Kemunafikan: Dasar Berdirinya "Penjara Besar" Gaza-Palestina

Masih segar dalam ingatan kaum Muslim, setahun lalu tragedi memilukan menimpa saudara mereka sesama Muslim di Gaza-Palestina. Selama 22 hari, Muslim Gaza dibantai oleh Israil-Zionis.

Akibatnya, lebih dari 1300 orang (lebih dari 300 adalah anak-anak) meninggal dan 5000 orang lainnya luka-luka. Ketika puing-puing kehancuran masih berasap di Gaza, kisah kekejaman itu terus bermunculan. Kehidupan sosial ekonomi umat Islam di Gaza sangat memprihatinkan.

Tiap tarikan nafas mereka bernaung di bawah derita dan nestapa yang seolah tak berujung. Untuk bertahan hidup sebagian kecil warga harus menggali lorong untuk bisa terhubung dengan dunia luar agar bisa mengais sesuap nasi yang bisa mengganjal perut-perut mereka yang lebih sering lapar daripada kenyang. Andai pintu-pintu dan gerbang perbatasan memberikan kesempatan mereka untuk melintas ke negeri saudaranya (Mesir), tentu mereka tidak perlu menggali lorong.

Faktanya, Pemerintah Mesir justru menutup rapat pintu-pintu keluar dari Gaza. Mereka juga mencegah pasokan kebutuhan pokok untuk umat Islam di Gaza.

Lebih menyakitkan lagi, pemerintah Mesir dengan dukungan fatwa dari Majma’ul Buhuts AL-Islamiyah (salah satu lembaga riset Islam di bawah naungan Universitas Al-Azhar Mesir yang kerap dijadikan rujukan) berusaha membangun tembok pemisah di sepanjang perbatasan antara Gaza dan Mesir. Alasannya, Mesir memiliki hak untuk membangun perbatasan dan fasilitas di wilayahnya serta demi keamanan nasional Mesir.

Akibatnya, kaum Mislim di Gaza-Palestina seperti berada di penjara besar. Mereka makin sulit sekalipun hanya sekadar untuk bertahan hidup.

Karena itu, kita pantas bertanya, bahkan menggugat: Bagaimana bisa fatwa yang penuh dengan penghianatan itu muncul sedemikian rupa, padahal jelas-jelas fatwa tersebut merugikan kaum Muslim dan menguntungkan zionis Israil serta para penguasa penghianat umat yang menjadi budak penguasa Barat dan zionis-Israil?

Fatwa “Penghianatan”

Majma’ al-Buhuts al-Islamiyyah yang dikenal dekat dengan pemerintahan Mesir menegaskan bahwa sudah menjadi hak setiap negara untuk membangun tembok, benteng, dan sejenisnya di atas tanah airnya guna mempertahankan keamanan, hak-hak, sekaligus perbatasannya. Mereka menambahkan, sudah menjadi hak bagi Mesir secara syar’i untuk membangun tembok atau penghalang apapun guna mencegah bahaya terowongan bawah tanah yang banyak digali di bawah tanah wilayah Rafah, Mesir, yang berbatasan langsung dengan wilayah Gaza.

“Karena lewat terowongan bawah tanah itu kerap terjadi aksi penyelundupan narkotika dan selainnya. Ini jelas mengancam keamanan Mesir, dan tidak ada jalan lain kecuali melawannya," terang Majma’.

Diterangkan oleh Majma’, pembangunan dan penanaman tembok logam di sepanjang perbatasan Mesir-Gaza bahkan legal menurut syariah Islam, yang memerintahkan setiap negara untuk menjaga hak-haknya, keamanannya dan harga dirinya. "Mereka yang menentang pendapat ini jelas menyimpang dari syariah Islam," terang Majma’ (Eramuslim.com, 03/01/2010).

Tak ayal, fatwa ini kemudian mengundang banyak potes para ulama dan cendekiawan Muslim dunia dan di negeri Mesir sendiri. Pasalnya, fatwa tersebut jelas-jelas menjadi wasilah kejahatan dan kezaliman yang luar biasa atas umat Islam di Gaza-Palestina, karena tindakan pembangunan tembok penjara besar tersebut jelas mengisolasi warga Gaza dari dunia luar.

Penentangan keras juga dilontarkan oleh para syaikh dan ulama Al-Azhar sejak jauh hari. Mereka "mengutuk" sikap pemerintah Mesir terhadap pembangunan tembok pemisah Refah dan Jalur Gaza. Dengan tegas mereka mengatakan bahwa upaya itu "haram" baik dilihat dari kacamata hukum maupun kemanusiaan.

Penentangan juga datang dari Syaikh Dr.Yusuf Al-Ahmad, profesor syariah di Universitas Imam Muhammad bin Saud Arab Saudi, yang mengeluarkan fatwa pada sabtu kemarin (2/1) bahwa haram membangun tembok baja tersebut karena akan menyebabkan ketidakadilan terhadap umat Islam di Gaza.

Menurut Dr. Al-Birri yang dikutip harian Al-Mishriyyah, "Pembangunan dinding baja dan blokade telah membuat rakyat Palestina kelaparan. Usaha melarang masuknya makanan dan obat-obatan kepada mereka serta menghancurkan terowongan dan menutup gerbang Rafah untuk kepentingan musuh zionis adalah kejahatan yang dilakukan terhadap saudara-saudara kami di Palestina. Hal tersebut diharamkan syariah Islam."

Kantor Informasi Hizbut Tahrir di Palestina melalui anggotanya, Al-Ustadz Hassan Madhoun menolak fatwa yang dikeluarkan oleh Majma’ul Buhuts al-Islamiyah itu, khususnya tentang legalitas (disyariahkannya) dinding pemisahan dengan dalih bahwa Mesir memiliki hak untuk membangun perbatasan dan fasilitas di wilayahnya.

Madhoun menjelaskan bahwa para ulama yang telah mengeluarkan fatwa menjijikan ini adalah orang-orang yang tidak memiliki kelayakan berdasarkan ketentuan syariah, karena mereka mengakui batas-batas yang dibuat oleh kaum kafir penjajah, dan bahkan menjadikannya berada di atas batas-batas (ketentuan) Allah, yang justru menyerukan untuk menolong kaum Muslim. Allah SWT berfirman:

وَإِنِ اسْتَنصَرُوكُمْ فِي الدِّينِ فَعَلَيْكُمُ النَّصْرُ

Jika mereka meminta pertolongan kepada kalian dalam (urusan pembelaan) agama maka kalian wajib memberi mereka pertolongan (QS al-Anfal [8]: 72).

Lebih dari itu, mereka berarti mendukung pengepungan warga Gaza dengan fatwanya yang menjijikan ini. Ironisnya, pada saat yang sama, Perdana Menteri entitas Yahudi yang tangannya berlumuran darah kaum Muslim dibiarkan memasuki Mesir dan bertemu dengan para penguasanya. Anehnya, para ulama ini tidak mengucapkan sepatah kata pun melihat kenyataan ini.

Lebih lanjut ungkap Madhoun, mereka mengklaim bahwa fatwa tersebut adalah untuk memperjelas masalah yang berkaitan dengan syariah (hukum Islam) yang tidak boleh didiamkam.

Lalu di mana para ulama itu, ketika Livni, Menteri Luar Negeri entitas Yahudi mengancam warga Gaza dari dalam Kairo. Di mana pula mereka berada ketika terjadi insiden penghinaan terhadap Islam baru-baru ini di bawah kubah Parlemen Mesir? Ataukah semua ini tidak ada hubungannya dengan Islam?

Mereka menganggap apa yang terjadi di Palestina dan Jalur Gaza adalah peristiwa terpisah dan masalah internal Israel yang tidak ada hubungannya dengan Islam. Sungguh, tidak akan berkata demikian, kecuali orang yang sudah tidak memiliki hati nurani, apalagi ilmu! Madhoun menambahkan, masalah yang serius dan berbahaya adalah tindakan para ulama ini, yang dengan sengaja menutupi keterlibatan rezim Mesir dengan entitas Yahudi dalam perang dan pengepungannya terhadap Gaza.

Di akhir pembicaraannya, Madhoun menjelaskan bahwa kaum Muslim akan bangkit hanya dengan para ulama yang ikhlas dan berdedikasi penuh, yang berani menolak fatwa ini dan yang sejenisnya, yang terus menanti hingga suatu hari mereka menjadi bagian dari pasukan kaum Muslim yang berbaris dan bergerak maju untuk membebaskan Palestina dan semua wilayah negeri-negeri Islam yang terjajah. (pal-tahrir.info, 2/1/2010).

Solusinya Hanya Khilafah

Kaum Muslim harus sadar bahwa isu Palestina adalah isu Islam. Palestina menjadi sebuah untaian permata dalam sejarah kaum Muslim sejak Allah SWT mengaitkannya dengan Masjid Suci di Makkah, yakni ketika Allah SWT membawa Rasul-Nya pada malam hari dari Masjidil Al-Aqsa (QS Al-Isra’ [17]: 1).

Allah SWT telah menjadikan Palestina sebuah negeri yang diberkahi. Dia menghubungkan hati kaum Muslim dengan Baitul Maqdis dengan menjadikannya kiblat shalat yang pertama. Dengan seluruh kenyataan ini maka cara satu-satunya bagi umat untuk memandang Palestina adalah melalui perspektif Islam. Kita harus bekerja bersama umat untuk menyangkal seruan kepada kaum Muslim dan para penguasa Muslim, yang berusaha untuk memberikan bingkai kembali atas isu itu sebagai sebuah ‘isu Arab’, kemudian sebagai sebuah ‘isu Palestina’ dan sekarang hanya sebagai ‘isu Gaza’! Nasionalisme adalah ide yang jahat yang merupakan sumber kehancuran di dalam umat. Nabi Muhammad saw. bersabda, “Tinggalkanlah! Nasionalisme adalah hal yang busuk.” (HR al-Bukhari dan Muslim).

Kekuatan kolonial, seperti Inggris dan Prancis, sangat bergantung pada nasionalisme saat menghancurkan Khilafah Islam pertama kali. Mereka menghasut orang-orang Yunani, Serbia dan orang-orang Kristen lainnya yang hidup di bawah Kekhalifahan untuk memberontak melawan Khilafah Usmani. Mereka lalu menggunakan alat yang sama untuk mendorong perselisihan antara orang Arab dan orang Turki. Inilah satu dari alat-alat utama untuk menghancurkan Khilafah, yang membuka jalan bagi pendirian Israel.

Kaum Muslim tentu rindu melihat wilayah Palestina dibebaskan dari pemerintahan tiran Israel. Agar hal ini bisa terlaksana, umat harus menyingkirkan para penguasa korup itu dan menggantikannya dengan Khilafah Rasyidah. Sebab, Rasulullah saw. telah bersabda:

إِنَّمَاالإِمَامُ جُنَّةٌ يُقَاتَلُ مِنْ وَرَائِهِ وَ يُتَّقَى بِهِ

Imam (Khalifah) adalah perisai, di belakangnya kaum Muslim berperang dan berlindung (HR Muslim).

Hal ini memerlukan usaha kita untuk bekerja sesuai dengan metode Rasulullah saw. untuk menegakkan kembali Khilafah. Kita harus bekerja dalam sebuah struktur partai, sebagaimana dinyatakan Allah SWT (QS Ali Imran [3]: 104). Dalam struktur ini, kita bekerja untuk membina diri kita sebagaimana para Sahabat dibina oleh Rasulullah saw. di dalam rumah Arqam bin Abi al-Arqam. Tujuan dari usaha ini adalah memastikan bahwa hati dan pikiran kita tidak terisi selain oleh konsep-konsep Islam.

Kemudian kita harus berinteraksi dengan umat untuk mengubah pemikiran dan emosi mereka agar mereka menjadikan akidah Islam sebagai rujukan mereka satu-satunya. Contohnya, kita harus menantang dan mendebat orang-orang yang menyerukan bagi umat untuk mengadopsi hukum internasional (yakni yang berdasarkan sekularisme atau PBB) ketika mencari suatu penyelesaian bagi Palestina, Kashmir, Chechnya, Somalia atau urusan lain umat.

Kita juga harus mencari nushrah, yakni dukungan/pertolongan dari orang-orang yang memiliki kekuasaan dan pengaruh di negeri-negeri Muslim. Orang-orang tersebut mungkin terperosok dalam alur pikiran kapitalis. Namun, kita harus ingat bahwa akidah Islam memiliki kekuatan untuk mengubah hati dari orang-orang semacam Umar bin al-Khaththab ra. dan para pemimpin Suku Aus dan Khazraj (yakni dua suku yang tinggal di Madinah yang memberikan pertolongan kepada Nabi Muhammad saw).

Kita harus ingat bahwa Umar ra., saat sedang ingin membunuh Nabi Muhammad saw., ia menerima Islam. Begitu pun saat Saad bin Muadh ra. dan Usaid bin Hudair ra. Usaid, ketika bertemu dengan Mushab ra., sedang mengancam untuk membunuh Mushab jika kaum muslim tidak pergi. Namun, ketika Mushab ra. menjelaskan Islam kepadanya, cahaya kedamaian Islam dapat terlihat pada wajah Usaid!

Karena itu, kita harus bekerja seperti Mushab ra. dan menyeru orang-orang saat ini dengan penuh keyakinan bahwa Allah SWT memang memiliki kekuatan untuk memberikan mereka hidayah, jika Dia menghendaki.

Pada saat Khilafah Rasyidah berdiri lagi di tanah kaum Muslim, kita dapat bekerja untuk melawan pendudukan yang diprakarsai oleh kekuatan kolonial dan dilaksanakan oleh Zionis. Hanya pada saat Khilafah Islam berdirilah kaum Muslim, Yahudi, Kristen dan yang lainnya dapat hidup kembali dalam kedamaian, keadilan dan sentosa—seperti yang telah dibuktikan sebelum Barat menginvasi dan menanamkan entitas asing di tanah kita. []

Arief B Iskandar, Alumnus Jurusan Sastra Arab Fakultas Sastra Universitas Padjadjaran Bandung