Menyoal Buku "Metodologi Studi Al-Quran"

Setelah menerima penolakan mentah dari kaum cerdas muslim terhadap proyek yang lama bernama "Fikih Lintas Agama", kini telah muncul proyek baru yang dirilis oleh kolaborasi baru namun masih mengusung lagu lama dengan judul "Metodologi Studi Al-Qur’an".

Mungkin dahulu konsep Fikih Lintas Agama tidak banyak disambut oleh masyarakat karena tidak ilmiah dan terlalu kelihatan mengada-ada. Bagaimana mungkin terwujud sebuah "lintasan" fikih antar agama sedangkan "fikih" itu sendiri tidak terdapat kecuali dalam agama Islam?

Sungguh sebuah konsep yang sangat menggelikan namun susah untuk mengundang tawa. Oleh karenanya, mereka lalu menciptakan arasemen yang lebih kalem dengan judul yang lebih renyah sehingga diharapkan banyak orang yang welcome menerimanya. Hingga demikian, lahirlah buku "Metodologi Studi Al-Qur’an" tersebut.

Jika ditilik, tak banyak hal baru dalam buku ini. Secara garis besar masih mengangkat isu lama yang hanya ditambah sedikit polesan di sana-sini, seperti upaya desakralisasi Al-Qur’an dan penyamaannya dengan teks-teks lain, upaya penafsiran ayat muhkamat dengan "suka-suka gue", dan juga upaya pemelintiran pendapat ulama dengan mencomot kosa-kata luarnya lalu meninggalkan kandungan maknanya. Semuanya hanya metode tempoe doeloe yang telah expired.

Buku yang ditulis oleh tiga personel JOL –Jaringan Orang Liberal– ini sebagaimana dinilai salah seorang aktivis mereka, Jadul Maula (bukan singkatan dari "jaman dulu"); layaknya sebuah novel silat dengan Tiga "Pendekar" yang menggunakan jurus-jurus untuk menaklukkan para pemuja teks.

Jadul juga secara terang-terangan menyebutkan nama sebuah gerakan di Indonesia yang berjuang menegakkan khilafah lalu menempatkannya sebagai tokoh antagonis yang harus dilawan. Tapi penulis pribadi lebih tertarik jika menamakan mereka bertiga dengan "Trio Kwek-Kwek", selain lebih enak didengar, mungkin nama ini lebih cocok ketimbang "Pendekar".

Lebih cocok karena dilihat dari argumen mereka yang tidak inovatif, hanya bisa membebek kepada segelintir orientalis dalam upaya meruntuhkan pondasi Islam. Sebagaimana tema yang di angkat oleh Luthfi –salah satu penulis buku ini– tentang pengkritisan terhadap sakralitas Al-Qur’an.

Sebenarnya ada apa dengan Al-Qur’an hingga harus dikritisi segala? Apakah kita tidak percaya dengan ayat; "Maka apakah mereka tidak memperhatikan Al-Quran? Kalau kiranya Al-Quran itu bukan dari sisi Allah, tentulah mereka mendapat pertentangan yang banyak di dalamnya" (QS. An-Nisa [4]: 82).

Lalu permasalahan di atas dilanjutkan oleh Ulil –penulis kedua buku ini– saat membahas tentang "insiden gramatikal" dalam Al-Qur’an yang menurutnya menyalahi kaidah dasar Bahasa Arab. Seperti dalam surat Al-Maidah ayat 69 yang berbunyi "inna al-ladzina amanu wa al-ladzina hadu wa al-shabi’una". Dalam pandangannya kata "wa al-shabi’una" telah menyalahi kaidah bahasa Arab yang seharusnya dibaca "wa al-shabi’ina" (bukan wa al-shabi’una).

Lagi-lagi penulis kedua ini juga tak lebih dari sekedar ber"kwek-kwek" dengan mengangkat isu kadaluwarsa dalam mengkritisi "sakralitas" Al-Qur’an. Tema di atas sebenarnya telah lama dibahas oleh para pakar bahasa, sebagaimana diterangkan oleh Prof. Dr Abdul Adzim al-Math’aniy dalam kitab "Haqaihu’l Islam fi Muwajahati’l Syubhat al-Musyakkikin" (Kebenaran Ajaran Islam dalam Menghadapi Argumen Kaum Skeptis), ia mengatakan bahwa terdapat setidaknya sembilan pendapat pakar Nahwu dan ahli Tafsir dalam menjelaskan kata "al-shabi’una" tersebut sehingga dibaca rafa’ (al-shabi’una) dan bukan manshub (al-shabi’ina).

Di antara sembilan pendapat tersebut adalah statement mayoritas pakar Nahwu di Bashrah –seperti Imam Sibawaih dan al-Khalil beserta para pengikut mereka– yang menjelaskan bahwa kata "al-shabi’una" berada dalam posisi mubtada’ dengan khabar-nya yang mahdzuf (tersembunyi) dan bukan dalam posisi manshub.

Mereka (para pakar Nahwu di Bashrah) kemudian memaparkan secara detail disertai argumen ilmiah berupa bukti kongkrit bahwa penerapan kaidah seperti itu tidaklah menyalahi gramatikal bahasa Arab karena bangsa Arab sejak dahulu telah mengenalnya dan bahkan menggunakannya dalam syair-syair mereka.

Ayat di atas adalah satu dari beberapa ayat yang mereka anggap tidak sesuai dengan lingustik bangsa Arab. Naifnya, mereka menyatakan itu semua sebagai sebuah kajian murni dari kitab "al-Itqan fi Ulum Al-Qur’an" milik Imam Jalaluddin al-Suyuthi.

Padahal jika kita telaah kitab tersebut, Imam Suyuthi sama sekali tidak pernah mengatakan ini sebagai bentuk kontradiksi ayat Al-Qur’an, ia juga tidak menyatakan adanya "kecelakaan" dalam tata-bahasa Al-Qur’an. Yang artinya, Al-Qur’an adalah mukjizat sempurna tanpa kesalahan. Sebagaimana ia tegaskan sendiri dalam mukaddimah kitab tersebut; "…kitab paling berharga, paling banyak mengandung ilmu, paling indah tata-bahasanya, yaitu Al-Qur’an yang berbahasa Arab tanpa cela, (Al-Qur’an) bukanlah makhluk dan tiada yang menandinginya…"

Namun Ulil tak hanya berhenti dengan memfitnah Imam Suyuthi, ia bahkan menyatakan saat membedah buku ini di Teater Utan Kayu; bahwa studi Al-Qur’an yang dikembangkan oleh ulama kontemporer seperti Wahbah Zuhaily, Abdul Wahhab Khallaf dan Yusuf al-Qaradhawi dinilai kurang bahkan tidak berkembang sama sekali. Ia lalu menambahkan bahwa Studi ilmiah Al-Qur’an yang cukup menantang justru datang dari para orientalis.

Seperti Theodor Noldeke yang menawarkan penyusunan ulang kronologi surat-surat Al-Qur’an yang berbeda sama sekali dengan kronologi dalam mushaf kita sekarang.
Dari sini kelihatan jelas bahwa Ulil telah kehilangan daya kritisnya sampai titik nadir. Ia sampai gagap melihat para orientalis tersebut mengobok-obok Al-Qur’an yang dalam kaca-matanya mereka jauh lebih tinggi daripada Ulama sekelas al-Qaradhawi.

Di sisi lain Ulil terkesan pura-pura lupa. Jika benar ia telah mengkaji "al-Itqan" milik Imam Suyuthi dengan seksama tentu ia akan membaca pendapat Imam Suyuthi yang menyatakan bahwa penempatan Ayat dan Surat dalam Al-Qur’an merupakan hal tauqify yang tak bisa diotak-atik karena penyusunan tersebut berdasarkan wahyu dari Allah. Jadi sebenarnya Ulil hanya melakukan permainan "cover both sides" dengan melompat kesana-kemari sesuai kondisi psikologinya, tidak memiliki kosistensi yang teguh untuk berada dalam sebuah keyakinan pasti.

Di akhir buku ini tampillah Moqsith sebagai personel terakhir dengan menawarkan rumusan kaidah tafsir ala JOL (istilah baru pengganti "JIL"). Dalam acara diskusi membedah buku ini di UIN Sunan Kalijaga 21 Desember 2009 silam, Moqsith juga menjelaskan bahwa Maqashid al-Syariah (tujuan utama syariat) tidak bisa dijumpai dalam lipatan-lipatan huruf dalam Al-Qur’an. Ia lalu memberikan contoh penafsiran terhadap tonggak utama Maqashid al-Syariah yaitu Hifdz al-Din (menjaga agama) dan menafsirkannya dengan "kebebasan beragama". Tentu pendapat ini merupakan interpretasi baru yang menyalahi kaidah dasar Maqashid al-Syariah sebagaimana telah disepakati oleh seluruh ulama’ otoritatif sepanjang masa.

Dan jika kita rujuk kepada pendapat bapak Maqashid al-Syariah itu sendiri, yaitu Imam Syatibi dalam kitabnya "al-Muwafaqat", maka akan kita temui bahwa Hifdzu al-Din merupakan upaya menjaga kelanggengan agama Islam sebagaimana termaktub dalam Al-Qur’an dan terperinci dalam as-Sunnah. Imam Syatibi juga memberi contoh bahwa Hifdzu al-Din dapat diaplikasikan dalam bentuk mengikrarkan dua Syahadat, Shalat lima waktu, Zakat, Puasa, Haji dan seterusnya.

Hal di atas merupakan Hifdzu al-Din dalam tataran mempertahankan apa-apa yang telah mapan dalam agama (defensif), tapi dalam tataran menjaga kelanggengan Islam dari serangan luar (ofensif) Imam Syatibi juga menjelaskan bahwa Hifdzu al-Din dalam konteks ini dapat terwujud dalam bentuk Jihad melawan musuh yang telah memerangi Islam maupun memberikan sangsi kepada penyeru bid’ah. Dengan demikian "kebebasan beragama" ala Moqsith adalah penafsiran yang tak lebih dari sebuah "kwek-kwek" semata.

Selain itu, Moqsith juga menyatakan bahwa formalisasi syariat di Indonesia berdampak sangat berbahaya, ia lalu memberikan contoh bahwa Perda di Aceh memutuskan pezina muhshan (orang yang pernah menikah) dirajam, sementara pelaku perkosaan hanya dihukum 100 kali cambuk. "Tentu saja ini tidak fair", katanya. Di sini Moqshit pura-pura tidak tahu bahwa sesungguhnya pelaku perkosaan yang muhshan juga mendapat hukuman rajam.

Justru sebenarnya Moqsith yang tidak fair dan tidak proporsional dalam memahami kasus rajam. Karena sesungguhnya seluruh hukuman yang disyariatkan Allah di dunia termasuk rajam merupakan kafarat (penghapus dosa) bagi pelakunya, sebagaimana dikatakan Rasulullah setelah merajam Ma’iz bin Malik al-Aslamiy –salah seorang sahabat yang muhshan namun masih melakukan zina– bahwa; "Aku melihat Ma’iz kini tengah berendam di sungai-sungai Surga". Artinya, "siksaan" yang harus diterima oleh Ma’iz di akhirat telah ia bayar di dunia dengan rajam yang jauh lebih ringan. Beginilah keadilan dalam Islam itu, namun hal ini tentu akan susah dipahami oleh orang yang tidak percaya akan ahkirat.

Sebenarnya, "Trio Kwek-Kwek" bukanlah kolaborasi pertama yang datang untuk mengiris-iris Al-Qur’an, dan mungkin mereka juga bukan komplotan terakhir yang akan menyelesaikan misi ini. Walaupun ditulis dengan judul "Metodologi Studi Al-Qur’an" namun sesungguhnya buku yang dibedah dan diluncurkan pada 30 November 2009 di Teater Utan Kayu tersebut sangat jauh dari semangat melestarikan Al-Qur’an.

Dengan demikian, butuh kacamata kritis dalam membaca buku hasil kerjasama JOL (Jaringan Orang Liberal) dengan GPU (Gramedia Pustaka Utama) ini. Hingga kita terhindar dari jebakan dalam kata-kata mereka yang terkesan "ilmiah" namun sejatinya hanyalah suara gaung tak bermutu. "Dan di antara manusia ada orang yang ucapannya tentang kehidupan dunia menarik hatimu, dan dipersaksikannya kepada Allah (atas kebenaran) isi hatinya, padahal ia adalah penantang yang paling keras". (QS. Al-Baqarah [2]: 204). Wallahu a’lam Bi-s-Shawab.

MS. Yusuf al-Amien
Mahasiswa Jurusan Ushul Fiqh Universitas Al-Azhar Cairo

YM & FB : [email protected]