Korporat Asing di Suatu Negara (Imperealisme Modern)

John Perkins dalam bukunya, Confusion Of Economic Hit Man menulis cara cara negara imperealis, dalam hal ini Amerika Serikat, untuk menguasai sebuah negara, agar negara itu mau tunduk kepada mereka .

Pertama kali mereka, para imperealis, mengutus orang orang Economic Hit Man (EHM), untuk membujuk pemimpin sebuah negara agar mau “bekerja sama” dengan mereka, dimana dalam kerjasama itu, para pemimpin negara juga harus menerima system mereka dalam bidang perekonomian dan “menjual” asset asset negaranya kepada mereka.

Hingga pada ahkirnya negara itu dapat tunduk kepada kemauan imperealis dan kaum imperealis dapat “merampas” dengan sangat leluasa kekayaan yang dimiliki negara tersebut. Hasil dari semua ini dapat dilihat dari berdirinya perusahaan dan korporat asing yang hidup disebuah negara, dimana perusahaan perusahaan asing itu “mencuri” sumber daya negara tersebut baik sumber daya alam dan pariwisata atau yang lainnya serta mampu menguasai pasar yang ada di negara itu.

Perkins sendiri menyatakan pada awal Confessions of an Economic Hit Man-nya bahwa “Economic Hit Man adalah professional yang berpenghasilan sangat tinggi yang menipu negara negara di seluruh dunia triliunan dolar. Mereka menyalurkan uang dari Bank Dunia, USAID, dan organisasi ”bantuan” luar negeri lainnya menjadi dana korporasi-korporasi raksasa dan pendapatan beberapa keluarga kaya yang mengendalikan sumber-sumber daya alam planet bumi ini. Sarana mereka meliputi laporan keuangan yang menyesatkan, pemilihan yang curang, penyuapan, pemerasan, seks, dan pembunuhan. Mereka memainkan peranan yang sama tuanya dengan kekuasaan, sebuah permainan yang telah menentukan dimensi baru dan mengerikan selama era globalisasi. Aku tahu itu. Aku adalah seorang EHM”

Setelah para EHM gagal, dalam artian pemimpin negara itu tidak mau bekerja sama dengan kaum imperealis untuk menerima sistem yang mereka tawarkan, maka kaum imperealis akan mengutus “srigala” yang di dukung oleh CIA untuk “menjinakkan” pemimpin itu dengan “kecelakaan” yang mengerikan atau sebuah kudeta yang “halus”, hingga negara tersebut dipimpin oleh orang yang mau “bekerja sama” dengan mereka.

Perkins sendiri mencotohkan “kecelakaan” yang dialami presiden Ekuador-Jaimi Roldos dan presiden Panama, Omar Torijos merupakan bagian dari pekerjaan para srigala ini. Ketika para srigala pun gagal, dalam artian para pemimpin tidak mampu di taklukkan secara “halus”, kaum imperealis akan mengambil tindakan militer untuk memerangi negara yang bersangkutan. Mengutus pemuda pemuda mereka kenegara tersebut untuk membunuh maupun terbunuh.

Barangkali, Irak dan Afganistan juga dapat dijadikan contoh terhadap hal ini, meskipun mungkin ada factor lain yang mempengaruhinya.

Semua yang ditulis oleh John Perkins dalam bukunya tersebut dapat menjadi jawaban terhadap apa yang banyak terjadi akhir akir ini. Sikap USA yang cenderung lembut kepada sebuah negara yang “menerima” perusahaan perusahaan besar mereka, atau sikap mereka yang menindak tegas negara negara yang menolak uluran tangan para korporat mereka.

Organisasi organisasi luar negri seperi World Bank, IMF, dan lainnya merupakan organisasi ”penyalur bantuan” luar negri kepada negara negara berkembang, kemudian menjadi bumerang bagi negara itu ketika harus membayar ”bantuan” itu dengan sumber daya alam di negara mereka atau kesediaan negara itu untuk “bekerjasama” dengan mereka, dalam beberapa bentuk kerjasama.

Apapun bisa menjadi sasaran bagi para EHM, asalkan semua itu bisa menguntungkan mereka dan mereka bisa mendapatkan “izin” dari pemerintah yang bersangkutan agar perusahaan perusahaan besar yang pro terhadap negara asal para EHM, bisa mendapatkan tempat di negara yang menjadi sasaran mereka. Sehingga perampokan yang dilakukan oleh perusahaan perusahaan tersebut atas sumber daya alam sebuah negara dapat dilakukan secara formal dan resmi serta dijamin undang undang.

Di Indoesia sendiri, sejak beberapa puluh tahun yang lalu, perusahaan perusahaan asing seperti Freeport, Chevron (Caltex), Exxon dll telah berdiri dengan sangat leluasa di beberapa daerahnya, mereka berdiri secara sah dan di jamin oleh undang undang. Freeport di Indonesia beberapa tahun yang lalu kembali memperbarui kontraknya untuk beberapa puluh tahun kedepan di daerah papua, itu artinya mereka kambali berhak untuk merampas sumber daya alam negri itu .

Lain lagi ceritanya dengan Exxon, pemerintah pernah memenangkan perusahaan minyak tersebut atas pertamina yang merupakan BUMN Indonesia dalam kasus blok cepu, sedangkan Chevron yang dahulu bernama Caltex, di pekanbaru sendiri sudah menjadi bagian dari masyarakat yang kehadirannya tidak lagi di risaukan apalagi dipermasalahkan.

Perlu ditambahkan disini, perampokan yang dilakukan oleh para korporat asing bukan hanya terhadap sumber daya alam sebuah negara, namun juga sebuah bentuk usaha “penguasaan pasar” yang akan mampu menyedot banyak “masukan” dari penduduk negara setempat.
Indonesia yang memiliki begitu banyak kekayaan alam, diimbangi oleh melimpahnya sumber daya manusia yang mampu menjadi pelaku pasar dalam perdagangan.

Semua ini juga menjadi sasaran para kapitalis untuk semakin meneguhkan pengaruh mereka. Hal itu bisa dilihat dari bertebarannya perusahaan perusahaan asing dalam bidang makanan dan minuman, seperti KFC, Mc Donald,Starbuck, mall Carefour, dll. Keberadaan mereka tidak sesederahana yang dibayangkan selama ini, dari pendirian tempat tempat seperti itulah mereka mampu mengenalkan lifestyle mereka kepada penduduk sebuah negeri. Sebuah gaya hidup konsumtif yang akan digemari oleh penduduk negri tersebut. Bukan hanya itu, keberadaan perusahaan perusahaan itu akan mampu mengusur “pasar pasar tradisional” yang menjadi salah satu sumber pendapatan penduduk.

Tujuan dari semua itu, baik penguasaan sumber daya alam atau penguasaan pasar, ialah untuk semakin memperkaya para koroprat asing, meskipun memberikan dampak buruk bagi penduduk negara setempat. Setelah itu mereka mampu menguasai perekonomian di sebuah negara, melakukan pemiskinan yang sistematis terhadap penduduk negara tersebut, serta mempengaruhi pola pikir dan gaya hidup penduduknya.

Lalu apakah semuanya itu telah selesai sampai disini?

Para imperealis tidak akan melepaskan “sesuatu” sebelum mereka menghisapnya sampai habis. Begitu juga dengan negara Indonesia ini.

Para korporat asing akan selalu mencari segala cara agar mampu mendapatkan untung yang besar di negara yang di kuasainya. Semua yang mereka lakukan adalah sebuah bentuk penjajahan model baru yang bisa saja lebih kejam dari penjajahan militer yang juga pernah mereka (kaum imperealis ) lakukan.

Baru baru ini ada sebuah undang undang yang mengatur tentang status lembaga pendidikan di Indonesia. Ada beberapa pihak yang mendukung undang undang itu namun juga tidak sedikit yang menolak. Masing masing pihak memberikan argumen argument mereka untuk membenarkan apa yang mereka katakan. Namun sejauh ini semua argumen itu hanya sebatas wacana yang memang harus dihargai dan di nilai secara adil.

Kita semua bisa mengkaji secara lebih luas lagi tentang isi dari undang undang tersebut dan implikasi apakah yang akan terjadi jika undang undang itu diaplikasikan dalam dunia pendidikan di Indonesia.Beberapa hal yang kiranya perlu juga untuk di kaji diantaranya, apakah dalam undang undang tersebut terdapat peraturan yang sangat menguntungkan pihak pemodal. Seperti peraturan yang memberikan jalan bagi korporat asing untuk menanamkan modalnya, membangun usahanya, dan memperluas pasarnya.

Atau apakah ada pasal yang menyatakan kebebasan bagi pelaksanan undang undang untuk mencari dana sendiri bagi kelangsungan pendidikan.

Terlebih lagi jika dalam penggodokan undang undang tersebut ada interverensi asing secara langsung atau tidak langsung, secara jelas atau samar, melalui lembaga lembaga mereka seperti IMF, WTO, atau World Bank.

Jadi bisa dilihat, jika nanti di lingkungan pendidikan telah berdiri ”pasar pasar” seperti Starbucks, Mc Donal, KFC, mall mall, serta perusahaan perusahaan asing lainnya, kita bisa sedikit menyimpulkan bahwa ”kampus” telah berada dalam genggaman para imperealis yang akan menjadikannya sebagai sasaran baru untuk memperkaya diri mereka.

Perlahan mereka juga akan dapat mempengaruhi gaya hidup atau bahkan sistem perekenomian di kampus itu sendiri. Jika memang akan seperti itu, tujuan utama dan pemaknaan kampus sebagai lembaga pendidikan akan mengalami penurunan nilai yang sangat significant.

================

Profil Penulis :

Imanuddin Rahman, Mahasiswa S1 FMIPA UI, Alamat Jl, Rawapule No 24 Kukusan Beji, Depok
Email:[email protected].