Saatnya Koalisi Islam-Reformis melawan Koalisi Nasionalis Sekuler- Neoliberal

Partai Islam atau yang berbasis masa Islam (PKS, PAN, PKB,) saat ini lebih terpesona kepada kemenangan Demokrat yang mengandalkan popularitas figur SBY. Merekapun ramai-ramai bergabung dalam koalisi bersama Demokrat. Koalisi ini semula diharapkan merupakan kombinasi yang pas antara arus nasionalis dan Islam serta perpaduan partai-partai reformis atau yang lahir di era reformasi. Di kubu lain, Golkar dan PDI-P menjadi motor terwujudnya Koalisi Besar di parlemen bersama partai kecil lainnya (Gerindera, Hanura dan PPP) yang berhadapan langsung dengan koalisi Demokrat-PKS-PAN-PKB.

Kelihatannya peta politik tersebut akan berubah drastis. Diawali dengan deklarasi pasangan capres-cawapres Jusuf Kalla-Wiranto yang diajukan oleh Golkar-Hanura. Pencalonan ini tampaknya akan membuyarkan gagasan Koalisi Besar, karena PDI-P dikecewakan yang kedua kalinya oleh Golkar. Dalam pencalonan ini Golkar yang sebelumnya terlibat aktif dalam komunikasi politik dengan PDI-P meninggalkan PDI-P.

Pada 2004 hal yang serupa juga terjadi, ketika Golkar meninggalkan sendirian PDI-P di barisan oposisi. Efeknya, saat ini jalinan komunikasi dan prospek koalisi antara Partai Demokrat dan PDI-P semakin mengerucut. Hal ini ditandai dengan intensitas komunikasi para petinggi kedua partai tersebut dan statemen SBY saat berpidato di acara syukuran kemenangan Demokrat di Cikeas bahwa: koalisi dengan PDI-P sangatlah terbuka. Bahkan kabarnya SBY sudah menentukan Boediono sebagai pasangannya, atas usulan kubu PDI-P. Dan mitra koalisi Demokrat sebelumnya (PKS, PAN dan PKB) tampaknya tidak diajak bicara dalam penentuan pasangan SBY ini, yang jauh-jauh hari sudah menentukan arah dukungannya ke SBY dan telah menyodorkan nama-nama cawapres dari partai masing-masing. Dapat kita simpulkan bahwa koalisi Demokrat – PDI P lebih cenderung berdasarkan kepentingan kekuasaan dan hitungan matematis kalah-menang tanpa dilandaskan kepada platform dan program.

Pertanyaan yang harus dipikirkan oleh partai Islam adalah: masih pantaskah partai Islam berada dalam koalisi bersama Demokrat dalam konstelasi seperti ini setelah masuknya PDI-P? Jawabannya: Sudah tidak ada gunanya berada dalam koalisi bahkan harus keluar dari koalisi yang tidak jelas ini.

Pertama, harapan partai Islam dan berbasis massa Islam dalam membangun koalisi yang bercorak nasionalis – Islam di pemerintahan dan parlemen akan gagal. Karena nantinya yang akan berperan besar dalam koalisi ini tentunya adalah Demokrat dan PDI-P yang bermodal suara besar dan keduanya sama-sama bercorak nasionalis-sekuler.

Nantinya peran partai Islam dan berbasis massa Islam (PKS, PAN, PKB) hanya sebagai pelengkap sorak-sorai koalisi, tanpa mampu berperan signifikan dalam arah pemerintahan lima tahun kedepan.

Kedua, selama ini PDI-P dan partai nasionalis lainnya getol menolak produk-produk  hukum yang bernuansa syari`ah. Sebagai contoh kasus berlarut-larutnya pengesahan Undang-Undang Anti Pornografi dan Pornoaksi, serta perda-perda anti kemaksiatan di berbagai daerah. SBY pun dalam kebijakannya selama ini tidak berpihak kepada kepentingan umat Islam. Contoh kecilnya saja, ketidakjelasan sikap pemerintahan SBY dalam kasus Ahmadiyah. Walaupun seluruh komponen umat Islam yang tergabung dalam Forum Umat Islam (FUI) getol menuntut pembubaran Ahmadiyah dan MUI telah memfatwakan kesesatan Ahmadiyah. Justru yang terjadi SBY represif terhadap elemen umat Islam yang aktif menuntut pembubaran Ahmadiyah (kasus penangkapan Habieb Riziek dari FPI).

Perpaduan dua partai bercorak nasionalis-sekuler (Demokrat – PDI P) yang didukung kekuatan militer jaringan SBY akan membahayakan bagi gerakan dakwah dan kepentingan umat Islam. Arah kebijakan pemerintah Indonesia lima tahun kedepan akan dikendalikan dua partai besar berhaluan nasionalis-sekuler atas dukungan militer. Dan semakin jauh dari kepentingan dakwah dan umat Islam. Bahkan kondisi represif terhadap umat Islam kemungkinan besar terulang lagi seperti era
pemerintahan nasionalis-sekuler-militer masa lalu (Soekarno dan Soeharto).

Ketiga, Megawati dan PDI-P terbukti gagal dalam menjalankan agenda reformasi terutama pemberantasan KKN selama era pemerintahannya (2002-2004). Bahkan praktek KKN di eranya cenderung bertambah subur, ditandai dengan kasus BLBI dan penjualan asset-aset negara kepada pihak asing. Mungkinkah proses reformasi dan kemandirian bangsa ke depan akan berjalan efektif ? Jawabnnya akan sangat sulit karena PDI-P yang terbukti gagal akan berperan cukup besar dalam pemerintahan koalisi PDI-P dan Demokrat.

Keempat, Demokrat dan PDI-P adalah dua partai yang tidak mendorong kepada kemandirian bangsa dan berisi orang-orang yang berpihak kepada kapitalis asing dan kepentingan asing. Terbukti PDI-P melakukan penjualan aset-aset negara saat berkuasa dan SBY dikelilingi orang-orang yang bermadzhab ekonomi neo-liberal. Maka kedepannya pemerintah hanya akan menjadi perpanjangan tangan komprador asing daripada kepentingan rakyatnya. Dan bersiaplah Indonesia akan tergadai kepada kapitalis asing dan menjadi pengekor kepentingan negara asing.

Sudah saatnya partai-partai Islam dan berbasis massa Islam (PKS, PAN, PKB) yang tergabung dalam koalisi dengan Demokrat, mengajukan dua pilihan kepada SBY dan Demokrat: tetap bersama partai-partai Islam dan berbasis massa Islam (PKS, PAN, PKB) tanpa PDI-P dalam mewujudkan koalisi nasionalis-Islam-reformis, atau pilihan kedua partai Islam keluar dari koalisi dan membentuk koalisi Islam sendiri.

Saatnyalah partai-partai tersebut harus bersikap tegas terhadap SBY dan Demokrat, jangan hanya mencari jalan aman dan jatah kursi kekuasaan. Karena sesungguhnya partai Islam mempunyai modal dan kesempatan yang cukup besar dalam membangun koalisi partai Islam dan mengajukan capres sendiri serta membangun pemerintahan sendiri.

Pertama, gabungan perolehan suara partai dan kursi legislatif dari PKS, PAN, PKB, ditambah PPP, dan lainnya merupakan modal yang cukup dalam mengajukan capres sendiri.

Kedua, mesin politik dan ikatan emosional dengan ormas-ormas Islam yang membidani lahirnya partai-partai Islam menjadi kekuatan besar bagi kemenangan partai Islam.
Syaratnya partai-partai Islam dan ormas-ormas Islam harus menghilangkan ego dan sekat-sekat diantara mereka dengan memilih pasangan capres dan cawapres yang diterima semua kalangan dari partai dan ormas Islam. Mereka mempunyai sederet nama calon pemimimpin bangsa yang kapabel dari partai dan ormas, seperti: Hidayat Nurwahid, Hatta Rajasa, Amien Rais, Din Syamsudin, Hasim Muzadi, Muhaimin Iskandar, atau Prabowo Subianto yang dekat dengan kalangan hijau, dll. Koalisi Islam ini dapat menggerakkan mesin partainya masing-masing dalam pemenangan Pemilu Presiden, sekaligus bisa menggerakkan ormas-ormas Islam besar (NU, Muhammadiyah, Persis,dll).

Gabungan kekuatan partai dan ormas-ormas Islam menjadi kekuatan sangat besar dalam memenangkan Pemilu dan membangun pemerintahan. Jika koalisi ini terwujud maka nantinya ada tiga pasangan capres-cawapres: SBY-Boediono, Jusuf Kala-Wiranto dan pasangan dari koalisi Islam. Pasangan dari koalisi Islam berpeluang besar lolos ke putaran kedua. Pada putaran kedua suara dan dukungan Jusuf Kala-Wiranto bisa ditarik ke kubu koalisi Islam melawan SBY-Boediono.

Maka peluang kemenangan koalisi Islam sangatlah besar.

Ketiga, sudah saatnyalah elemen kekuatan Islam memimpin Indonesia menuju reformasi yang diwarnai nilai-nilai religius. Umat ini sudah terlalu lama mempercayakan kepemimpinannya kepada kalangan nasionalis-sekuler-militer, apa yang diperoleh umat Islam ? selain perlakuan diskrimintif dan represif terhadap gerakan dakwah dan kepentingan Islam. Partai dan ormas Islam harus merapatkan barisan meraih tampuk kepemimpinan negeri ini. Jangan percayakan negeri ini lagi kepada kekuatan nasionalis sekuler – neoliberal.

Keempat, Pemilu 2009 menjadi kesempatan yang baik bagi kekuatan Islam untuk memimpin karena kekuatan nasionalis sekuler belum terakumulasi dengan baik. Akan sulit kondisinya bagi kekuatan Islam jika kalangan nasionalis sekuler berkuasa pada pemilu 2009 ini. Lima tahun kedepan kekuatan ini akan menguat dengan dukungan kekuasaan dan kesempatan selanjutnya bagi kalangan Islamis untuk memimpin semakin tertutup.

Kalaupun koalisi Islam tidak memenangkan Pilpres, maka oposisi adalah pilihan yang mulia, sebagai penyeimbang kebijakan-kebijakan pemerintahan nasionalis-sekuler. Saatnya koalisi Islam-reformis berani bertarung dalam memimpin Indonesia melawan koalisi nasionalis sekuler-neoliberal – militeristik (Demokrat-PDI P).

Saatnya umat Islam menebarkan nilai-nilai rahmatan lil `alamin lewat kepemimpinan Indonesia lima tahun ke depan.

Allahu Akbar….

Biodata Singkat Penulis

Kusworo Nursidik; mahasiswa -Teknik Mesin – Universitas Negeri Semarang (2000-2003)
-Kulliyatu Ad-Da`wah Al-Islamiyah Al-`alamiyah  ( International Islamic Call College) – Tripoli LIBYA (2005-sekarang) Aktifitas saat ini : Ketua – Kesatuan Keluarga Mahasiswa Indonesia  ( KKMI ) di Libya. Contact Person : [email protected]