26 Penyebab Merajalelanya Kesesatan di Indonesia (4)


TB Fithrah Bekasi HP. 081319510114, Srby 08123125427

**

Penyebab yang ke 23 telah kita bicarakan, yaitu: Dakwah dan ilmu disampaikan bukan oleh ahlinya, masih pula dengan aneka kerawanan yang melingkupinya. Kelompok yang sudah dinyatakan sesat oleh ulama, atau secara ilmu memang sesat, justru seringkali propagandanya disebarkan dengan gencar secara sistematis.

Dirancang dan didanai, masih pula dengan sarana-sarana yang memadai, bahkan sampai media massa pun dikuasai atau dimiliki. Itu satu jenis yang tentu saja merusak Islam, karena propagandanya itu sendiri adalah kesesatan.

Mati kita lanjutkan, penyebab ke 24.

24. Ta’mir masjid dan pengurus pengajian belum tentu faham tentang Islam, dan kadang manhajnya pun rancu.

Ini sudah menjadi musibah di kebanyakan tempat. Ada semacam kecenderungan, orang yang punya modal ngomong atau punya harta, atau punya kedudukan, walau kosong ilmu agama, mereka dipilih untuk duduk bahkan memimpin masjid, musholla atau pengajian. Akibatnya, masjid ataupun pengajian pun diatur semau mereka, tanpa dilandasi ilmu agama. Ketika hal itu terjadi di masjid yang cukup terkemuka, maka ditiru oleh masjid-masjid lainnya, atau pengajian-pengajian lainnya. Sehingga apa yang sebenarnya tidak pernah terjadi di masjid pada zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan sahabatnya, bisa terjadi secara merata di suatu negeri secara hampir keseluruhan. Entah siapa yang mengajarinya, wallahu a’lam.

Bila ada yang punya ilmu agama, dan suatu ketika diikutkan rapat kepengurusan masjid misalnya, lalu yang alim ini ada ungkapan bimbingan untuk menuju kepada petunjuk sesuai yang dilaksanakan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka bisa-bisa orang ini dikucilkan. Tak pernah lagi diikutkan dalam rapat atau pembicaraan.

Akibatnya, masjid-masjid tidak sedikit yang dikelola bagai mengelola supermarket atau kios-kios. Maaf, mungkin ini kasar, tetapi demi meluruskan keadaan, apalagi mengenai masjid -rumah Allah, maka maksud kami hanyalah untuk mengikuti perintah agar saling menasehati dengan kebenaran dan kesabaran.

Ada kejadian, pengurus masjid mengumumkan pada malam pertama Ramadhan 1428H/ 2007M. Jama’ah shalat ’isya’ dan tarawih pada malam pertama Ramadhan itu adalah jama’ah terbanyak sepanjang tahun, karena malam pertama Ramadhan itu sampai siapa saja yang tak pernah ke masjid, bertandang ke masjid saat itu. Lalu diumumkan oleh pengurus masjid; Bagi siapa yang tarawehnya 8 raka’at, maka diharap tidak memasuki shaf depan. Ini agar tertib, tidak mengganggu yang lain.

Astaghfirullahal ’adhiem. Apa haknya pengurus masjid ini untuk menghalangi jama’ah yang mau mencari pahala besar pada shaf pertama di masjid itu? Bukankah dengan pengumuman seperti itu berarti merupakan halangan secara resmi terhadap orang yang mencari pahala pada shaf/ barisan depan?

Padahal Allah Subhanahu wa Ta’ala justru mengingatkan:

وَمَنْ أَظْلَمُ مِمَّنْ مَنَعَ مَسَاجِدَ اللَّهِ أَنْ يُذْكَرَ فِيهَا اسْمُهُ وَسَعَى فِي خَرَابِهَا أُولَئِكَ مَا كَانَ لَهُمْ أَنْ يَدْخُلُوهَا إِلَّا خَائِفِينَ لَهُمْ فِي الدُّنْيَا خِزْيٌ وَلَهُمْ فِي الْآخِرَةِ عَذَابٌ عَظِيمٌ(114)

Dan siapakah yang lebih aniaya daripada orang yang menghalang-halangi menyebut nama Allah dalam mesjid-mesjid-Nya, dan berusaha untuk merobohkannya? Mereka itu tidak sepatutnya masuk ke dalamnya (mesjid Allah), kecuali dengan rasa takut (kepada Allah). Mereka di dunia mendapat kehinaan dan di akhirat mendapat siksa yang berat. (QS Al-Baqarah/2: 114).

Kemungkinan besar mereka (pengurus) seperti itu tidak sadar bahwa telah menghalangi orang untuk beribadah sebaik-baiknya di masjid, dan bahkan merasa bahwa mereka mengaturnya dengan baik. Tetapi karena tanpa ilmu, maka apa yang mereka anggap baik itu justru kebalikannya. Padahal kalau mau sedikit berpikir, walau tidak tahu ayat dan hadits, namun bisa pula mengetahui bahwa larangan yang dia umumkan –yakni tidak membolehkan orang untuk di shaf depan– itu jelas salah. Karena, orang yang tidak ikut shalat taraweh pun tentu saja tidak boleh dihalangi untuk shalat di shaf depan, kecuali dia anak-anak, yang menurut Hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah di shaf belakang, baru kemudian belakangnya lagi shaf untuk perempuan.

Dapat pula pengurus masjid itu mengharapkan agar imam shalat tarawih memberi kesempatan sementara kepada jama’ah yang shalat tarawihnya 8 raka’at untuk keluar dari masjid lebih dulu, kemudian imam mengatur kembali shaf-shaf para makmum, baru dilanjutkan dengan taraweh bagi yang mengikuti 20 raka’at. Namun lantaran tak mau berpikir dan tak tahu agama, pengurus langsung mengumumkan seperti tersebut. Hal semacam ini, kalau dilakukan oleh orang yang sombong, misalnya, mungkin bisa berkata: siapa yang tidak terima, agar berhadapan dengan saya!

Kondisi itu akan lebih buruk lagi bila sampai imam shalat di masjid itupun termasuk orang yang tidak faham agama, misalnya. Maka komplitlah rangkaian kurang sesuainya dengan aturan Islam yang sebenarnya. Karena kebaikan dan keburukan bukannya diukur dari Islam, tetapi dari kecekakan (kedangkalan) pandangan mereka belaka, tanpa dilandasi ilmu agama yang benar. Dan seperti itu pula umat Islam ini dalam mengatur keluarganya masing-masing.

Ketika mengatur masjid saja tidak pakai landasan ilmu Islam, maka apalagi ketika mengatur rumah tangga masing-masing. Akibatnya, tumbuhlah manusia-manusia yang secara serempak sudah jauh dari aturan agamanya, akibat salah urus, baik dalam tempat ibadahnya maupun dalam rumah mereka masing-masing.

Karena kondisinya seperti itu, maka ketika diadakan pemilihan untuk jadi kepala ini dan itu, dari kepala negara sampai kepala desa, bisa dibuktikan, orang yang terpilih justru orang yang tidak begitu faham dan teguh dengan agamanya. Mungkin karena memang adanya ya seperti itu, dan mungkin pula justru masyarakat memang tidak suka kalau dipimpin oleh orang yang kuat agamanya, karena takut akan dikenai beban agama.

Lebih buruk lagi, di kalangan perguruan tinggi Islam pun terbukti, seorang professor doctor yang dikenal lebih faham tentang Islam dibanding lainnya –dan insya Allah konsekuen juga— ketika dalam pemilihan rector ternyata hasil perolehannya paling sedikit. Dan yang paling banyak perolehannya hingga terpilih adalah yang telah diketahui berfaham liberal, dan belum tentu faham tentang Islam apalagi dibanding yang alim agama itu tadi.

Di sini tampak jelas dalam pemilihan rector di IAIN Jakarta saat itu sekitar tahun 2000-an, para dosen lebih memilih Azumardi Azra yang liberal dan belum tentu faham tentang Islam bila dibanding dengan Prof Dr Fathurrahman Jamil.

Namun anehnya, yang alim tentang Islam itu justru paling sedikit perolehannya dalam pemilihan rector. Nah, kalau perguruan tinggi Islam saja para dosennya lebih memilih orang yang mengusung faham liberal yang berseberangan dengan Islam (bahkan belakangan tahun 2005 diharamkan oleh MUI dan Ummat Islam haram mengikutinya), dan para dosen IAIN itu menjauhi orang yang diperkirakan akan menata keadaan dengan aturan yang sesuai dengan apa yang diridhai Allah Ta’ala, apalagi di masyarakat umum.

Ketika sudah diketahui bahwa masyarakat umum cenderung “lari” dari aturan agama, hingga “lari” dari orang-orang yang kira-kira akan menerapkan aturan yang berbau agama, maka kondisi yang amburadul ini menjadi angin segar bagi firqoh-firqoh sesat. Para pentolannya saling bersaing dalam main cantik untuk loby sana-sini dalam aneka pemilihan, dari pemilihan kepala desa sampai pemilihan kepala negara.

Ketika memberikan jaminan dukungan terhadap calon yang akan dipilih, dan kemudian calon itu jadi terpilih, maka firqoh sesat itu tenang-tenang saja ketika MUI dan lainnya memfatwakannya sesat. Sudah ada janji rahasia dengan pemimpin yang terpilih. Entah siapa saja yang terpilih, kemungkinan pentolan aliran sesat itu bisa saling obral janji dengan siapa saja yang jadi calon. Hingga siapa saja yang menang maka berarti sudah ada jaminan untuk tidak diobrak-abrik kesesatannya.

Ini secara logika, bukan hasil penelitian. Tetapi buktinya, aliran sesat yang sudah jelas difatwakan sesatnya oleh MUI seperti Ahmadiyah, dan direkomendasikan oleh MUI bahwa LDII itu sesat, membahayakan aqidah Islam sebagaimana Ahmadiyah dan agar dilarang oleh pemerintah, namun sampai sekarang mereka tetap mendenges (kebal).

Yang terakhir, NII KW 9 dengan Pesantren Al-Zaytun dinyatakan sesat dan menyimpang oleh MUI, namun malah Menteri Agama Suryadharma Ali sowan ke pentolan aliran sesat AS Panji Gumilang dengan cipika cipiki (cium pipi kanan cium pipi kiri) di Pesantren Al-Zaytun, Rabu 11/ 05 2011. (lihat nahimunkar.com, Apakah Iblis Tidak Sesat, Wahai Pak Menteri Agama?May 10, 2011 1:57 am, http://www.nahimunkar.com/apakah-iblis-tidak-sesat-wahai-pak-menteri-agama/#more-5051).

Masa’ untuk mengatasi gonjang-ganjing kesesatan Panji Gumilang dengan pesantren Al-Zaytun dan NII KW9 hanya dengan sowan munduk-munduk ke markas pentolan sesat lalu diadakan penyambutan dengan acara yang mengerahkan ribuan orang. Itu bukan cara yang sesuai dengan akal sehat, apalagi kalau ditinjau dari ajaran Al-Qur’an. Nabi Musa ‘alaihis salam justru berlaga melawan para tukang sihir Fir’aun. Akhirnya para tukang sihirnya Fir’aun kalah lalu sujud dan masuk ke agama yang benar yang dibawa Nabi Musa ‘alaihis salam. Itu baru namanya mengatasi kesesatan, bukan cipika cipiki, Pak Menteri!

Tampaknya beda sekali antara kepemimpinan yang dicontohkan dalam Al-Qur’an dengan apa yang berlangsung di Indonesia selama ini.
Demikianlah sirkulasi kepemimpinan yang tidak sehat, ternyata sangat berbahaya dan membawa bencana bagi masyarakat. Dan itu pangkalnya adalah karena urusan diserahkan kepada yang bukan ahlinya.

Maka benarlah hadits:

{ أَنَّ أَعْرَابِيًّا سَأَلَ النَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم مَتَى السَّاعَةُ قَالَ : إذَا ضُيِّعَتْ الْأَمَانَةُ فَانْتَظِرْ السَّاعَةَ قَالَ كَيْفَ إضَاعَتُهَا يَا رَسُولَ اللَّهِ ؟ قَالَ : إذَا وُسِّدَ الْأَمْرُ إلَى غَيْرِ أَهْلِهِ فَانْتَظِرْ السَّاعَةَ }. َلِلْبُخَارِيِّ مِنْ حَدِيثِ أَبِي هُرَيْرَةَ

Bahwa seorang A’rabi (Arab badui) bertanya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, kapan kiamat? Beliau menjawab: Apabila amanah telah disia-siakan maka tunggulah kiamat. Dia bertanya: Bagaimana menyia-nyiakannya ya Rasulallah? Beliau menjawab: Apabila urusan diserahkan kepada selain ahlinya maka tunggulah kiamat. (HR Al-Bukhari dari Abi Hurairah). (Bersambung, insya Allah).