Tetes Air Mata di Sela Hafalan

Sudah beberapa hari belakangan, saya menghafalkan surat Al-Mulk dan masih belum hafal juga. Sehabis deadline, saya coba untuk mengulang lagi dan terus mengulang. Ternyata, belajar memang butuh semangat. Lima menit menghafal, lima menit membaca terjemahannya. Isi surat Al-Mulk memang begitu dalam karena mengingatkan akan kebesaran Allah dan azab-Nya yang pedih.

Selepas malam itu, gemuruh hujan yang membasahi Surabaya tampak di balik kaca kantor. Suasana tersebut membuat saya enggan untuk segera pulang meski jam kerja sudah lewat. Dingin dan hening. Dari balik kaca lantai empat kantor, sejenak saya menatap hujan di luar sana. Tampak dari kejauhan kubah dan menara Masjid Al-Akbar di arah selatan yang hijau dengan cahaya yang dirambati tetes hujan. Subhanallah, indah sekali.

Di meja kerja hanya tersisa dua potong roti dan sebotol air mineral yang sengaja saya siapkan sore sebelumnya untuk santap sahur. Malam itu, saya terpaksa menginap di kantor. Sebenarnya, jikalau hujan segera reda, saya berniat beli nasi bungkus untuk kawan bersantap sahur. Namun, hingga menjelang subuh, hujan tak juga menampakkan tanda-tanda segera reda. Meski demikian, dua potong roti saya rasa cukuplah untuk sahur.

Selepas salat lail, mata ini saya paksa untuk tak sampai terpejam meski mengantuk. Sebab, takut kebablasan jika sudah benar-benar tertidur. Dan ini masih sering saya alami. Jika sudah begitu, ya wedang kopi jadi sahabat karib dan tetap melanjutkan menghafal surat Al-Mulk sembari menunggu waktu sahur ataupun azan subuh.

Jam sudah menunjukkan pukul tiga pagi, mata ini mulai merah dan beberapa kali harus cuci muka agar tak ketiduran. Tiba saatnya untuk sahur. Meski tak cukup kenyang dengan dua potong roti, makan sahur terasa nikmat.

***

Saya selalu teringat suara anak-anak yang mengaji di musala kampung kami selepas asar. Anak-anak begitu bersemangat menghafal iqra dan membaca Alquran dari guru ngaji mereka. Ya Allah, malu rasanya hati ini jika kalah semangat dengan anak-anak itu dalam hal belajar dan menghafal ayat-ayat Allah.

Memang, tanpa disadari, kita terkadang menikmati membaca buku, novel, atau koran hingga lama ataupun berjam-jam. Tapi, saat membaca Alquran, kita enggan untuk membuka bahkan menghafal beberapa ayat. Terkadang menghafal lirik lagu saja kita bisa bersemangat dan berusaha sampai hafal. Namun, ketika menghafal beberapa Alquran saja kita merasa jemu.

Tak terbayang, jikalau Alquran bisa bicara, tentulah ia akan menangis karena sering menjadi sarang debu saat hanya dijadikan pajangan di meja atau lemari. Runtuh rasanya hati ini bila memikirkan hal tersebut. Padahal, itu adalah kalam Allah, Tuhan semesta alam.

Menjelang azan maghrib, ingin sekali saya menangis takkala membuka lembaran mushaf Alquran untuk menghafal kembali surat Al-Mulk. Sebanyak 30 ayat saya hafal dengan gemetar. Bukan karena menahan lapar, tapi gemetar karena malu. Ke mana hendak kusembunyikan tetes air mata yang terjatuh tanpa sengaja saat menghafal Al-Mulk? Sungguh, betapa kufurnya diri ini ketika malas belajar Alquran mendominasi hari-hari.

Sore merambat menjemput petang. Azan maghrib sudah berkumandang. Tiba saat berbuka. Dalam lapar, semangat untuk menghafal 30 ayat itu t’lah terpatri. Rabbizidni ilman warzuqni fahman..

Graha Pena, Mei 2008