Hukum Indonesia : Supremasi Pemain Hukum

Ada satu peninggalan penjajah yang terus dilestarikan bahkan dihargai dan diletakkan pada tempat terhormat oleh bangsa dan negeri ini. Warisan penjajah tersebut adalah hukum positif yang berlaku saat ini. Hukum yang berlaku di Indonesia dari dulu hingga sekarang adalah hukum buatan penjajah, menyesuaikan diri dengan kepentingan penjajah, untuk keuntungan penjajah, dan hanya berlaku untuk yang dijajah, bukan penjajah. Jadi amat wajar warisan peninggalan penjajah ini kemudian bermetamorfosa menjadi aturan-aturan yang sekarang dieksekusi oleh para pemain di gelanggang hukum yang tak ubahnya berperilaku seperti penjajah.

Mari mendefinisikan para pemain hukum ini secara gamblang. Mereka adalah semua yang terlibat dalam membuat hukum, mengawasi jalannya hukum, dan pelaksana hukum itu sendiri. Layaknya ketika dahulu negeri ini dalam penjajahan asing, jumlah anak bangsa dalam ranah hukum yang bersih dari pengaruh dan sifat penjajah amat sedikit, dan begitulah yang terjadi sekarang.

Para pemain hukum sudah tidak punya malu lagi. Tentu saja, mana ada penjajah yang merasa perlu untuk malu di hadapan yang dijajah. Para pemain hukum ini tidak pernah merasa bersalah. Tentu saja, sejak kapan penjajah dipersalahkan bila hak untuk salah hanya ada pada yang dijajah. Para pemain hukum ini tidak punya rasa takut lagi. Sungguh amat sangat wajar bila inilah watak penjajah. Tak terbersit di benak mereka untuk merasa khawatir terhadap kekuatan rakyat yang dijajah. Kesombongan dan arogansi mereka mewujud menjadi keyakinan bahwa mereka berada dalam posisi aman karena rakyat mereka posisikan dalam kelas sebagai kaum yang tidak berdaya dan hanya layak untuk diperdayakan.

Pajak tak ubahnya memalak. Pajak yang dipungut negara tak ubahnya negara memalak rakyatnya sendiri. Rakyat dalam bahasa halus diwajibkan padahal yang lebih tepat adalah dipaksa untuk menyerahkan harta mereka pada negara untuk suatu kepentingan yang rakyat sendiri tidak pernah tahu kemana harta mereka yang dipungut itu digunakan. Tidak ada pertanggungjawaban terhadap harta rakyat yang telah diambil secara paksa oleh negara dengan dalih untuk kepentingan bersama. Karena sifatnya yang sudah memaksa, dan membuat segala hal yang bisa dikondisikan untuk dikeluarkan pajak, maka disitulah ruang untuk mewajibkan pajak, maka inilah yang sama sekali meniadakan berkah dari harta pajak. Sungguh amat berbeda dengan zakat yang diatur dalam Islam. Jumlahnya sudah tertentu, yang wajib mengeluarkannya juga sudah jelas, peruntukannya pun tidak boleh keluar dari golongan yang sudah ditentukan. Pertanggungjawaban pun bersih karena berlangsung atas keridhaan dan adanya akad.

Perspektif pajak berangkat dari pola pikir bahwa negara memiliki rakyat, sehingga untuk membangun negara adalah dengan cara memaksa rakyat untuk menyerahkan apa yang mereka miliki karena pada dasarnya pada hak milik mereka ada hak negara. Sedangkan perspektif Islam melihat bahwa rakyatlah yang memiliki negara. Bila ingin membangun negara, maka rakyat dengan kesadaran sendiri dan secara sukarela, tanpa dipaksa, mengerahkan kemampuan dan apa yang mereka miliki agar negara mereka menjadi tempat hidup yang nyaman bagi mereka dalam ridha ALLAH. Dan dalam Islam amal ini lah yang kemudian disebut dengan berinfaq di jalan ALLAH, infaq fisabilillah. Jadi sungguh jauh berbeda pola pikirnya. Inilah yang kemudian membuat rakyat yang membayar pajak sulit untuk merasa memiliki negaranya, ataupun merasa memiliki segala sarana yang dibangun dari pajak yang dibayarnya.

Bila rakyat yang hartanya dipungut sebagai pajak tahu bahwa harta mereka itu digunakan untuk membeli mobil mewah para pejabat, sudahkah hal itu ditanyakan pada sang rakyat? Bila harta rakyat yang dipungut sebagai pajak itu digunakan untuk merenovasi rumah-rumah para pejabat yang luxurious-nya di luar bayangan sang rakyat, sudahkah hal itu dimintakan persetujuannya dari sang rakyat? Bila harta rakyat yang dipungut sebagai pajak itu digunakan untuk mengongkosi bahan bakar kendaraan mewah para pejabat, sudahkah hal ini diketahui oleh sang rakyat? Bila harta rakyat yang dipungut sebagai pajak itu digunakan untuk acara seremonial yang menghabiskan biaya kebutuhan rakyat dalam setahun hanya dalam sehari, sudahkah hal ini menimbang perasaan rakyat? Bila harta rakyat yang dipungut sebagai pajak itu malah dimakan oleh sang pengumpul pajak, maka takutkah para pemakan pajak ini atas kemarahan sang rakyat ! ? Bila ternyata jawaban dari pertanyaan di atas semua adalah tidak, maka sesungguhnya sudah jelas bahwa tidak perlu lagi rakyat membayar pajak. Saatnya rakyat berhenti membiarkan diri mereka dipalak dengan dalih pajak. Dan bagi umat Islam, kewajiban mereka yang dituntut hanya membayar zakat. Setiap pengambilan hak mereka secara paksa yang tidak bisa dipertanggungjawabkan adalah bentuk perampasan hak milik yang tidak boleh dibiarkan.

Beginilah kondisi hukum yang sudah tidak berwibawa. Hukum hanya menjadi ajang permainan bagi mereka yang germar bermain-main dengan hajat hidup, nasib, dan perasaan rakyat. Mereka bak hidup dalam arena tersendiri di mana rakyat kebanyakan adalah negasi dari lingkungan mereka. Benar salah di mata hukum ada di genggaman mereka. Semudah mereka membalikkan tangan mereka, semudah itulah mereka beretorika membenarkan yang salah dan menyalahkan yang benar.

Ketika hukum dasar, dustur, segala aturan perundangan dirancang oleh manusia, maka seketika itu pula segala kepentingannya sudah terlibat dalam perancangan hukum tersebut. Selama sang pembuat aturan adalah manusia, sungguh mustahil sang pembuat aturan tidak memperhatikan kepentingannya ketika merancang sebuah aturan. Hukum yang seperti ini sebenarnya berasal dari sebuah peradaban yang meragukan supremasi Tuhan. Pola pikir yang dipakai adalah Tuhan punya semesta sendiri, dan manusia pun punya semesta sendiri. Inilah yang membuat manusia merasa bahwa mereka memiliki hak penuh untuk membuat aturan bagi diri mereka sendiri. Walaupun pekerjaan itu kemudian mereka klaim sebagai bentuk pengejawantahan atas keadilan Tuhan, tetapi keadilan Tuhan ini tidak akan pernah terealisasi karena posisi manusia sendiri dalam hal ini menjadi dualisme. Percaya bahwa Yang Maha Adil hanya Tuhan, tetapi lebih percaya bahwa manusia lah yang lebih pantas mendefinisikan keadilan itu karena berdasar mata lahir mereka, alam mereka sendiri hanya diisi oleh manusia, jadi ini adalah semesta mereka.

Hal ini sungguh jauh berbeda dengan Islam. Dalam Islam, posisi manusia dan ALLAH sudah jelas. ALLAH Sang Pembuat Hukum, Pembuat Aturan, Yang Maha Tahu apa itu adil, dan Dia Sendiri Yang Maha Adil. Posisi manusia hanya sebagai pelaksana Hukum ALLAH dan sekaligus mengawasi tegaknya Hukum ALLAH ini sebagai bentuk pertanggungjawaban mereka, namun bukan untuk dipertanggungjawabkan pada manusia lainnya, melainkan hanya kepada ALLAH semata. Tidak akan pernah ada dualisme dalam hal ini. Selamanya manusia hanya sebagai hamba, hanya Dia lah yang menjadi Sang Tuan. Bila hukum lain sibuk memperdebatkan kebenaran, maka Hukum Islam hanya bekerja untuk menegakkan kebenaran. Sesungguhnya yang haq sudah jelas adalah haq, dan yang bathil sudah jelas adalah bathil.

Wahai umat manusia yang hidup dalam kebingungan. Berlembar-lembar engkau habiskan untuk diisi dengan kata keadilan, namun tak sekalipun engkau temui keadilan itu. Berlemari-lemari kitab hukum yang kau pakai dalam forum pengadilan, tetapi engkau sendiri tidak pernah merasa yakin dengan keadilanmu. Dan bila engkau adalah seorang muslim, engkau kemanakan mushaf Al Quranmu yang ukurannya hanya dalam genggaman tanganmu. Kapan terakhir kali engkau memutuskan keadilan dengannya ?

Ibnu Kahfi Bachtiar, guru di Universitas Maritim Raja Ali Haji