Anonimitas Dunia Maya VS Dakwah

Dakwah yang merupakan sebuah kewajiban luhur yang sudah turun temurun sejak diwahyukannya risalah Allah yang pertama kepada Nabi Adam terus menunjukkan eksistensinya hingga zaman kita ini. Perjalanan panjang sejarah dakwah telah memberikan kita pelajaran berharga bahwa berdakwah bukan sekedar urusan menyampaikan pesan-pesan Ilahi, tetapi juga bagaimana pesan-pesan tersebut dapat diterima dengan baik oleh masyarakat dakwah.

25 Nabi diutus oleh Allah Swt untuk menyampaikan pesan-pesan yang sama, tetapi Ia tidak membakukan satu cara bagaimana menyampaikan pesan-pesan-Nya. Variasi metode penyampaian yang ditunjukkan oleh para Nabi tidak lain agar pesan-pesan Ilahi dapat diterima dengan baik oleh masyarakat yang juga bervariasi. Hingga saat ini, peremajaan metode dakwah harus terus dilaksanakan. Karena bukanlah hal yang mustahil, dakwah akan kehilangan masyarakatnya jika tidak disajikan sesuai dengan “cita rasa” masyarakatnya.

Usaha telah dilakukan dalam rangka peremajaan dakwah. Salah satu diantaranya adalah “e-dakwah”. Sebuah terobosan metode dakwah yang menggunakan media teknologi untuk menyebarkan pesan-pesan Ilahiah. Ada beragam bentuk e-dakwah; mulai dari membuat perangkat lunak untuk menunjang pembelajaran Islam, merilis handphone yang dilengkapi dengan fitur-fitur keIslaman, sampai menyampaikan pesan-pesan keagamaan melalui *mailing list, blog, *atau situs-situs jejaring social dengan memanfaatkan teknologi internet.

Beragam fasilitas yang dijanjikan Internet sangatlah menarik perhatian berbagai golongan masyarakat untuk beramai-ramai “hijrah” ke dunia maya. Tidak memandang usia, pekerjaan, gender, jarak atau batas apapun, orang-orang turut meramaikan dunia maya yang akhirnya secara natural terbentuklah apa yang disebut “cybercommunity”atau komunitas cyber. Tidak ketinggalan “para pencari Tuhan” pun turut meramaikan dunia cyber. Karena memang–menurut Lorne L. Dawson dalam Doing Religion in Cyberspace: The Promise and the Perils – banyak hal yang dapat dilakukan oleh Internet untuk kepentingan agama, diantaranya:

  • Menyebarkan pesan ke seluruh dunia
  • Membangun komunitas baru
  • Menghancurkan batasan ruang dan waktu
  • Melaksanakan ritual di dunia virtual
    Internet ternyata tidak hanya sebatas wahana yang bertaburan angka, huruf dan gambar yang dapat dibaca dan dilihat. Dengan kemajuan teknologi seperti animasi 3-D, Internet dapat menjadi wadah pengadaan ritual keagamaan di dunia maya.
  • Mengembangkan pemahaman yang lebih terbuka dalam beragama

Dengan berlimpahnya informasi keagamaan yang berasal dari berbagai pemahaman, para pencari hakikat keagamaan tentunya dapat membandingkan beragam informasi itu sehingga memberikan dan mengembangkan kesadaran beragama yang lebih terbuka.

Beragam fasiltias Internet bagi agama –sebagaimana dirinci oleh Dawson diatas tentunya tidak disia-siakan oleh para pencari Tuhan. Data dari halaman situs Google Zeitgeist membutktikan hal tersebut dengan mengungkap bahwa hal yang paling dicari sejak kemunculan Google sejak pertama kali diluncurkan adalah query tentang : ‘who is God?’ dan ‘what is love?’. Dua hal itu adalah query yang paling dicari manusia sejak awal berdirinya Google.

Fakta lain yang cukup mengejutkan dirilis oleh Pew Internet and American Life Project bahwa sekitar 28 juta orang Amerika menggunakan Internet untuk mendapatkan informasi yang berkaitan dengan keagaamaan dan spiritualitas serta membangun
hubungan dengan orang lain sesama surfer dalam perjalanan keimananan mereka. Mereka inilah yang kemudian dijuluki Religion Surfers. Survey ini juga mencatat mencatat fakta lain yang tak kalah penting, bahwa para Religion Surfers beranggapan bahwa sumber-sumber kunci masalah spiritualitas lebih mudah didapat secara online.

Fakta-fakta yang diungkap Google Zeitgeist dan survey Pew Internet and American Life Project diatas memberikan kita satu pandangan baru mengenai Internet dan agama, bahwa Internet telah menjelma menjadi ladang subur bahkan sebuah kebutuhan bagi perkembangan agama. Kesuburan tersebut tentunya didukung oleh sifat Internet yang memang terbuka bagi siapapun.

Seseorang hanya memerlukan seperangkat komputer dan modem yang tersambung dengan jaringan telpon untuk dapat bergabung mewarnai Internet. Khusus bagi aktifitas dakwah, keterbukaan Internet sangatlah berimplikasi positif bagi ajaran Islam yang menganjurkan umat Islam untuk menyampaikan pesan-pesan kebenaran walau hanya satu hal. Banyaknya halaman Internet yang memuat artikel-artikel tentang Islam adalah bukti nyata bahwa Internet adalah medium yang pro dakwah. Hal ini tentunya kabar gembira bagi para praktisi agama (da’i).

Celakanya, keterbukaan Internet secara tidak disadari mengakibatkan krisis bagi otoritas dan otentisitas kebenaran agama itu sendiri. Dahulu, kebenaran agama hanya milik mereka yang dikenal memiliki pengetahuan keagamaan yang luas dan kesalehan sosial yang baik, sebagaimana yang didukung oleh teori dakwah yang memang mensyaratkan kriteria da’i sukses dengan akhlak mulia dan penguasaan berbagai disiplin ilmu agama.

Hal ini juga diamini oleh teori komunikasi yang menyatakan bahwa komunikasi akan mencapai tujuan maksimalnya jika pesan disampaikan oleh seorang komunikator yang kredibel dan berkepribadian menarik. Tapi di dunia maya, siapapun berhak untuk menyampaikan pesan-pesan agama. Tidak ada aturan yang mengikat seseorang
untuk mencantumkan identitas aslinya ketika menulis pesan-pesan agama di dunia maya.

Juga tidak ada aturan yang membatasi apa yang boleh dan tidak boleh ditulis oleh seseorang di dunia maya. Sebuah kartun yang dibuat oleh Peter Steiner untuk majalah New Yorker pada tahun 1993 bertuliskan “on the internet, nobody knows you’re a dog” menggambarkan dengan jelas betapa ketidak jelasan identitas di dunia maya adalah keniscayaan yang tak dapat terelakkan.

Pertanyaan besar selanjutnya adalah siapakah yang memegang otoritas kebenaran pesan-pesan agama yang begitu melimpah di dunia maya jika dihadapkan dengan anonimitas penulis pesan tersebut? Apakah dengan ketidak jelasan identitas penulis, kebenaran pesan-pesan agama tersebut turut menjadi bias? Bagaimana menurut anda?

Penulis berhipotesa bahwa otoritas kebenaran berada pada para pembaca pesan-pesan agama tersebut. Atau jika penulis bahasakan dengan bahasa dakwah, kebenaran pesan-pesan dakwah tidak bergantung pada da’i melainkan berada dalam otoritas mad’u. Hipotesis tersebut didukung oleh perkataan Imam Ali r.a yang menyatakan “lihatlah apa yang dikatakan dan jangan lihat siapa yang mengatakan”.

Selain Imam Ali r.a, hipotesis ini juga sejalan dengan Roland Barthes yang berargumen bahwa teks, ketika sudah menjadi sebuah tulisan, memiliki kebenaran otonom dari penulisnya. Baginya, si penulis (author)hanya akan menjadi tirani yang mengungkung kebenaran teks dengan kondisi psikologis dan sosiologisnya. Bagaimana menurut anda?

***

Profil Penulis:

Fazlul Rahman; Mahasiswa Pasca Sarjana UIN Syarif Hidayatullah konsentrasi Dakwah dan Komunikasi; [email protected]