Alangkah Lucunya Negeri Ini

Ingatkah kita pada peristiwa dua tahun lalu, saat negeri ini gegap gempita menyambut 100 Tahun Kebangkitan Bangsa. Ketika itu, Presiden SBY menyampaikan pidatonya yang
disiarkan secara langsung di seluruh televisi nasional, pada 20 Mei 2008, tepat pukul 17.00 Wib.

“Hari ini, dengan hati yang bersih dan jiwa yang terang, kita semua berdiri tegak sebagai warga negara Republik Indonesia, sebagai bangsa keempat terbesar di dunia, sebagai Negara kepulauan terbesar di dunia, sebagai negara demokrasi ketiga terbesar dunia, dan sebagai negara dan ekonomi terbesar di Asia Tenggara,”kata SBY membuka pidatonya.

“Saudara-saudara, kita sering dihantui kegamangan, keraguan dan ketidakpercayaan diri, dalam menjalani kehidupan bangsa yang semakin banyak tantangan, dan dalam perkembangan dunia yang semakin kompleks. Kita bertanya, apakah perjalanan bangsa ini telah berada pada arah yang benar ? Perjalanan besar kita dari tahun 1908, tahun 1945, tahun 2008 ini, dan tahun-tahun mendatang. Kita bertanya, apakah bangsa kita bisa menjadi Negara Maju (develop nation) pada abad 21 ini ? Menjadi bangsa yang terhormat, dan tidak kalah dengan bangsa-bangsa lain. Kita juga bertanya, ketika sekarang ini bangsa kita sedang kembali diuji oleh krisis energi dan krisis pangan dunia, apakah kita bisa menghadapi dan mengatasinya?” ujar SBY dengan gaya bicaranya yang memukau.

Tiga pertanyaan itu dijawab oleh SBY dengan penuh keyakinan. “Perjalanan bangsa kita telah berada pada arah yang benar, Indonesia bisa menjadi negara maju di abad-21, dan krisis energi serta pangan dunia ini akan bisa kita atasi,” jawabnya optimis.

Apa alasannya? “Karena sejak 100 tahun yang lalu, sejak bangsa kita bangkit, kita telah menjadi bangsa yang berkemampuan, ”Bangsa Yang Bisa” ! Bisa mengubah nasib, bisa bersatu, bisa mengusir penjajah, bisa meraih dan mempertahankan kemerdekaan, dan bisa mengatasi berbagai tantangan sejarah !” SBY menjelaskan alasannya.

Benarkah bangsa ini bangsa yang besar? Benarkah bangsa ini mampu mengusir penjajah
seperti? Benarkah bangsa ini terhormat? Dan benarkah bangsa ini telah berada pada arah yang benar? Untuk menjawab ini, saya ingin mengajak pembaca menganalisis tiga kasus: rokok, pornografi dan Sri Mulyani.

Rokok

Betulkah bangsa ini telah berada pada arah yang benar untuk menjadi bangsa besar, maju dan terhormat? Saya tak terlalu yakin dengan itu. Ingat dengan fatwa haram rokok yang menimbulkan pro dan kontra? Kita merasa bangsa besar dan maju, tapi masih terjebak pada perdebatan tak bermutu terkait rokok.

Bayangkan, bangsa sebesar ini masih tak mampu menilai apakah rokok itu menyehatkan atau menyengsarakan. Bangsa yang katanya telah berada pada arah yang benar ini, masih belum dapat menyadari bahaya rokok. Karena itu tak usah heran jika iklan rokok masih berseliweran di tempat umum dan media massa.

Di negara lain, kesadaran akan bahaya rokok sudah lama terjadi. Delapan negara ASEAN sudah menerapkan larangan merokok secara komprehensif, Negara-negaraitu antara lain:BruneiDarussalam, Singapura, Thailand, Vietnam, Philipina, Laos, dan Kamboja.

Kedelapan negara itu melakukan dua tahap pelarangan. Tahap pertama adalah pelarangan iklan rokok di televisi dan radio, sedangkan tahap kedua adalah pelarangan iklan rokok secara komprehensif di setiap kegiatan. Di Brunei larangan iklan rokok di TV dan radio sudah dilakukan sejak 1976. Sedangkan larangan iklan rokok secara menyeluruh di negara Sultan Hassanah Bolkiah itu sudah diterapkan sejak 2005 dengan diterbitkannya UU yang mengatur larangan rokok.

Di Singapura, larangan iklan rokok di TV dan Radio sudah sejak 1971. Sedangkan UU yang mengatur larangan iklan rokok secara keseluruhan diterapkan pada 1993.

Di Thailand larangan iklan rokok secara total sudah sejak 1989. Dan pada 1993, UU nya disempurnakan lagi.

Di Malaysia larangan iklan rokok di media elektronik telah dilakukan pada 1982 melalui peraturan setingkat instruksi menteri. Pada 1992, diterbitkan UU yang secara total larangan iklan rokok, kemudian di UU itu disempurnakan pada 2004.

Pornografi

Betulkah kita bangsa yang besar, terhormat dan berada pada arah yang benar? Saya masih tak terlalu yakin. Bagaimana bisa, jika di antara kita masih saja menolak diterapkannnya UU Anti Pornografi dan Pornoaksi. Di negara lain, bahaya pornografi telah disadari sejak lama. Di AS, pornografi yang menyajikan gambaran tentang anak-anak yang benar-benar terlibat dalam tindakan-tindakan seks atau yang berpose dalam penampilan yang porno adalah kejahatan. Bahan-bahan porno tidak boleh diberikan kepada orang yang berusia kurang dari 18 tahun atau di beberapa daerah, 21 tahun.

Di RRC, pemerintahnya secara ketat mengawasi masalah pornografi ini. Di Malaysia, Singapura, Australia, Slovenia hingga Meksiko, nelarang peredaran pornografi terutama untuk anak di bawah 18 tahun.

Di Indonesia, keberadaan UU nya pun masih terus diperdebatkan. Dalih mereka yang
mendukung pornografi adalah agar tidak ada hambatan dalam berseni dan berekspresi. Bayangkan, bangsa sebesar ini masih tidak bisa membedakan mana seni dan mana pornografi. Kata seorang seniman, seni ya seni. Pornografi ya air seni.

Sri Mulyani

Kasus Sri Mulyani membuat saya bertambah tidak yakin jika kita adalah bangsa besar,
terhormat, dan mampu mengusir penjajah, seperti disampaikan SBY.Kita, ternyata bangsa yang hanya besar secara kuantitas dan demografi. Tapi, secara politik dan ekonomi, kita bangsa yang kecil; tak bergigi.

Dulu,100 tahun bahkan lebih dari itu, kita memang menjadi bangsa yang besar, yang mampu mengusir penjajah meski hanya bermodalkan bambu runcing dan semangat jihad. Tapi kini, alih-alih kita mampu mengusir penjajah, negeri kita justru diobok-obok. Lebih parah dari itu, kita sendiri yang mengundang penjajah untuk masuk ke Tanah Air.

Secara vulgar, kasus Sri Mulyani mengindikasikan bangsa ini yang sangat mudah diintervensi pihak asing. Baru 7 bulan Sri Mulyani menjadi menteri keuangan, tapi Presiden SBY merelakan kepergiannya untuk mengisi jabatan strategis di Bank Dunia.

Padahal, seperti yang diungkapkan secara jujur oleh SBY,” Sri Mulyani adalah salah satu menteri terbaik.” Meminjam istilah Koran Tempo, sikap SBY ini amat ganjil. Antara pernyataan dan perbuatan tidak klop. Jika memang Sri Mulyani salah satu menteri terbaik, kenapa SBY tidak mempertahankannya mati-matian? Justru, SBY terkesan sangat
mudah melepas Sri Mulyani.

Tentu saja beragam analisa bisa dikemukakan. Salah satu yang mengemuka adalah sebagai win-win solution dari kasus Century. Ya, inilah exit strategy yang elegan.

“Ini adalah upaya menyelamatkan semua pihak,” ujar pengamat politik UI Arbi Sanit. Sri Mulyani lepas dari masalah Century secara terhormat karena digeser menjadi pimpinan di lembaga prestisius dan SBY sendiri selamat karena koalisinya dengan partai politik akan lebih stabil.

Analisa ini bisa diterima. Tapi ada dua catatan penting mengiringinya. Pertama, demi kepentingan dirinya, SBY telah mengorbankan kedaulatan bangsa ini. Bisa jadi, tidak pernah ada presedennya, seorang menteri di sebuah bangsa besar yang baru menjabat 7 bulan, dengan mudahnya “dibajak” oleh pihak asing. Dan seorang presiden sama sekali tak menolaknya. Kedua, World Bank berani melakukan itu karena mereka merasa memiliki “saham” di negeri ini. Gelontoran utang triliunan rupiah membuat mereka yakin bisa “mengatur” Indonesia.

Rokok, pornografi dan Sri Mulyani membuat kita seperti gigantisme: merasa besar (raksasa) tapi di dalamnya mengidap beragam penyakit yang mengkhawatirkan. Kita merasa besar dan berada pada arah yang benar, namun masih belum bisa melihat bahaya merokok.

Kita merasa besar, terhormat dan pada arah yang benar, tapi masih belum mampu membedakan mana seni dan pornografi. Terakhir, kita merasa besar, terhormat dan mampu mengusir penjajah, namun dalam kenyataannya bangsa ini masih saja diintervensi pihak asing ( kasus Sri Mulyani). Akhirnya, saya harus meminjam judul film Deddy Mizwar untuk memotret negeri tercinta kita: alangkah lucunya negeri ini. Wallahua’lam bishshowab.

Erwyn KurniawanS.IP, Editor Maghfiroh Pustaka