Hikmah 'paska' Polemik Fatwa MUI

Setelah melakukan ijtimak di Padang Panjang beberapa waktu yang lalu, Majelis Ulama Indonesia
(MUI) menghasilkan beberapa fatwa yang dua di antaranya segera disambut dengan polemik di tengah masyarakat dan pemberitaan media massa. Yang pertama adalah tentang : Fatwa Haramnya Golput dan yang Kedua adalah pengharaman Rokok bagi anak-anak dan wanita hamil. Ada pengamat politik, pakar hukum yang dengan lugas menyatakan : itu fatwa sesat (www.inilah.com) Ada pula yang meremehkan dengan ucapan : fatwa yang tidak efektif dan meresahkan masyarakat. Di lain pihak ada yang lebih sinis dengan menuduh MUI menghasilkan fatwa karena titipan bahkan suap dari parpol atau pihak-pihak tertentu. Tuduhan ini pun dilanjutkan dengan upaya delegitimasi MUI, seperti mengkaitkan dengan orde baru, dan menuntut audit khusus di lembaga MUI.(Todays Dialog-Metro TV 2 Feb 2009) .

Polemik ini memang harus disikapi dengan baik dan elegan. Saya tidak ingin membahas tentang content dari fatwa tersebut. Sudah banyak yang membahasnya dan juga akan lebih banyak lagi yang menentangnya. Demikian terus menerus, sambung menyambung, dan karena itulah disebut dengan ‘polemik’ fatwa MUI. Justru di bahasan ‘polemik’ itulah saya ingin sedikit memberikan
pandangan. Bahwasanya ada beberapa pelajaran dan hikmah yang bisa kita ambil dari terjadinya polemik fatwa MUI tersebut.

Berikut ini beberapa catatan bagaimana Islam memandang polemik seputar fatwa MUI tersebut, diantaranya adalah sebagai berikut :

Pertama : Fatwa & Ijtihad adalah Wilayah Khusus

Di dalam Islam, fatwa dan ijtihad adalah domain khusus para ulama dengan syarat-syarat tertentu yang dibahas dalam kajian Ushul Fiqh, ataupun Manahijul Fatwa. Dalil-dalil syariat telah mengisyaratkan bahwa ijtihad dan fatwa bukan wilayah publik yang setiap orang bisa mengklaimnya. Di antara dalil-dalil tersebut antara lain :

Dalil Pertama :

Allah SWT berfirman :
Dia-lah yang menurunkan Al Kitab (Al Quran) kepada kamu. di antara (isi) nya ada ayat-ayat yang muhkamaat, Itulah pokok-pokok isi Al qur’an dan yang lain (ayat-ayat) mutasyaabihaat. adapun orang-orang yang dalam hatinya condong kepada kesesatan, Maka mereka mengikuti sebahagian ayat-ayat yang mutasyaabihaat daripadanya untuk menimbulkan fitnah untuk mencari-cari ta’wilnya, padahal tidak ada yang mengetahui ta’wilnya melainkan Allah. dan orang-orang yang mendalam ilmunya berkata: "Kami beriman kepada ayat-ayat yang mutasyaabihaat, semuanya itu dari sisi Tuhan kami." dan tidak dapat mengambil pelajaran (daripadanya) melainkan orang-orang yang berakal.(QS Ali Imron 7)

Ayat yang muhkamaat ialah ayat-ayat yang terang dan tegas. Maksudnya, dapat dipahami dengan mudah. Sementara termasuk dalam pengertian ayat-ayat mutasyaabihaat: ayat-ayat yang mengandung beberapa pengertian dan tidak dapat ditentukan arti mana yang dimaksud kecuali sesudah diselidiki secara mendalam; atau ayat-ayat yang pengertiannya Hanya Allah yang mengetahui seperti ayat-ayat yang berhubungan dengan yang ghaib-ghaib misalnya ayat-ayat yang mengenai hari kiamat, surga, neraka dan lain-lain. Dari ayat di atas diisyaratkan –sebagaimana penafsiran sebagian ulama- bahwa hanya mereka yang mendalam ilmunya lah yang bisa menguraikan ayat mutasyabihat menjadi jelas hukum dan faidahnya. Wallahu a’lam.

Dalil Kedua :

Rasulullah SAW bersabda : " Bahwa sesungguhnya yang Halal itu jelas, dan yang Haram itu jelas, dan di antara keduanya ada hal-hal yang syubhat (samar-samar), kebanyakan orang tidak mengetahui hal tersebut. .." (HR Muslim)

Hadits di atas juga secara jelas menggambarkan bahwasanya wilayah ijtihadi yang biasanya berkaitan dengan hal-hal yang syubhat, tidak banyak orang yang bisa mengetahuinya. Bahkan kita dianjurkan untuk menjauh dari syubhat agar terhindar dari yang haram. Karenanya tugas ulama adalah menjelaskan dari yang awalnya syubhat menjadi jelas hukumnya, halal atau harom.

Dalil Ketiga :

Allah SWT berfirman : Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. (QS Al Isra 36), Begitu pula dalam ayat yang lain :

Firman Allah SWT : Maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui (QS An-Nahl 43).

Dua ayat di atas juga mengisyaratkan agar kita mampu mengukur diri dan spesialisasi kita, tidak ‘lompat pagar’ atau ‘banting stir’ dengan berkomentar di bahasan yang bukan keahlian kita. Apalagi jika hal tersebut berhubungan dengan ijtihad, maka yang harusnya dilakukan adalah bertanya lebih jauh, bukan malah berkomentar padahal bukan kapasitasnya untuk berkomentar.

Dari tiga kumpulan dalil di atas, saya ingin mengatakan : bahwa polemik fatwa MUI jika saja dimainkan oleh para ‘ahlinya’ yang setara dengan MUI, misalnya : Majlis Tarjih  Muhammadiyah, Lajnah Bahtsul Masa’il Nadhlatul Ulama, atau lembaga fatwa dan ijtihad sejenis yang juga merupakan kumpulan para ulama, dimana mereka juga berijtihad lalu menghasilkan fatwa yang berbeda, lalu mengomentari fatwa MUI secara resmi dengan menengahkan dalil-dalil yang shahih dan shorih, dan mengungkapkan kelemahan dalil yang dipakai MUI, maka subhanallah, itu adalah hal yang wajar dan positif. Polemik di antara para ahli ijtihad bukan barang baru dalam sejarah pemikiran Islam. Banyak dialog terjadi dalam sejarah keilmuan islam, baik secara langsung maupun tidak langsung di antara para ulama mujtahid yang berbeda pendapat . Bahkan perbedaan pendapat diakui merupakan salah satu kekayaan khazanah pemikiran Islam di bidang Fikih dan Ushul Fikih.

Namun sayangnya, yang terjadi seputar polemik fatwa MUI bukanlah demikian. Saya mencatat sebagian besar yang berkomentar adalah justru dari mereka yang tidak pernah bersentuhan dengan ijtihad, seperti ; pengamat politik, pakar hukum, pembawa acara televisi, bahkan mungkin ‘juragan’ rokok ! Apa jadinya jika fatwa yang dikeluarkan melalui proses yang panjang oleh para ulama, menjadi polemik yang memblunder hanya karena omongan atau komentar satu dua orang yang bukan ahlinya.

Kedua : Perbedaan pendapat dihargai, bukan untuk saling menyesatkan.

Dari Abu Hurairah ra, Rasulullah SAW bersabda : " Jika seorang hakim berijtihad dan benar maka ia mendapatkan dua pahala, dan jika salah dalam ijtihadnya maka baginya satu pahala " (HR Baihaqi dan dishahihkan oleh Albani)

Hadits di atas, selain menyebutkan keutamaan ijtihad, juga mengisyaratkan adanya penghargaan
bagi mereka yang berijtihad dengan sungguh-sungguh, meskipun hasil akhirnya belum tentu benar. Islam memberikan apresiasi kepada mereka yang berijtihad dengan baik, apapun hasilnya maka itu adalah sebuah hasil ijtihad yang keluar melalui proses istimbath hukum yang teliti dan objektif.

Ini pulalah yang dilakukan MUI dalam ijtimaknya di Padangpanjang. Berhari-hari para ustadz, kiai, dan ulama berkumpul, berdiskusi, memeras pikiran, berijtihad dengan mengemukaan kaidah-kaidah dan dalil-dalilnya, untuk kemudian menghasilkan fatwa-fatwa yang segera ditanggapi dengan segepok polemik di tengah masyarakat.

Maka seharusnya yang kita kedepankan di awal adalah simpati dan penghargaan atas ijtihad dan kepedulian mereka dalam usaha menyelesaikan pemasalahan umat, bukannya malah sinis dan menebar suudzhan yang berkelanjutan. Apalagi jika sampai keluar istilah sesat, usulan MUI dibubarkan dan di audit, ini benar-benar jauh dari kesan menghargai perbedaan pendapat.

Keempat : Tentang tuduhan fatwa MUI yang tidak efektif dan meresahkan.

Komentar lain yang sering mengemuka adalah bahwa fatwa MUI dalam sejarahnya tidak pernah efektif, tetapi MUI masih membandel dengan mengeluarkan fatwa-fatwanya yang meresahkan umat dan tidak populer.

Dalam Islam kedudukan fatwa berbeda dengan Qodho’ atau keputusan hukum mengikat yang dikeluarkan oleh seorang Qadhi atau Hakim. Fatwa adalah : Tabyiin hukm syar’iy ‘an daliilin liman sa’aahu. Yaitu : Menjelaskan sebuah hukum syar’I dengan dalil, sebagai jawaban atas pertanyaan yang diajukan kepada seorang mufti ( Mausuah Fiqhiyah Jilid 2).
Tujuan fatwa memang untuk menjelaskan hukum sesuatu dan menghilangkan keraguan sang penanya. Jadi status fatwa memang sejak awal adalah tidak mengikat, ia merupakan himbauan dan penjelasan tentang sebuah perkara. Bukan keputusan hukum yang mengikat dan harus ditegakkan sebagaimana Qodho’ atau peradilan.

Di sisi lain, dalam realitas dilapangan sebenarnya banyak fatwa MUI yang telah diadopsi oleh pemerintah menjadi peraturan-peraturan hukum yang mengikat. Contoh yang paling jelas dalam masalah ini tentu adalah Undang-undang Perbankan Syariah, dan tentang kehalalan produk makanan. Atau jika kita tanyakan secara lebih jernih, jika dikatakan sebuah fatwa itu tidak efektif apakah harus selalu karena fatwanya yang salah, bukankah ada kemungkinan jawaban lain, yaitu karena masyarakatnya yang memang belum siap untuk menerima kebenaran ? belum siap untuk mengubah gaya hidupnya yang banyak tercemari kebiasan tidak islami ?

Ketiga : Tentang upaya delegitimasi Ulama dengan Tuduhan Suap Politik dan Korupsi

Di dalam Islam, posisi ulama sangat dihargai. Mereka para ulama disebut sebagai pewaris nabi (HR Bukhori), di dalam Al-Quran para ulama disebutkan sebagai orang-orang yang khusyuk dan takut kepada Allah SWT (Fathir 28). Bahkan, ulama menjadi simbol kualitas keilmuan dan pengetahuan dalam sebuah masyarakat, hingga disebutkan dalam hadits bahwa jika Allah ingin mencabut ilmu dari sebuah masyarakat, cukup dengan ‘mematikan’ para ulama di dalamnya.

Itulah posisi para ulama yang begitu mulia dalam agama ini. Karenanya, secara umum, ajaran Islam yang mulia menganjurkan kita untuk mencintai dan menghargai para ulama, dari setiap sisinya. Sehingga tuduhan bahwa ulama ketika berfatwa mengedapankan ‘pesanan politik’ , dan lain sebagainya adalah kebalikan dari anjuran ulama untuk menghargai dan mencintai ulama.

Di dalam Islam, tuduhan melakukan sesuatu yang jahat adalah kejahatan tersediri, apalagi jika benar-benar disampaikan dengan ‘asal tuding’ tanpa adanya bukti dan saksi yang terpercaya. Karenanya Islam tidak pernah mentorelir mereka yang menuduh orang baik-baik berbuat zina. Jika ia tidak bisa menghadirkan empat saksi yang terpercaya, maka ia bisa menghadapi tuntutan kejahatan qadhf, yang diancam hukuman berat berupa delapan puluh kali hukuman dera. Karenanya ungkapan-ungkapan pesanan politik, politik praktis, dan lain sebagainya adalah sebuah tuduhan, yang jika tidak segera dibuktikan dengan benar maka menjadi sebuah kejahatan tersendiri yang akan dipertanggungjawabkan baik di dunia maupun di akhirat.

Akhirnya, di dalam setiap kejadian pastilah menyisakan banyak hikmah. Mereka yang bisa dan biasa mengambil hikmah, akan lebih optimis dalam menyikapi setiap kejadian. Begitu pula kali ini
dengan polemik fatwa MUI, mari kita menelusuri beberapa hikmah yang bisa kita ambil, di antaranya adalah :

1) Bahwa para ulama juga manusia biasa yang bisa salah, karenanya setiap pendapat yang bermunculan dalam polemik fatwa MUI ini, bahkan tuduhan sekalipun, kita bisa artikan tentang kecintaan mereka pada ULAMA, tidak ingin ULAMA mereka terjerumus pada hal-hal yang tidak seharusnya. Untuk itulah, mereka mengontrolnya melalui komentar yang tajam serta pendapat yang berlainan. Bukankah dalam bahasa yang lebih halus komentar, masukan, dan kritikan bisa kita masukkan dalam kategori nasehat.

Kita tetap optimis, bukankah ini perwujudan hadits Rasulullah SAW bahwa Ad-Diinu an-Nasiihat . Agama ini adalah nasihat, bagi Allah, Kitab-Nya, Rasul-Nya, dan pemimpin kaum muslimin, dan kaum muslimin secara umum. Dr. Musthofa Al-Bugho menuliskan dalam kitab Al-Wafi syarh Arba’iin An-Nawawiyah, bahwa yang dimaksud dengan a’immatul muslimin adalah termasuk para ulamanya. Yaitu, menasehati & mengingatkan para ulama, agar tidak salah dalam berfatwa.Nah, jika ini yang sedang terjadi, yaitu upaya controlling dan nasehat pada para ulama yang juga manusia biasa, maka kita tidak punya alasan untuk tidak optimis.

2) Dengan adanya polemik ini maka masyarakat pembelajar yang cerdas dan objektif akan tertarik untuk menelaah lebih lanjut pembahasan ini. Mereka yang masuk kategori ini tidak akan mudah untuk mengamini setiap pendapat tanpa mengetahui landasan dali masing-masing. Mereka akan merasa tertantang ‘ikut’ berpolemik dalam arti yang positif, yaitu memperdalam pembahasan, baik dengan membaca kembali, mengkaji, diskusi, ataupun menanyakan pada pakarnya secara khusus. Kebiasaan ini tentu akan memunculkan ‘benih-benih’ ulama baru, atau setidaknya menghasilkan pembelajar dan peneliti yang kritis, yang siap beradu argumen dengan cara yang baik dan dalil yang jelas.

3) Polemik ini juga akan menghasilkan kesadaran baru untuk tidak taklid buta dan mengkultuskan ulama, tapi berusaha untuk melihat dalil-dalil dari setiap fatwa dan pendapat yang dikemukakan para ulama.

4) Polemik ini secara tidak langsung juga melatih masyarakat awam untuk menghargai perbedaan, tidak asal salah menyalahkan. Apalagi sesat menyesatkan.

5) Polemik ini sekaligus mensosialisasikan kedudukan dan fungsi fatwa di tengah masyarakat. Menyadarkan bahwa Islam mempunyai banyak solusi dalam setiap permasalahan. Masyarakat yang menemukan permasalahan dalam kehidupannya, bisa segera merujuk pada para ulama dan meminta fatwa kepada mereka. Bukan berdiam diri dalam keraguan, atau melakukan suatu aktifitas tanpa didasari dengan pengetahuan yang benar akan kehalalan aktifitas tersebut.

Akhirnya, inilah hikmah yang tersisa seputar polemik fatwa MUI. Kita semua semestinya bisa berpikiran positif dan juga optimis dalam memandang polemik tersebut. Bahkan juga untuk semua kejadian yang kita lewati dalam kehidupan ini. Bukankah Rasulullah SAW sendiri telah menegaskan dalam haditsnya, bahwa semua permasalahan kaum mukmin pada hakikatnya adalah baik jika mereka bisa mengelolanya dengan bersabar atau bersyukur. Wallahu a’lam.

Profil Penulis :

Hatta Syamsuddin, Lc – alumni International University of Africa di Khartoum, Sudan, sekarang mengajar di Ma’had Abu Bakar UMS Surakarta dan melanjutkan perkuliahan di Program Magister Studi Islam UMS Surakarta. Untuk kritik dan saran : [email protected], kunjungi pula : http://hattasyamsuddin.blogspot.com