Bencana Banjir Wasior Bukti Kelalaian Penguasa

Berita sedih sekaligus perih tiba-tiba kembali menyayat hati kita. Untuk ke sekian kali, suasana duka-lara menyelimuti bangsa ini. Kita kembali dikagetkan oleh sebuah bencana yang menebarkan kengiluan dan kepiluan yang sama: ‘Bencana Banjir Wasior”.

Seperti diketahui, banjir bandang di Papua Barat tersebut terjadi pada Senin 4 Oktober 2010 sekitar pukul 06.00 WIT. Lokasi kejadian terletak di Kabupaten Teluk Wondama, Provinsi Papua Barat. Menurut data yang diperoleh dari posko induk penanggulangan bencana jumlah korban hilang mencapai 120 orang, 14 ditemukan dalam keadaan luka-luka, 535 luka ringan, 185 mengalami luka berat dan 154 ditemukan tewas (okezone, 11/10/2010).

Bencana banjir merupakan buah dari kesalahan dalam pengelolaan sumberdaya alam yang tidak memperhatikan kemampuan daya dukung atas lingkungan. Kejadian ini jelas sekali terlihat, pengelolaan sumber daya alam yang tidak bijaksana adalah penyebab utama dari bencana banjir. Juga kegiatan dan perencanaan pembangunan yang dilakukan, sama sekali tidak memperhitungkan dampak akan terjadi serta tidak mengakomodir resiko bencana.

Ditambahkan lagi, penyebab lain adalah pengambilan manfaat dari sumberdaya alam, tidak memperhitungkan dampak secara ekologi serta sosial dengan adanya kegiatan tersebut. Banyak musibah (bencana) terjadi karena faktor sistem (aturan) buruk yang diterapkan oleh manusia, juga akibat perilaku manusia yang merusak. Allah SWT mengisyaratkan hal itu dalam firman-Nya: Musibah apa saja yang menimpa kalian adalah disebabkan oleh perbuatan tangan kalian sendiri. (QS asy-Syura [42]: 30).

Menurut Penasihat Badan Nasional Penanggulangan Bencana bahwa banjir bandang yang melanda Wasior, Teluk Wondama, Papua Barat, adalah hasil dari anomali cuaca. Anomali cuaca ini bertemu dengan degradasi lahan akibat pembalakan hutan. (vivanews.com 8/10/2010).

Selain itu seperti dikemukakan Ridwan Saidi, penulis buku Bencana Bersama SBY yang diluncurkan pada 11 Maret 2009 di Jakarta yang lalu, pada waktu itu telah terjadi paling tidak 400 bencana alam. Yang terbesar adalah musibah tsunami NAD-Sumut pada 26 Desember 2004, dan gempa DIY-Jateng 27 Mei 2006.

Dalam bukunya Ridwan Saidi menuturkan, rentetan bencana alam yang mengakrabi Indonesia merupakan peringatan dari Allah SWT terhadap bangsa ini yang membiarkan semakin terjadinya kerusakan dan kemaksiatan.

Menurut Walhi (Wahana Lingkungan Hidup), selain karena faktor alamiah, bencana lebih banyak lantaran ulah manusia. Dalam berbagai bencana, faktor alam hanyalah salah satu penyebab dengan proporsi yang kecil. Faktor terbesar justru datang dari ketidakmampuan penguasa dalam mengurus alam serta meremehkan ancaman bencana.

Kondisi lingkungan hidup yang semakin rusak menambah percepatan terjadinya bencana.
Ketidakseriusan Pemerintah dalam mengelola politik dalam negeri, membuat 98% rakyat Indonesia berada pada posisi rentan terhadap ancaman bencana.

Lantaran terbodohkan dan termiskinkan, jutaan rakyat hidup melata di pinggiran sungai, lereng gunung, perbukitan, kolong jembatan, pinggir rel kereta api, seputar tempat pembuangan sampah dan berbagai tempat berbahaya lainnya. Mereka berebut tempat dengan kecoa, kelabang, ular, buaya, macan atau gajah yang merupakan pribumi habitat tersebut.

Dalam keadaan seperti itu, sedikit saja terjadi gejala alam seperti banjir, gempa atau longsor, ancaman akan berubah menjadi petaka yang merenggut korban jiwa dan harta rakyat.

Terganggunya keseimbangan alam yang bisa menimbulkan bencana merupakan sunatullah yang sudah sama-sama diketahui bersama. Namun, karena kerakusan manusia, hal itu sering dilanggar dan diabaikan. Pembabatan dan perusakan hutan akan mengundang datangnya berbagai bencana.

Sumber-sumber air pun mengering. Bencana kekeringan lalu datang atau sebaliknya, bencana banjir dan longsor akan menghadang. Hal itu diperparah dengan pengkaplingan hutan dan penguasaaan hutan oleh pihak swasta. Ini menyalahi ketentuan Allah tentang pemilikan umum atas hutan dan sejenisnya.

Mendambakan Pemimpin Amanah

Umar bin al-Khaththab ra., saat menjadi khalifah, begitu terkenal dengan kata-katanya yang menunjukkan kapasitasnya sebagai seorang penguasa agung (al-imam al-a’zham): “Seandainya ada seekor keledai terperosok di kota Bagdad karena jalan rusak, aku khawatir Allah SWT akan meminta pertanggungjawaban diriku di Akhirat nanti.”

Demikianlah keagungan Khalifah Umar ra. Jangankan manusia, nasib seekor binatang sekalipun tak luput dari bahan pemikiran, perhatian dan tanggung jawabnya. Khalifah Umar ra. membuktikan ucapannya. Sepanjang sejarah kepemimpinannya, telah banyak riwayat yang menunjukkan betapa tingginya kepedulian beliau terhadap rakyatnya.

Beliau, misalnya, setiap malam selalu berkeliling untuk mengontrol keadaan rakyatnya.

Beliau tak segan-segan memanggul sendiri gandum di atas pundaknya untuk diberikan kepada seorang janda dan keluarganya saat diketahui bahwa mereka sedang kelaparan. Padahal saat itu beliau adalah seorang penguasa besar dengan kekuasaan yang membentang sepanjang jazirah Arab, Timur Tengah, bahkan sebagian Afrika.

Beliau, dengan penuh kasih-sayang dan tanggung jawabnya, juga pernah membebaskan pungutan jizyah dari seorang Yahudi tua yang miskin dan telah sebatang kara, sekaligus menjamin kehidupannya.

Jika Khalifah Umar bin al-Khaththab ra. begitu gelisah memikirkan seekor keledai karena khawatir terperosok akibat jalanan rusak, bagaimana dengan para penguasa sekarang? Meski ribuan ruas jalan rusak, bahkan sebagiannya rusak parah, dan telah menimbulkan banyak korban jiwa, para penguasa sekarang seolah tidak peduli. Banyak jalanan rusak tidak segera diperbaiki, seperti sengaja menunggu korban lebih banyak lagi.

Meski banjir sering datang menghampiri, para penguasa juga seperti tak ambil pusing. Hutan-hutan tak segera ditanami, bahkan yang ada terus digunduli; seolah menunggu korban lebih banyak lagi akibat wabah banjir yang tak terkendali.

Ironisnya, janji-jani manis untuk rakyat tetap mereka lontarkan di saat-saat kampanye Pemilu pada waktu itu tanpa rasa malu; seolah-olah mereka menganggap rakyat buta dan tuli atas kelalaian, ketidakamanahan, bahkan kedzaliman mereka terhadap rakyat selama mereka berkuasa. Mereka tetap percaya diri untuk maju dalam Pemilu nanti demi sebuah mimpi: menjadi penguasa. Mereka seolah tidak peduli dengan sabda Baginda Nabi saw.:
Kalian akan berebut untuk mendapatkan kekuasaan. Padahal kekuasaan itu adalah penyesalan pada Hari Kiamat; nikmat di awal dan pahit di ujung (HR al-Bukhari).

Bencana banjir wasior telah terjadi sudah sepatutnya dalam diri kita untuk bertanya-tanya, apakah berbagai musibah ini merupakan adzab dari Allah, setelah semua kenikmatan yang diberikan kepada negeri dan penduduknya ini begitu melimpah, namun ternyata tetap tidak membuat penduduk negeri ini mengingat-Nya? Ataukah hanya teguran agar kita segera sadar dan kembali ke jalan-Nya? Atau ujian agar keimanan kita kepada-Nya dan seluruh syariah-Nya semakin meningkat?.

Andi Perdana Gumilang
Alumni IPB, Direktur Andi Pustaka
Email: andi.sangpenakluk@
gmail.com
Web: bkim.lk.ipb.ac.id