Neo Orba: Korupsi, Perselingkuhan Penguasa dan Teori Ibnu Khaldun

Dengan gaya khasnya yang argumentatif dan retoris, SBY melukiskan mimpi buruk bagi koruptor saat memberikan sambutannya dalam konferensi internasional bertema “Pemberantasan Praktik Penyuapan Pejabat Asing Dalam Transaksi Bisnis Internasional”. Di Nusa Dua Bali, Selasa (10/5) yang lalu.

Di hadapan 35 delegasi Negara asing, SBY menegaskan bahwa melawan korupsi sudah menjadi dasar dari pemerintahannya. Menurut SBY, memerangi korupsi bukan hanya perintah moral, tetapi juga perintah demorkasi, politik, sosial, dan ekonomi.

Citra Bagi Demokrat

Lucunya, saat kumandang perang melawan korupsi tersebut, partai besutan SBY dirantai skandal wisma Sea Games. Seperti biasa, untuk menyelamatkan citra partai, orang-orang Demorkat sibuk berkelit soal dugaan keterlibatan kadernya dalam kasus tersebut.

Aneh, saat Mindo Rosaline Manulang (Rosa), tersangka yang ditangkap tangan oleh KPK, mengubah BAP yang sebelumnya mengatakan bahwa Rosa mengenal Nazaruddin, bendahara Partai Demorkat. Namun dikemudian hari, tiba-tiba Rosa mengaku tidak mengenal Nazaruddin, padahal keduanya satu direksi dalam perusahaan PT Anak Negeri. Rosa menjadi karyawan PT. Anak Negeri sejak tahun 2008. Saat Nazaruddin menjadi anggota DPR, Rosalina diangkat jadi direktur.

Sebelumnya, pada tanggal 21 April 2011, bersama mantan Sesmenpora Wafid Muharam dan Direktur Marketing PT Duta Graha Indah M Idris, Rosa ditangkap tim KPK tengah melakukan transaksi suap di kantor Kemenpora.

Aroma perselingkuhan untuk menyelamatkan citra Partai Demokrat dengan cara memotong rantai hubungan tersangka Rosa dengan Nazaruddin, semakin menguat.

Sejumlah media menulis, bahwa perubahan keterangan Rosa tersebut hanyalah sandiwara dengan menanti keringanan hukuman atau bahkan bebas sebagai kompensasi, tentunya dengan memanfaatkan kekuatan gaib dari Partai Demokrat sebagai partai yang most powerfull .

Sayang sekali, nahas dan malang nasib Demokrat. Dusta dan borok tak bisa di tutupi, Saat usaha Rosa tersebut dibuktikan melalui jalur hukum dengan mengganti isi BAP, Nazaruddin, justru terseret pada arus kasus yang lain.

Seperti diberitakan, Mahfud MD mengungkap Nazaruddin pernah menyerahkan duit sebesar 120 ribu dollar Singapura ke Sekjen MK Djanedjri M Gaffar. Uang itu kemudian segera dikembalikan ke Nazaruddin dan MK mengantongi bukti pengembalian dari penjaga rumah Nazaruddin. Sementara itu, Nazaruddin membantah dirinya menyerahkan duit ke Djanedjri.

Polemik skandal korupsi yang membelit partai yang saban hari meneriakkan perang melawan korupsi tersebut, akhirnya terus berkepanjangan. Mahkamah Konstitusi pun ikut terseret. Walau tidak terlibat pada permasalahan hukum dengan MK, namun tindakan Nazaruddin memberikan uang tersebut, di duga sebagai aksi “tanam budi” atau investasi proyek kepada MK.

Sikap Ketua MK Mahfud MD, yang memilih melaporkan kasus Nazaruddin pada SBY, pun membuat MK sebagai lembaga independen, tercoreng citranya. Seolah ingin unjuk muka pada Presiden SBY, Ketua MK bahkan dituding memulai menggelar panggung untuk pilpres 2014.

Dalam kasus ini, terlihat betapa ketakutan pejabat Negara pada sosok SBY masih Nampak, sehingga memperlambat proses pengungkapan kebenaran. Mahfud MD sendiri mengakui bahwa keputusan untuk tidak melaporkan pemberian uang sebesar 120 ribu dollar Singapura itu ke KPK, dengan alasan agar kasus tersebut tidak hilang.

Setali tiga uang, KPK sebagai lembaga independen untuk pemberantasn korupsi, yang sedari awal mengungkap kasus suap Wisma Sea Games, juga kelihatan tak bertaji. Untuk memanggil Nazaruddin dalam kapasitas sebagai saksi pun, KPK enggan.

Publik yang masih segar mengingat janji-janji Busyro Muqoddas saat dicalonkan sebagai ketua KPK, tentu kecewa berat jika lembaga yang dipimpinnya tersebut, terbawa ewuh-pakewuh (perasaan tidak enak) sehingga terhalangi mengungkap skandal korupsi penguasa. Ini ujian bagi KPK sebagai bagian dari penguasa yang diberi mandat memberangus korupsi!

Di sisi lain, aksi Nazaruddin tersebut, tentunya tidak semudah itu disimpulkan sebagai kepentingan pribadi. Jika tindakan Nazaruddin memang merupakan agenda pribadi, tentu Partai Demokrat sejak awal sudah memecat Nazaruddin yang juga seorang penguasaha tersebut dari posisinya sebagai bendahara. Sebagai bendahara Demokrat, sudah menjadi tanggung jawab Nazaruddin untuk menambah pundi-pundi partai.

Citra partai tentu menjadi yang utama bagi Demokrat. Betapa tidak, Demokrat dua kali mengantar SBY sebagai Presiden karena kemampuannya mengelola pencitraan. Dihadapan kekuasaan dan tuntutan publik, adalah buah simalakama bagi Demokrat, antara menyelamatkan citra partai atau menjaga sumber dana yang juga merupakan soal-soal vital untuk eksistensi. Demokrat dilanda kegamangan.

Teori Siklus Sosial Ibnu Khaldun

Di dalam tesisnya yang didasarkan pada observasi terhadap berbagai kesultanan pada masanya, teori siklus perubahan sosial yang dicetuskan oleh pemikir dan sosiolog muslim Ibnu Khaldun, relevan dengan kenyataan politik Indonesia. Baik dalam perspektif historis maupun secara aksiomatik.

Ibnu Khaldun beranggapan bahwa Negara dengan berbagai model pemerintahannya yang dinamis memiliki umur, sebagaimana manusia. Siklus negara terdiri dari tiga generasi. Generasi pertama hidup dalam badawah yang keras dan jauh dari kemewahan, penuh dengan watak positif pengembara, ashabiah (fanatisme) yang menyatukan masyarakat sangat kokoh dan memberi kekuatan dan kesanggupan untuk menguasai bangsa lain.

Generasi kedua, yaitu mereka yang berhasil meraih kekuasaan dan mendirikan negara, terjadi peralihan dari badawah kepada hadharah (kota). Kemewahan mulai muncul, rasa puas dengan apa yang dimiliki melonggarkan ashabiah. Rasa rendah dan suka menyerah juga mulai tampak.

Generasi ketiga, yaitu generasi yang telah lupa pada peringkat hidup nomadik dan hidup kasar. Kemewahan telah merusak, karena besar dalam hidup yang senang dan gampang. Pada generasi ketiga ini negara mulai meluncur turun. Hingga nantinya negara hancur. Jika ditarik dalam konteks keIndonesiaan, periode ini ditandai pada kulminasi kekuasaan orde baru yang ditutup oleh awal periodesasi reformasi.

Kehancuran sebuah negara menjadi titik anjak munculnya negara baru. Negara baru ini tidak dibangun dari nol. Tetapi berdasar pada pencapaian-pencapaian negara sebelumnya (yang telah hilang dari putaran sejarah). Kemudian siklus dimulai kembali. Pola siklus yang sama dengan tingkat peradaban negara yang berbeda-beda. Jadi pola siklus tidak melingkar, namun spiral.

Pemikiran Ibnu Khaldun tersebut , diamini oleh Joseph Schumpeter yang dituliskan di di dalam bukunya Capitalism, Socialism, and Democracy. Menurut Schumpeter, regenerasi suatu gagasan yang telah mati menjadi pupuk bagi lahir dan tumbuhnya gagasan baru yang serupa.

Orde Baru yang tumbang oleh gerakan reformasi, bisa saja datang dan lahir kembali dalam bentuk baru (neo Orba). Bahwa di masa Orba, praktek KKN yang dipelihara oleh penguasa pada akhirnya menjadi parasite yang menggerogoti Negara.

Kini internal Demokrat sebagai partai penguasa, terus dihinggapi koruptor. Demokrat pun harus siap menyusun daftar panjang kadernya yang terlibat kasus korupsi (koruptor). Baik di tingkat pusat maupun daerah.

Diantaranya, Wakil Ketua DPP Partai Demokrat Jhonny Allen Marbun diduga ikut terlibat di dalam kasus suap yang di dalamnya juga melibatkan anggota legislatif periode 2004-2009 dari Partai Amanat Nasional (PAN), Abdul Hadi Djamal yang kini menjalani masa tahanan.

Juga Anggota Komisi II DPR dari Fraksi Partai Demokrat Djufri, yang menjadi tersangka dalam kasus dugaan korupsi senilai Rp1,2 miliar ketika menjabat wali kota Bukittinggi. Serta mantan Wakil Bendahara Umum Partai Demokrat, Jodi Haryanto, yang telah divonis 1 tahun penjara oleh Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.

Jodi terbukti bersalah atas tindak pidana pemalsuan tanda tangan saat menjabat sebagai Direktur Utama PT Eurocapiral Peregrine Securitas (EPS). Jody disinyalir melakukan pencucian uang pada saat menjabat Direktur Utama (Dirut) PT Eurocapital Peregrine Securitas (EPS).

Terakhir, nama Nazaruddin mengisi deretan itu. Walau belum menjadi tersangka ataupun diperikas oleh KPK, namun indikasi ke arah KKN sedah sangat kuat. Ada benarnya apa yang dikatakan oleh Ketua Umum Dewan Pimpinan Nasional Repdem Masinton Pasaribu, bahwa kejahatan yang dilakukan Nazaruddin lebih besar dari pada Mafia Pajak Gayus Tambunan.

Jika gayus hanya pegawai biasa di Dirjen Pajak, maka Nazzaruddin merupakan pembuluh darah Demokrat, partai yang berkuasa. Yang pastinya memiliki power lebih daripada sekedar Gayus Tambunan.

Bagi umat Islam, khususnya gerakan dakwah yang memperjuangkan nilai-nilai Islam, sinyalemen kebangkitan orde baru (neo orba) ini, adalah ancaman. Bukan terhadap eksistensi gerakan dakwah, karena ruang demokrasi masih berfihak pada kebebasan menyemai kebaikan melalui gerakan dakwah.

Akan tetapi ancaman itu ada pada titik puncak institusi yang nantinya menaungi dakwah, yaitu daulah (Negara). Baik dalam konsep Negara Islam ataupun Negara republik yang menjadikan Islam sebagai pijakan konstitusional atau hukum yang telah di islamisasi (ishlahul hukumat).

Sebagaimana Madinah sebagai Negara pertama di dunia dengan kelengkapan administrative dan proses pelaksanaannya dibawah kepemimpinan enam khalifah : Rasulullah Saw, Abu Bakar Ash Shidiq, Umar bin Khattab, Utsman bin Affan, Ali bin Abi Thalib dan Mu’awiyah bin Abi Sufyan. Demikian dicontohkan cendikiawan muslim dan Guru Besar Hukum Tata Negara Indonesia, Prof. Jimly Asshiddiqie saat pelantikan PP KAMMI, Rabu (18/5/2011) yang lalu.

Ancaman tersebut menjadi kenyataan jika legitimasi kebangkitan neo orba, mengakar dalam institusi kenegaraan yang tanda-tandanya kini diperlihatkan partai berkuasa yang merupakan pilihan rakyat secara langsung. Karakter dakwah yang secara vis a vis berhadapan dengan kebathilan, harus diperkuat. Termasuk dakwah siyasih (politik).

Selanjutnya pertanyaan kita, apa kabar partai Islam. Siapkah mereka take over (mengambil alih) puncak institusi untuk kemudian mewujudkan nilai-nilai Islam?

Jusman Dalle; Penulis adalah Pengurus Pusat Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI) dan Analis Ekonomi Politik SERUM Institute