Derita Gaza, Derita Kita Bersama

Jum’at lalu, sebuah surat kabar mingguan terbitan Mesir mengangkat tema besar tentang Gaza. "Gazzah Tamut, Fienak ya Masr?!" yang artinya, "Gaza sekarat, dimana kalian wahai bangsa Mesir!" Koran dengan nama El Usbu’ itu mencoba mengetuk hati penduduk negerinya, untuk peduli dengan nasib saudaranya yang diembargo di perbatasan Refah.

Masih di hari yang sama, selepas penulis menunaikan shalat Jum’at di Masjid Assalaam di distrik 10, Kairo. Jamaah dikejutkan dengan kumpulan orang yang berada di seberang trotoar masjid. Ada sebuah taman yang membelah dua jalan yang berlawanan arah, dan mereka berdiri di sana dengan mengangkat spanduk dan beberapa poster. Posisinya yang dipilih cukup strategis. Karena banyak mobil dan masyarakat yang lalu lalang di sekitar situ, sehingga benar-benar bisa menjadi pusat perhatian.

Penulis menangkap, ada siratan rasa haru dari sebagian wajah jamaah yang terhenti langkahnya melihat aksi tersebut. Ya! Karena para demonstran serempak berteriak, "Birruh, biddam, nafdika ya Felesthin," "Dengan jiwa dan darah ini, kami siap berkorban untukmu wahai Palestina". Di bekas negeri Firaun ini, hanya orang-orang bermental bajalah yang berani turut dalam barisan demonstran seperti itu. Penulis yakin, para masyarakat yang melihat aksi itu juga ingin bergabung dengan barisan demonstran. Tapi hukum darurat setempat membuat mereka berpikir panjang, bagaimana nasib keluarganya kalau mereka tiba-tiba hilang dan tak bisa kembali lagi ke rumah. Tujuh belas bulan embargo yang dirasakan Gaza bukanlah waktu yang pendek. Apa yang kita rasakan, seandainya hidup selama seminggu tanpa aliran listrik. Setiap malam hidup dengan lilin dan cahaya rembulan. Segala aktivitas baik malam maupun siang menjadi tak produktif. Sekolah, kuliah, dan pekerjaan berjalan tersendat. Agenda yang dirancang runyam berantakan. Ada benih pesimis yang kemudian muncul, membayangkan masa depan yang kian suram. Hidup seakan berada di bawah kubangan derita, dan itu baru hanya dalam seminggu. Bagaimana kalau terjadi sebulan, atau hingga berbulan-bulan lamanya?

Namun lain halnya dengan saudara kita di Gaza. Mereka telah menjatuhkan pilihan dengan konsekuensi “mematikan”, yaitu hidup di bawah embargo. Bukan hanya listrik, tapi juga makanan, bahan bakar minyak, juga bensin dan kebutuhan primer lainnya. Bagi mereka mempertahankan tanah kelahiran sudah menjadi harga mati, karena ada pesan ideologi yang telah mereka pahami dengan matang. Dukungan kepada Hamas juga tidaklah muluk-muluk. Karena kelompok perjuangan inilah yang dinilai menyimpan harapan untuk mencapai kemenangan yang hakiki. Sekalipun terkena imbas embargo Israel yang di amini dunia Internasional, warga Gaza siap atau tidak, harus menghadapi segala kemungkinan yang datang, entah itu baik ataupun buruk.

Sejak embargo yang berlaku setelah kemenangan Hamas dalam pemilu 2006 silam, badan bantuan PBB untuk pengungsi Palestina, UNRWA membeberkan laporannya. Hingga kini, sebanyak 80 % penduduk Gaza berada di bawah garis kemiskinan, 60 % anak-anak terkena gizi buruk, serta pengangguran meningkat hingga mencapi angka 65 %. Sebanyak 260 orang warga Gaza tewas, dikarenakan tertahan di perbatasan ketika ingin berobat ke luar Gaza. Kurangnya peralatan medis dan obat-obatan yang memadai di rumah sakit, juga menjadi salah satu penyebab bertambahnya jumlah korban.

Laporan lainnya menyebutkan, sebanyak 70 % dari anak-anak Gaza selama 16 jam setiap harinya hidup tanpa listrik, sehingga kesulitan belajar di waktu malam. Pemandangan ini terulang dan terus meningkat sejak Januari 2006, dan embargo Israel semakin tajam, setelah kekuatan Hamas lebih berpusat di wilayah Gaza pada tanggal 1 Juni 2007 lalu. Dengan demikian, sudah tujuh belas bulan lamanya mereka merasakan derita itu. Entahlah, mengapa dunia hanya bisa diam membisu?

Saat ini, biarlah penduduk Gaza tegar menghadapi ujiannya. Dan menumpukkan amalan di balik amal dan doa ikhlas mereka. Tapi ketahuilah, di saat yang sama, tumpukan pertanyaan telah dipersiapkan untuk kita di hari akhir nanti, sebuah pertanyaan yang sudah kita sadari, yaitu, “Apa yang telah engkau perbuat untuk saudaramu di Gaza?”.

Tanyalah diri kita, bukankah Gaza juga bagian dari kita? Bukankah umat Islam itu ibarat satu tubuh, yang tak akan membiarkan bagian tubuh lainnya terluka? Masihkah kita terhipnotis dengan isu politik ketimbang permasalahan ideologi? Salah bila kemudian dikatakan, Gaza dan Palestina itu bagian dari bangsa Arab, sehingga hanya bangsa mereka sajalah yang berhak memikirkannya. Yang benar adalah karena mereka muslim, maka kita semua berkewajiban untuk membela dan membebaskan mereka. Allahummanshur ikhwânanâ fi Gazzah.

Profil Penulis

Muhammad Syarief, Mahasiswa Pascasarjana AOU, Kairo. Lahir di Jakarta, 23 September 1984. Alumni Pondok Pesantren Assalaam Surakarta. Menyelesaikan S1 di Fakultas Syariah Islamiyah Universitas Al Azhar, Kairo. Saat ini sebagai mahasiswa Pascasarjana di American Open University (AOU), Kairo. Aktif sebagai staff kajian Dunia Islam di Studi Informasi Alam Islami (SINAI) Mesir

Email: [email protected] Website: sinaimesir.com Blog: rieff02.multiply.com