpa menanyakan sejauh mana kesiapan saya. Lihatlah… betapa bencana alam -banjir, gempa bumi, dan tsunami- telah merenggut ribuan nyawa manusia tanpa terduga-duga! Lihatlah… berbagai penyakit mematikan -flu burung, jantung- kerap datang secara mengagetkan dan merenggut nyawa-nyawa anak cucu Adam! Lihatlah… betapa banyak orang dipanggil Rabbnya secara tak disangka-sangka ketika mereka tengah berada dalam sebuah perjalanan -di pesawat, bis, mobil atau sepeda motor! Lihatlah… Allah pun kadang memanggil hamba-Nya di saat hatinya berbunga-bunga ketika melahirkan sang buah hati tercinta! Tidakkah semua itu bisa menjadi pelajaran bagi saya?

Kematian memang tak bisa ditunda. Lalu bagaimana nasib saya nanti? Di alam kubur nanti? Di hari perhitungan nanti? Di akhirat nanti? Membayangkannya benar-benar membuat saya merinding ketakutan. Saya tak siap dengan bayangan siksa kubur yang mengerikan. Saya tak siap jika menerima kitab -catatan amal- di tangan kiri. Saya pun tak siap dengan bayangan neraka yang menyala-nyala membakar manusia. Tak ada makanan dan minuman yang mengenakkan. Tak ada makanan dan minuman sekedar untuk menghilangkan haus dan lapar. Makanan dan minuman yang tersedia – pohon zaqqum, darah, nanah, dan air yang sangat panas- hanya akan semakin menambah penderitaan. Di sana, syetan-syetan akan menertawakan manusia-manusia bodoh yang dengan mudah ia perdaya dengan bujuk rayu dan kebohongannya. Akankan saya terhindar dari semua ini? Di antara perasaan takut dan harap akan belas kasih Allah SWT, doa-doa pun terlantun di bibir saya.

Ya Allah Yang Maha Pengampun, perkenankanlah kami yang dhoif dan penuh dosa ini datang kepada-Mu tuk memohon ampunan-Mu atas segala khilaf dan dosa.
Ya Allah Yang Maha Penolong, tunjukkanlah kami ke jalan yang lurus yaitu jalan orang-orang yang Engkau anugerahi nikmat, bukan jalan orang-orang yang Engkau murkai dan bukan jalan orang-orang yang sesat.
Ya Allah Yang Mahakuasa, masukkanlah kami ke dalam golongan orang-orang yang senantiasa ridho pada-Mu dan Engkau pun ridho pada kami.
Ya Allah Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang, wafatkanlah kami dalam keadaan khusnul khotimah, lindungilah kami dari adzab kubur dan masukkanlah kami ke dalam jannah-Mu.
Aamiin Ya Robbal ‘aalamiin.

***
Pinggiran Jakarta, 10 Agustus 2006 Ummu Nabilah ([email protected])