Sahabat Nabi Dicaci, Ukhuwah Tak Mungkin Terjadi

Gagasan ukhuwah Sunni-Syi’ah yang digagas selama ini masih kontradiktif dan kontraprodukitf. Kontradiktif karena, Syi’ah mengajak Sunni untuk bergandengan tangan, akan tetapi tetap mencaci para sahabat yang dimulyakan oleh umat Islam.

Jelas penistaan ini menodai kesucian akidah Islam. Kontraproduktif sebab, konsep ukhuwah dengan keyakinan seperti itu, justru merugikan Sunni. Karena dengan cara itu, Syi’ah akan merebut penganut Sunni untuk disyi’ahkan.

Makanya, gagasan untuk membentuk forum ukhuwah Sunni-Syi’ah di Masjid Akbar Jakarta pada 20 Mei kemarin dipersoalkan sejumlah ormas dan para ulama’. Bahkan DMI sendiri yang disebut-sebut mewakili Sunni dalam deklarasi ukhuwah tersebut menolak. FPI dan MUI tegas menyatakan tidak akan terlibat dalam forum itu.

Menurut salah satu ketua MUI Pusat,KH. Amidhan, antara Sunni dan Syi’ah banyak perbedaan dari aspek akidah. Oleh sebab itu MUI menolak diadakannya deklarasi ukhuwah tersebut. Hal-hal seperti itu, tidak mungkin diakomodasi oleh MUI. MUI sendiri menyatakan bahwa Syi’ah bukan madzhab sah dalam Islam.

Sesungguhnya persoalannya bukannya Sunni yang menolak untuk berukhuwah. Akan tetapi, penistaan yang dilakukan oleh Syi’ah terhadap para sahabat dan ulama’ Sunni jelas-jelas menodai konsep persatuan yang sesungguhnya.

Penistaan Syi’ah terhadap sahabat Nabi SAW, bukan rahasia lagi saat ini. Selain buku-buku, rujukan utama mereka dan penganut Syi’ah sendiri sudah tidak segan lagi mencaci sahabat. Untuk soal mencaci sahabat, Syi’ah sudah tidak bisa lagi memakai topeng taqiyyah. Saat ini buku-buku Syi’ah telah banyak beredar di tangan umat Islam.

Sahabat Dinilai Tersesat

Kitab al-Kafi, yaitu kitab hadis Syi’ah yang menjadi rujukan primer dalam akidah, menulis bahwa sejumlah sahabat telah kafir setelah wafatnya Nabi Muhammad SAW. Diantaranya tertulis riwayat-riwayat yang musykil. Orang Syi’ah menyebut para sahabat yang telah tersesat dan Sunni yang mengagumi sahabat disebut dengan golongan Nawasib. Generasi awal nawasib itu menurut keyakinan Syi’ah adalah Abu Bakar, Umar dan Ustman.

Paska wafatnya Nabi Muhammad SAW hanya beberapa saja yang masih beriman. Dikatakan dalam al-Kafi: “Dari Abu Ja’far ia berkata: “Pasca wafatnya Nabi, orang-orang manjadi murtad semua, kecuali tiga. “Aku bertanya, siapa yang tiga itu? Beliau menjawab: “Miqdad bin al-Aswad, Abu Dzar al-Ghifari dan Salman al-Farisi” (Al-Kafi juz 8 halaman 245).

Imam al-Majlisi, salah seorang ulama’ Syi’ah menulis dalam kitabnya Bihar al-Anwar juz 23 termasuk ulama yang ekstrim mencaci sahabat. Secara profokatif ia menulis: “Ketahuilah bahwa mengatakan syirik dan kufur kepada orang yang tidak meyakini keimanan Ali bin Abi Thalib sebagai Imam Syiah, dan imam-imam yang lain dari keturunan beliau, serta mengutamakan yang lain, menunjukkan bahwa mereka kekal di neraka”.

Baginya, umat Islam masih dalam keadaan kufur, sebab tidak meyakini Ali dan keturunannya sebagai imam yang suci. Dalam doktrin Syi’ah Ali bin Abi Thalib adalah imam suci yang pertama. Imam ini posisinya sama dengan nabi. Pendapat-pendatan mereka dinilai sebagai hadis. Syi’ah Itsna ‘Asyariyah meyakini ada dua belas imam yang maksum (terbebas dari kesalahan dan dosa).

Hadis yang bersumber dari para Imam adalah shahih tanpa perlu adanya ittishal dengan Rasulullah SAW. Karena status Imam seperti seorang Nabi. Siapa saja yang menolak perintah Imam sama dengan menyalahi perintah Allah SWT. Termasuk dalam kepemimpinan Khalifah. Sahabat yang mengangkat Abu Bakar al-Shiddiq sebagai Khalifah pertama, tidak memilih Ali bin Abi Thalib dianggap mengkhianati Allah SWT.

Kultus yang berlebihan (ghuluw) terhadap Imam, menjadikan penganut Syi’ah berwajah ekstrim. Siapa saja yang menolak Imam, dihukumi sebagai orang tersesat. Dalam al-Kafi disebutkan riwayat: “Abi Ja’far berkata:”Sesungguhnya Allah SWT menjadikan Sayyidina Ali sebagai tanda antara Allah SWT dan makhluk-Nya. Barangsiapa mengetahuinya, maka ia mukmin. Barangsiapa yang mengingkarinya, maka ia kafir, barangsiapa yang tidak mengetahuinya berarti ia tersesat, barangsiapa yang mengangkat Imam lain bersamanya, maka ia musyrik, dan barang siapa yang mengakui kepemimpinan para Imam, maka ia masuk surga” (al-Kafi juz 1). Jadi, mengakui, dan taat pada para imam menjadi parameter Syi’ah untuk menilai sesat dan tidaknya seseorang.

Karena keyakinan seperti itu, Syi’ah menerapkan standar ganda dalam meriwayatkan hadis. Hadis-hadis yang diriwayatkan oleh sahabat selain Ahlul Bait dan sahabat yang empat (Miqdad bin al-Aswad, Abu Dzar al-Ghifari dan Salman al-Farisi) ditolak. Karena selain Ahlul Bait integritas sahabat dinilai tidak tsiqqah. Husein Kasyif Ghita’, seorang ulama Syi’ah kontemporer mengatakan: “Saya tidak menerima hadis-hadis Nabi SAW kecuali yang dianggap sah dari jalur Ahlul Bait. Sementara hadis-hadis yang diriwayatkan oleh perawi semacam Abu Hurairah, Samurah bin Jundub, Amr bin Ash dan lainnya, maka dalam pandangan Syi’ah Imamiyah, mereka tidak memiliki nilai walau senilai nyamuk sekalipun”.

Kebencian terhadap para sahabat, jelas akan mengurangi sumber ilmu. Mengingat secara epistemologis, riwayat sahabat yang sanadnya shahih dan ittishal merupakan salah satu elemen dari sumber ilmu pengetahuan.

Tafsir kebencian terhadap sahabat tersebut telah menjadi salah satu doktrin elementer selain imamah dalam akidah Syi’ah. Di Indonesia, tafsir kebencian tersebut tidak lagi dilakukan dengan taqiyyah lagi. Di Jawa Timur, ditemukan beberapa majelis Syi’ah yang mengajarkan kebencian terhadap para sahabat. Barangkali mereka tidak memerlukan taqiyyah lagi karena, doktrin-doktrin tersebut telah diketahui secara umum di kalangan Sunni.

Makanya, patut dipertanyakan ada apa sesungguhnya dibalik kengototan Syi’ah menjalin ukhuwah. Padahal di negeri Syi’ah sendiri, yaitu Iran, tidak ada komporomi bagi Sunni. Di Iran, tak satupun yayasan diizinkan beroperasi sejak revolusi Iran tahun 1979. Jika ada, itu didirikan sebelum revolusi. Itupun diawasi secara ketat, ruang gerak dibatasi. Di negeri ini tidak ada gaung ukhuwah Sunnah-Syi’ah.

Dalam sejarahnya memang, belum ada ukhuwah Sunnah-Syi’ah. Jika ada, tidak bertahan lama atau dimanipulasi. Kalangan Sunni tetap pada prinsip bahwa ukhuwah tidak mungkin dibentuk selama akidah Syi’ah mengajarkan doktrin-doktrin kebencian, manipulasi dan politisasi.

Penyatuan akidah itu adalah kembali kepada konsep tawhid Islam yang sesungguhnya. Ukhuwah yang digagas oleh Syi’ah sebenarnya bermuatan doktrin pluralisme. Yaitu dilarang adanya truth claim. Sunni dilarang mengklaim paling benar. Dan dipaksa untuk meyakini bahwa diluar Sunni ada akidah yang benar. Jika konsepnya masih menyimpan doktrin kebencian terhadap sahabat dan kaum muslimin serta berbau pluralism dan relativisme seperti tersebut, mustahil ukhuwah didirikan.

Oleh Kholili Hasib, Penulis adalah mahasiswa S-2 ISID Gontor Ponorogo, Peneliti InPAS (Institut Pemikiran dan Peradaban Islam) Surabaya