Buah Simalakama Koalisi Pragmatis

Ancaman reshuffle kabinet yang berhembus semakin kencang, dan membayang-bayangi dua partai yang “membelot” dari koalisi pemerintah saat ini, merupakan instrumen adanya penyakit kekuasaan. Terjadi abuse of power oleh pemerintah saat ini. Hal ini semakin nampak dengan suguhan perang statement antara para petinggi partai.

Sungguh, yang berhak mengancam adalah publik, atau seluruh rakyat Indonesia. Partai yang berkuasa hanya melaksanakan mandat rakyat. Ada pesan tersirat yang diperlihatkan oleh para elit partai tersebut, tentang ketakutan berpisah dan terganggu jabatannya.

Parnoisme (dari kata paranoid, paranoia atau rasa takut yang berlebihan) hilang kuasa politik dengan latar bayangan kebesaran tanpa hambatan dan kritik, merupakan penyakit lain yang sama bahayanya. Mengamankan kekuasaan melalui berbagai cara bisa saja ditempuh oleh pemerintah, namun pada akhirnya akan menjebak diri sendiri masuk ke dalam ruang gelap sistem otoritarian. Paradoks dengan nilai-nilai demokrasi yang katanya diperjuangkan.

Dengan ongkos yang sangat mahal, proses kematangan berdemokrasi di negara ini sedang mencari format idealnya. Maka cara-cara yang melanggar moral politik, berdalih koalisi dan hitung-hitungan kursi, adalah jalan mundur dan secara langsung menistakan dan kontradiktif dengan ruh demokrasi.

Koalisi Pragmatis
Sejatinya, isu mafia pajak yang menjadi entry point mencuatnya usulan hak angket, merupakan kepentingan lebih dari 230 juta rakyat Indonesia. Namun apa lacur, bandul politik bergolak, kepentingan elite mendominasi, agenda penyelamatan uang negara berbalik arah, ditelikung menjadi agenda pengamanan jabatan elite penguasa. Reshuffle, evaluasi koalisi, dan sejumlah kosakata serupa menjadi pergunjingan, subtansi demokrasi akhirnya ternodai.

Kenyataan ini adalah bukti, bahwa betapa para pemimpin negeri, masih mengutamakan diri dan kelompok atas kepentingan rakyatnya. Bagai buah simalakama, itulah konsekuensi koalisi yang tidak dibangun diatas dasar kebersamaan ideologi, namun karena pembagian kue kekuasaan, besaran investasi politik, pragmatisme.

Terjadi tarik menarik kepentingan, bahkan paradoks dengan bahasa koalisi . Ruang-ruang gelap kekuasaan tersebut, menyandera demokrasi yang baru kita mulai tata 13 tahun pasca dikooptasi rezim Orde Baru. Demokrasi dibuat keropos dan sekedar bahasa legitimasi politik modern. Sehingga pada akhirnya, friksi dan polarisasi menjadi drama yang mereduksi tugas-tugas yang lebih vital sebagai abdi negara.

Politik bukanlah ruang bebas nilai yang dinavigasi berdasarkan kepentingan sekelompok orang. Mengutip Prof. Miriam Budiarjo dalam di bukunya Dasar-Dasar Ilmu Politik, bahwa suatu nilai (value) adalah sesuatu yang dianggap baik dan benar, sesuatu yang diinginkan bersama dalam kerangka kepentingan rakyat sebagai pemegang mandat tertinggi dalam lingkup demokrasi. Kejujuran dan kebebasan mimbar berpendapat, merupakan seperangkat nilai yang dalam bahasa Miriam disebut sebagai nilai abstrak.

DPR sebagai representasi dari seluruh rakyat Indonesia, membawa kepentingan publik dalam setiap aktifitasnya. Apologi politik untuk melanggengkan kekuasaan dengan berbagai tameng normatif, adalah sebentuk penghianatan atas amanah konstitusi yang telah dimandatkan oleh rakyat, pemilik sah republik ini.

Ruang demokrasi tidak mengenal pemasungan aspirasi yang diartikulasikan secara benar, apa lagi jika melalui lembaga resmi dan terhormat seperti DPR. Demokrasi bukanlah milik kelompok penguasa dan tidak ada istilah pemilik saham terbesar di negeri ini, semua sama. Demokrasi merupakan regulator sosial untuk mendinamisasi kehidupan dalam rangka tercapainya tujuan bersama. Kemakmuran, kesejahteraan dan keadilan.

Redefinisi Jabatan Publik
Oleh karena itu menjadi menarik meredefinisi (mendefinisikan kembali) arti jabatan. Memotret pandangan Plato tentang Negara ideal. Plato, filusuf Yunani yang banyak mengilhami praktek politik modern, lebih dari 2400 tahun silam (428-348) telah membuat sebuah rumusan tentang keadilan (justice) dalam negara idea (idea state) , yaitu Negara yang menjunjung tinggi keadilan dan mampu mensejahterakan rakyatnya.

Salah satu ciri negara ideal menurut Plato sebagaimana dikutip dari Euis Amalia (2010), adalah yang melayani kebutuhan dasar manusia dalam rangka membangun kualitas kemanusiaan. Sehingga Plato mengklasifikasi pekerjaan menjadi tiga bidang, sebagai pengatur atau penguasa, tentara atau penjaga keamanan dan para pekerja.

Bagi Plato, semua manusia bersaudara. Tetapi Tuhan telah mengatur sedemikian rupa. Pertama, ada orang yang cocok sebagai pengatur di dalam hal ini termasuk filusuf dan pemerintah atau abdi negara. Kedua, ada juga yang cocok sebagai tentara atau penjaga keamanan, dan ketiga sebagai pekerja, dalam hal ini termasuk petani dan pedagang dan buruh.

Oleh Plato, dari ke tiga jenis pekerjaan tersebut, hanya golongan terakhir yaitu kaum pekerja yang boleh bekerja mengejar laba dan mengumpulkan harta. Sedang penguasa dan tentara seyogyanya tidak bekerja demi harta, tapi murni sebagai abdi negara.
Sedangkan menurut filusuf dan teolog Thomas Aquinas, Negara merupakan lembaga sosial manusia yang paling tinggi dan luas yang berfungsi menjamin manusia memenuhi kebutuhan-kebutuhan fisiknya yang melampaui kemampuan lingkungan sosial lebih kecil seperti desa dan kota.

Pembagian dan pengaturan ini dianggap perlu karena sifat dasar manusia yang tidak pernah puas. Bahkan cenderung tamak, ingin memiliki diluar kebutuhannya. Sehingga menjadi rintangan dalam mewujudkan masyarakat yang berkeadilan dan sejahtera. Jika pengabdian dan pelayanan (termasuk di dalamnya pemimpin) untuk Negara dipandang sebagai pekerjaan, maka akan menimbulkan kekacauan dalam bernegara. Para pegawai Negara berlomba-lomba mengumpulkan materi sehingga cara apapun dilakukan, dan hal inilah yang menjadi stimulus bagi kecintaan berlebih pada jabatan dan praktek koruptif.

Meneladani Umar Ibnu Khattab
Jika melihat tipologi kepemimpinan bersahaja yang diperankan Khalifah Umar ibnu Khattab, sungguh pemimpin masa kini sangat jauh panggang dari api. Apa yang dirumuskan Plato dan dirigidkan oleh Aquinas, bisa kita refleksikan dalam kepemimpinan Umar Inbu Khattab. Imam As Suyuti memotret sangat indah penggalan kisah Umar ibnu Khattab di dalam kitabnya yang berjudul Tarikh Khulafa’ (Sejarah Para Khalifah : 2001).

“Tidak ada yang halal dari harta Allah bagi Umar kecuali dua pakaian, pakaian untuk musim dingin dan pakaian untuk musim panas. Dan saya tidak pernah memakai pakaian itu untuk menunaikan haji ataupun umrah. Sedangkan makanan saya dan keluarga saya adalah laksana makanan yang ada di kalangan Quraisy dari golongan yang tidak terlalu kaya, dan juga tidak terlalu miskin. Selebihnya saya adalah seorang lelaki dari kalangan kaum muslimin” demikian tulis As Suyuti mengutip ucapan Umar Ibnu Khattab
Khuzaimah ibnu Tsabit, sahabat Rasulullah Saw, bahkan mempersaksikan bahwa ketika Umar mengangkat seorang pejabat, maka akan dituliskan perjanjian untuknya sebagai persyaratan untuk tidak mengendarai kuda (kendaraan mewah waktu itu), tidak memakai pakaian yang lembut dan empuk serta makanan dengan standar tinggi.

Juga dikatakan bahwa setiap pemimpin yang di tunjuk oleh Umar harus selalu membuka pintu rumahnya, bukan untuk mengajak berdialog dalam rangka meredam daya kritis mereka, akan tetapi untuk menunaikan kepentngan rakyat, mendengar keluh dan kesah serta memberi solusi.

Sejarah telah mengabadikan, di masa Umar lah, materi mengalir untuk umat Islam. Umar berhasil memperluas ekspansi kekuasaan Islam, membentang dari Eropa, Afrika dan Asia. Zakat, pajak, dan sumber penghasilan untuk kas negara melimpah. Tapi Umar sebagai pemimpin yang bersahaja dan tekad mengabdikan dirinya untuk negara sebagaiamana rumusan Plato, mampu menjaga integritas di hadapan rakyat.

Bahkan pemimpin imperium Persia dan Romawi saat itu, segan dengan kemepemimpinan Umar Ibnu Khattab. Tak heran jika Michael Heart menempatkan Umar Ibnu Khattab sebagai salah satu dari 100 pemimpin yang paling berpengaruh sepanjang sejarah manusia. Kepemimpinan Umar Ibnu Khattab berlandas pada kepentingan rakyat, Umar melayani sebagaimana rumusan Plato.

Dalam konteks dinamika politik di negeri ini, praktek politik yang mengarah ke bisnis menjadi pemandangan biasa, penuh intrik transaksional dan materilistik. Maka adalah wajar, jika masyarakat menjustifikasi bahwa politik itu kotor, sehingga muncul sikap antipati terhadap pemerintah. Yang tampak di publik memang begitu adanya.

Terjadi disparitas yang sangat tajam antara rakyat dan pelayannya. Antara rakyat dan pemimpinnya. Ditengah pertumbuhan ekonomi yang menembus angka 6,1 persen yang dinikmati tidak lebih dari 5 persen penduduk Indonesia, masih ada 76,4 juta jiwa rakyat miskin (versi Perserikatan Bangsa-Bangsa) yang harus bertahan hidup, dan mereka merupakan tanggungjawab pemerintah.

Kecaman Plato atas kemewahan dan materialisme para penguasa, pantas menjadi teguran keras bagi para pejabat di negeri ini. Bukan lagi saatnya ribut-ribut soal jabatan, tetapi bekerja mengisi sisa waktu dan membuktikan kepada rakyat bahwa amanah itu bisa dipertanggungjawabkan, kepada rakyat dan terlebih kepada pemilik kakuasaan tertinggi, Allah SWT.

***
KETERANGAN :
*Penulis adalah Aktivis Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI) dan
Analis Society Research And Humanity Development (SERUM) Institute

Menulis puluhan artikel, tersebar di berbagai media di Sulawesi Selatan (Koran Tribun Timur dan Koran Fajar), Nusa Tenggara (Lombok Post), Maluku (Ambon Ekspress), Sumatera (Harian Singgalang), Kalimantan (Banjarmasin Post) serta Media Nasional (Detik.Com, Media Indonesia, EraMuslim.com, dll)
Mobile Phone : 085 299 430 323
Email: [email protected]