Menjadi Umat Terbaik Bukan Sekedar Bualan Belaka

Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah. Sekiranya Ahli Kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka, di antara mereka ada yang beriman, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik.” (QS. Ali Imran: 110)

Namanya adalah Usamah bin Zaid bin Haritsah, usianya masih sangat belia, 18 tahun. Tapi pada usia yang semuda itu ia telah ditunjuk oleh Rasulullah saw. untuk memimpin ekspedisi militer melawan tentara Persia dan Romawi. Sebelumnya ia pernah mengikuti beberapa kali pertempuran, tetapi waktu itu adalah kali pertamanya ia ditunjuk menjadi panglima perang. Dia harus memobilisasi dan mengonsolidasi pasukannya yang terdiri dari para sahabat senior.

Tak ayal para sahabat senior pun terkadang merasa risih dan kurang sreg dengannya. Mereka menginginkan agar panglima perangnya bukanlah anak belia yang baru berusia 18 tahun itu, melainkan siapa sajalah asal lebih tua dan lebih berpengalaman dalam memimpin perang.

“Masak sih anak kemarin sore berani-beraninya merintah-merintah orang tua.” Mungkin pikiran seperti inilah yang sempat muncul di dalam benak para sahabat waktu itu.

Waktu itu Rasulullah saw. telah meninggal dunia. Beberapa sahabat kemudian meminta Umar supaya mau membujuk Abu Bakar untuk menggatikan panglima muda itu. Umar pun mencoba membujuk Abu Bakar yang waktu itu mejabat sebagai khalifah.

Namun Abu Bakar tetap berpendirian bahwa Usamah bin Zaid bin Haritsah harus tetap mejadi panglima perang. Bahkan karena hal itu, Abu Bakar sempat marah kepada Umar. Ya, karena hal itu telah menjadi keputusan Rasulullah saw.

Begitu pula dengan Usamah bin Zaid bin Haritsah. Ia tetap mau menerima amanah itu dan menjalankannya dengan benar-benar maksimal. Hingga akhirnya, melalui tangannya, kegemilangan islam pun diraih kaum muslimin waktu itu.

Ini adalah sekelumit kisah yang menggambarkan profil seorang sahabat yang luar biasa. Dan tentunya masih banyak lagi profil-profil sahabat lain yang juga memiliki keluarbisaan dan karakter khas masing-masing. Hingga dengan kehadiran mereka, sebuah gelaran khairu ummah “sempat” disandang oleh kaum muslimin.

Sobat sekalian yang tulus, kata sempat pada kalimat terakhir paragraf ke-empat di atas sengaja saya kasih tanda kutip. Harapannya dari sana muncul sebuah pertanyaan, “Apakah gelaran seperti itu hanya disandangkan untuk generasi awal para sahabat saja?”, “Apakah kaum muslimin sekarang sudah tidak pantas lagi mendapatkan gelaran itu?”

Lalu muncul juga sebuah ungkapan justifikasi yang bisa dilontarkan oleh beberapa orang terkait kondisi ini, “Ya pantas saja lah, kalau mereka digelari ummat yang terbaik, wong di sana ada Rasululullah kok. Setiap kali ada masalah langsung didapat solusinya, dan semuanya bisa dengan mudah menyepakatinya karena yang memberikan solusi adalah langsung seorang utusan Allah. Lha sekarang?!.”

Owh, tentunya ungkapan ini tidaklah benar sama sekali. Ya, karena di sana ada sebuah rahasia yang harus diungkap dan ditelisiki pelajarannya.

Apa rahasianya? Sayyid Qutb bertutur dalam bukunya yang sangat menguncang, Ma’alim fi ath-Thariq,

Kehebatan generasi sahabat bukan semata-mata karena di sana ada Rasulullah, sebab jika ini jawabannya berarti Islam tidak rahmatan lil’aalamiin. Kehebatan mereka terletak pada semangat mereka untuk belajar lalu secara maksimal berupaya mengamalkannya.”

Ada dua poin penting kenapa generasi sahabat digelari sebagai khaira ummah, poin pertama adalah, karena mereka selalu belajar secara maksimal dengan semangat yang tinggi, dan poin kedua adalah mereka selalu berupaya mengamalkan apa yang telah dipelajarinya itu. Proses belajar mereka bermuara pada pembentukan pola pikir dan sikap yang diakhiri dengan ejawantah kepahaman menlalui amal nyata.

Ya, seperti itulah mereka. Para sahabat tidak akan pernah mau menambah ilmu baru sebelum mereka berhasil mengamalkan ilmu lama yang telah mereka dapatkan sebelumya. Begitu pula dengan semangat menuntut ilmunya, tidak diragukan lagi mereka pasti memilikinya.

Semangat itu pun masih tetap tertular selama beberapa abad kemudian. Hingga dengan itu, lahirlah pemuda perkasa bernama Muhammad Al Fatih, sang pembebas Konstantinopel. Lahir pula pemuda perkasa bernama Thariq bin Ziyad yang telah berhasil mengibarkan panji islam di daratan Eropa, Andalusia. Lahir pula seorang pemuda luar biasa benama Shalahuddin Al Ayyubi, yang hingga kini kisahnya masih tetap melegenda dan membuat gentar musuh-musuh islam.

Pertanyaan tentang apakah gelaran seperti itu (khaira ummah) hanya disandangkan untuk generasi awal para sahabat saja, jelas terjawab. Jawabannya adalah ‘tidak’. Ya, karena sangat memungkinkan kita masih bisa melakukan apa yang telah dilakikan oleh para sahabat dulu.

Pertanyaan tentang apakah kaum muslimin sekarang sudah tidak pantas lagi mendapatkan gelaran itu pun jelas jawabanya. Jawabannya adalah kita masih pantas mendapatkannya. Ya, karena kita masih bisa mengupayakan apa yang telah para sahabat lakukan. Walahu’alam. (ASF)

Aep Saepul Farid; Mahasiswa Teknik Mesin Universitas Gadjah Mada; Kaderisasi Keluarga Muslim Teknik FT UGM
Alamat email : [email protected]
Blog : http://asfarid.blogspot.com/